ISTRI PILIHAN IBU
Bab 19 Jadi Pengasuh Anak
Cherry bersuka cita, berbahagia dengan kehadiran Gemi yang akan menjadi pengasuhnya. Gadis desa itu berhasil mengambil hati cucu tunggal dari Pak Burhan, sejak saat pertama kali mereka bertemu ketika menolong gadis kecil itu terjatuh dari sepeda.
Sepanjang hari, pekerjaan Gemi hanya menemani Cherry bermain, bercanda dan tertawa. Dari dulu ia memang menyukai anak kecil. Sewaktu masih tinggal di kampung, dengan sukarela Gemi sering mengasuh anak tetangga maupun anak-anak dari Paklik Man yang berjumlah empat orang.
Bermain-main dengan Cherry, sejenak gadis bertubuh pendek dan gendut itu bisa melupakan masalah hidup yang akhir-akhir ini merenggut senyumannya.
Gemi juga mengajak Cherry bermain sambil belajar membaca, menulis, dan juga berhitung. Itu yang dilakukan Gemi dalam mempersiapkan anak asuhnya memasuki bangku sekolah. Bulan depan anak perempuan yang berusia lima tahun itu sudah masuk sekolah taman kanak-kanak.
"Ini foto mamaku, Mbak Gemi. Mama tinggalnya jauh di surga. Kata Papa surga itu indah banyak taman bunga di sana," ucap Cherry sambil menunjukkan sebuah bingkai foto. Wajah wanita cantik di dalam foto itu sangat mirip dengan gadis kecil yang rambutnya dikuncir ekor kuda.
"Mama Cherry cantik banget, ya?" puji Gemi dengan tulus.
"Kalo diperhatiin ternyata Mbak Gemi mirip Mama. Mau ya jadi mamaku. Aku ingin merasakan punya Mama," ucap gadis kecil itu merajuk. Wajahnya seketika berubah murung.
"Anggap saja Mbak Gemi ini mamanya Cherry. Sini peluk!" Gadis kecil itu menghambur ke pelukannya. Gemi tahu bagaimana perasaan Cherry yang merindukan sosok ibu.
Nasib Cherry mirip dengannya. Sudah ditinggal ibu saat baru terlahir dari garbanya. Cherry memiliki Papa dan Opa yang begitu menyayanginya. Sementara Gemi hanya mempunyai nenek. Bedanya Cherry lebih beruntung dilahirkan di keluarga yang bercukupan. Sementara Gemi dari keluarga miskin dan serba kekurangan.
Gemi selalu berada di sebelah Cherry dari bocah itu membuka mata saat terbangun dari tidur hingga gadis kecil itu memejamkan mata di malam hari.
"Gemi, ayo ikutan makan di sini saja," ajak Pak Burhan saat makan malam tiba.
"Saya makan di dapur saja, Pak, bareng Mbak Wati dan Mbak Sri," tolak Gemi merasa sungkan. Ia merasa pengasuh anak derajatnya sama dengan ART.
"Mama duduk sini, dekat Cherry!" teriakan gadis kecil itu membuat Fathur dan Pak Burhan terkesiap.
"Mamaaa?" tanya Fathur dan Pak Burhan hampir bersamaan.
"Mama Gemi adalah mamaku. Lagian aku minta Mama, tetapi Papa nggak pernah bisa kasih. Ya, sudah, kupilih mamaku sendiri saja," ucap bocah yang berusia lima tahun itu dengan antusias dan cerewet. Kedua lelaki dewasa berbeda generasi itu hanya tersenyum, Seperti tidak keberatan Cherry memanggil Gemi dengan sebutan "mama".
"Mama Gemi, ayo duduk di sebelah Cherry!" perintah Pak Burhan sekali lagi. Lelaki paruh baya itu jadi punya ide untuk menjodohkan Gemi dengan menantunya, Fathur.
Gemi menurut menaruh bokongnya di kursi sebelah bocah yang diasuhnya. Ada rasa sungkan dan tidak enak hati. Perlakuan Pak Burhan terkesan sedikit berlebihan. Dia hanya pengasuh anak, tetapi duduk satu meja dengan majikannya seperti sebuah keluarga.
Saat makan malam bersama keluarga Pak Burhan yang menyambut dirinya dengan hangat, Gemi teringat dengan Sadewa. Apakah suaminya itu sudah makan? Makan dengan apa? Gemi merasa kasihan saat membayangkan suaminya sendirian di rumah tidak ada yang melayani dan menyiapkan semua kebutuhannya.
[Mas Dewa udah makan?]
Gemi tidak tahan, akhirnya mengirimkan sebuah pesan untuk Sadewa setelah usai makan malam dan sudah berada di kamarnya yang nyaman. Ia hanya ingin memastikan keadaan suaminya itu baik-baik saja tanpa kehadirannya.
Tinggal di rumah Pak Burhan, Gemi di tempatkan di kamar tamu yang nyaman. Ruangannya besar dengan furniture lengkap seperti ada ranjang empuk, lemari pakaian besar, meja rias, televisi dan pendingin ruangan.
