Bab 3 Istri Rasa Pembantu

52 3 0
                                    


Bab 3 Istri Rasa Pembantu

Seorang perempuan berwajah cantik jelita membukakan pintu rumah, "Siapa perempuan ini, Mas?" tanyanya dengan kening berkerut.

Sadewa balik dari kampung dengan membawa seorang gadis desa berpenampilan udik.

Gemi Nastiti juga tak kalah syok saat mengetahui ada perempuan lain di dalam rumah suaminya.

Sementara Sadewa menggaruk tengkuknya bingung untuk memberikan jawaban. Ingin memperkenalkan Gemi sebagai ART rasanya ia tidak tega. Almarhumah ibunya selalu memuliakan ART dan menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga. Tidak pernah sekalipun meremehkan.

Dari kecil Gemi sudah membantu neneknya yang menjadi pembantu di rumah Sadewa. Kini suka tidak suka sekarang Gemi telah berstatus sebagai istrinya yang sah secara agama dan negara.

"Oh ... Mas Dewa bawa pembantu dari kampung, ya?" tebak perempuan bernama Devita itu dengan semringah. Ia senang mendapatkan ART baru. Sudah lima hari ART paruh waktu berhenti bekerja.

Perempuan berpostur tinggi semampai itu merasa senang mendapatkan ART baru yang akan bekerja full time.

"Iya, Bu, saya Gemi, pembantu baru yang akan bekerja di sini," ucap Gemi memperkenalkan diri.

Dadanya terasa sesak dan matanya mulai memanas. Baru menginjakkan kaki di rumah suaminya saja sudah disambut dengan sesuatu hal yang menyakitkan hati. Tidak seindah apa yang ia bayangkan.

"Perempuan cantik ini pasti kekasihnya Mas Dewa. Jadi Mas Dewa kumpul kebo dengan kekasihnya? Astagfirullah," batin Gemi bermonolog.

Menelisik kecantikan kekasih suaminya, Gemi makin minder. Ia tidak yakin bisa membuat suaminya berpaling padanya bila kekasihnya saja begitu cantik dan glowing.

Sadewa salah tingkah. Sebenarnya ia tidak tega dan tidak enak dengan pengakuan Gemi, tetapi ia juga tidak bisa mengakui gadis desa yang dibawanya sebagai istri sahnya di depan kekasihnya itu, khawatir timbul perang dunia. Ia pun sudah lelah berada di dalam kereta selama sembilan jam.

"Kamar kamu di belakang dekat dapur!" Devita menatap sinis Gemi lalu berpaling menatap intens lelaki tinggi tegap yang berdiri di hadapannya. "Maaas, aku kangen!" serunya manja.

Wanita berpakaian gaun tidur  berbahan satin transparan itu bergelayut manja di lengan Sadewa.

"Mas juga kangen kamu, Sayang." Sadewa membalas dengan merangkul pundak kekasihnya. Keduanya melangkah memasuki kamar utama meninggalkan Gemi yang masih terpaku di tempat. Sadewa tidak memedulikan perasaan Gemi sebagai istri sahnya.

Melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya, Gemi menjadi muak dengan dua orang yang mempertontonkan kemesraan.

Gemi terbakar api cemburu. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan gemuruh di dadanya. Sakit hatinya melihat suami yang dicintainya bermesraan dengan wanita lain di depan matanya. Ini baru permulaan saja. Ia harus menegarkan diri untuk menerima apa pun yang akan terjadi di rumah ini. Mungkin awalnya sakit, lama-lama semua akan terbiasa.

Menjadi pembantu bagi Gemi itu sudah biasa. Ia sedih setiap ingat Sadewa tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan.

Gemi kecewa, Sadewa tidak peka, tidak menjaga perasaannya sebagai istri yang sah secara hukum dan agama. Suaminya dengan teganya mengumbar kemesraan di hadapannya. Gemi menyesal telah memaksa ikut suaminya ke ibukota. Bila saja dari awal ia mengetahui suaminya tinggal dengan sang kekasih, ia tidak akan memaksakan diri untuk ikut.

Gemi bergegas menuju kamar di dekat dapur. Batinnya perih. Sebagai istri sah yang hanya dianggap sebagai pembantu di rumah suaminya sendiri. Dan kini suaminya malah bermesraan dengan kekasihnya. Sekali lagi Gemi kecewa dengan Sadewa yang ia pikir kumpul kebo dengan kekasihnya, tinggal satu atap dengan seorang wanita tanpa ikatan perkawinan.

Seingatnya dulu Sadewa rajin mengaji saat masih tinggal di desa. Ia tidak menduga pergaulan ibu kota yang bebas bisa menjerumuskan Sadewa hingga melanggar norma agama dan norma susila.