Berbeda dengan dua ART yang sudah lebih dulu mengabdi di rumah Pak Burhan. Wati dan Sri menempati kamar sempit untuk berdua di sebelah dapur. Tidak ada pendinginan udara. Hanya tersedia kipas angin saja.
Gemi khawatir perlakuan diskriminasi ini akan memunculkan perasaan itu dan dengki di hati kedua ART yang sudah lebih dulu bekerja. Gadis desa itu cemas akan dimusuhi mereka.
Saat tengah melamun, sebuah notifikasi pesan masuk terdengar. Gemi bersemangat segera membuka ponselnya berpikir itu pesan balasan dari Sadewa yang sudah ditunggu-tunggunya. Baru sehari berpisah, Gemi sudah dilanda rasa rindu.
[Gemi, kamu kenapa tiba-tiba kerja jadi pengasuh anak?]
Gemi kecewa karena pesan itu bukan dari Sadewa, melainkan dari Haris. Mungkin Haris tadi datang ke rumah, tetapi tidak menemukan dirinya.
[Aku pengen cari kesibukan saja, Ris.] Balas Gemi.
[Kenapa jadi pengasuh anak? Apa enaknya? Kerja ngikut orang nggak bebas? Aku bisa mencarikan pekerjaan yang lebih layak untukmu bila kamu mau?]
Haris tidak suka Gemi menjadi pengasuh anak. Ia pikir pengasuh anak itu pekerjaan rendah setara dengan asisten rumah tangga. Sebuah pekerjaan yang sering diremehkan orang.
[Kamu tahu kan, Ris, aku suka anak kecil. Aku seneng, kok, ngasuh anak. Kamu tidak perlu khawatir.]
Awalnya Gemi tidak begitu tertarik bekerja sebagai pengasuh anak. Ia hanya mengikuti kemauan suaminya. Namun, baru sehari bekerja Gemi menikmati pekerjaannya. Ia sudah sayang dengan bocah yang diasuh beserta keluarganya yang menerimanya dengan tangan terbuka.
***
"Mbak Wati, kenapa ya Gemi tidurnya di kamar tamu? Baru datang saja saja diperlakukan istimewa di rumah ini. Kayak tuan puteri saja padahal babu kayak kita," bisik Sri yang tengah mengepel lantai ruang makan.
"Hooh, Sri, kerjanya juga enak cuma nemenin Non Cherry main," timpal Wati yang tengah sibuk memasak di dapur. Kedua ART itu tengah menggunjingkan Gemi.
"Aku yakin pasti gaji Gemi juga lebih tinggi dari kita."
"Pasti itu."
Gemi yang sedang berada di dalam kamar mandi bisa mendengar dengan jelas obrolan dua ART di rumah Pak Burhan. Sepertinya mereka tidak menyukainya karena merasa Gemi diperlakukan istimewa di rumah itu.
Ada perasaan khawatir kedua ART itu kompak akan memusuhi dirinya. Gemi keluar kamar mandi dengan tersenyum. Berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka.
Hari ini Gemi menemani Cherry bermain boneka barbie. Koleksi Boneka Barbie-nya ada banyak. Ada juga rumah Barbie. Melihat boneka barbie mengingatkan Gemi akan sosok Devita.
Mantan istri siri Sadewa itu memiliki kecantikan fisik yang nyaris sempurna. Postur tubuh Devita mirip boneka Barbie, tinggi dan langsing. Hidung mancung, pipi tirus, dan bulu matanya yang lentik juga mirip Barbie.
Gemi menyadari selera Sadewa dalam memilih wanita tinggi. Harus cantik dan tinggi seperti barbie. Gemi lantas melihat pantulan dirinya dari kaca besar di almari yang memperlihatkan tubuh pendek dan gendutnya.
Melihat penampilannya sendiri di cermin membuat Gemi merasa insecure, tidak percaya diri. Sampai kapan pun Sadewa tidak akan meliriknya. Gemi merasa ia bukan tipe perempuan dambaan sang suami.
Gemi rasanya ingin menyerah saja. Cantik dari hati saja tidak cukup untuk membuat Sadewa jatuh cinta kepadanya. Sebenarnya kulit wajahnya sudah glazed. Kulitnya sudah cerah dan bercahaya. Namun, Gemi selalu gagal dalam menurunkan berat badannya. Sepertinya Sadewa menyukai wanita berpostur tubuh tinggi. Sementara Gemi merasa tinggi badannya masih kurang banyak. Di usianya yang sudah menginjak angka 23 tahun, rasanya mustahil tinggi badannya bisa bertambah. Akankah Gemi menyerah saja?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pilihan Ibu
عاطفيةSadewa dipaksa ibunya untuk menikahi Gemi Nastiti, gadis desa yang bertampang biasa dan sederhana. Sementara di ibu kota, lelaki itu sudah memiliki seorang kekasih nan cantik jelita bernama Devita. Ternyata, Sadewa sudah menikah siri dengan Devita...