Setibanya di kamar pembantu. Air matanya berdesakan keluar tanpa sanggup ditahannya lagi.

"Aku harus bagaimana? Apa lebih baik aku meminta diceraikan saja. Rasanya aku tidak sanggup bila setiap hari melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain," isaknya pilu.

Gemi tidak percaya diri untuk bisa bersaing dengan kekasih Sadewa yang memiliki kecantikan nyaris sempurna. Sementara ia hanyalah gadis buruk rupa. Ternyata selera Sadewa tinggi, pikirnya. Pantas saja suaminya enggan untuk menyentuhnya. Mungkin suaminya jijik melihatnya. Gemi mulai berpikir untuk menurunkan berat badannya dan akan melakukan perawatan di wajahnya. Ia bertekad akan mengubah penampilannya.

Gemi sadar, ini dunia nyata, bukan negeri dongeng seperti kisah Cinderella. Ia harus berpikir realistis dan logis. Tidak terjebak dalam impian yang terlalu tinggi.

Setelah puas menangis, Gemi keluar kamar. Perutnya perih belum makan dari semalam. Saat Sadewa menawarinya makan malam di atas kereta api ia menolak. Sekarang ia baru merasakan kelaparan.

Gemi memandang tumpukan piring dan gelas kotor di kitchen sink. Lantai yang diinjeknya terasa ngeres dan agak lengket. Di atas meja makan juga berantakan. Bau tidak sedap menguar dari tempat sampah di pojok dapur. Devita jorok malas membersihkan rumah saat ART sudah mengundurkan diri. Ia mulai membersihkan area dapur yang berantakan.

Ekor matanya menangkap bayangan Sadewa tengah membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol air mineral dingin. Suaminya itu duduk di kursi yang mengelilingi meja makan lalu menenggak isi botol itu hingga tersisa setengahnya.

Gemi duduk di kursi yang berada diseberang meja makan. Ada yang ingin ditanyakannya kepada Sadewa.

"Mas Dewa kumpul kebo sama perempuan itu?" tanya Gemi dengan sorot mata kecewa dan terluka.

Pria berkaus oblong putih itu menatap Gemi dengan mata elangnya, "Aku masih paham agama, Gemi. Ibu tidak merestuiku untuk menikahi Devita. Karena takut dengan dosa zina pacaran kunikahi Devita secara siri. Aku sangat mencintainya. Jangan pernah berharap aku akan mencintaimu," tegas Sadewa berucap.

Ringan sekali Sadewa mengatakan itu. Ia tidak tahu hati Gemi berdarah-darah mendengar pengakuan lelaki yang dicintainya dengan sepenuh hati itu ternyata telah menikah secara siri dengan perempuan lain sebelum menikahinya. Fakta itu sungguh membuatnya terluka. Perempuan itu ternyata juga sudah berstatus sebagai istri siri Sadewa.

Semakin ia berharap, Gemi akan makin kecewa bila realita tak sesuai ekspektasinya. Namun, dengan harapan pula ia akan mampu bertahan melewati segala ujian dalam pernikahannya. Tidak ada yang tidak mungkin. Gemi masih saja berharap kelak Sadewa akan menerimanya apa adanya.

***

"Gemiii!" Teriakan Devita mengagetkan gadis desa itu yang tengah  mencuci pakaian di belakang. Gadis bertubuh tambun itu melangkah cepat menuju sumber suara.

"Ada apa, Bu?" tanyanya.

"Bikinin saya kopi mochacino dan roti bakar cokelat!" perintah Devita yang tengah duduk di ruang makan sambil memainkan ponselnya.

"Baik, Bu," sahut Gemi lalu berlalu ke dapur menyiapkan pesanan istri siri suaminya itu. Ia sendiri yang mengaku sebagai pembantu. Mau tidak mau ia harus menganggap Devita sebagai majikannya. Ia tidak bisa menolak permintaan Devita.

Menjadi pembantu rumah tangga memang sudah menjadi takdir hidupnya. Neneknya, Mbah Tum dari dulu adalah rewang atau pembantu di keluarga Sadewa. Ibunya, Sumirah dari gadis juga merantau ke ibukota bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga kaya raya, lalu diperkosa majikannya hingga hamil. Gemi tidak tahu siapa bapaknya.

Sumirah meninggal saat bertaruh nyawa saat melahirkan Gemi. Sedari  kecil Gemi sudah rajin membantu Mbah Tum yang renta menyapu halaman dan mencuci piring di rumah orang tua Sadewa. Jadi menjadi pembantu seperti sudah takdir hidupnya.

Bersambung ....

Istri Pilihan Ibu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang