Ada Cinta di SMA (lokal)

167 23 6
                                    

"Hiduplah Indonesia raya..."

Arthit meraup napasnya kuat-kuat dengan mempertahankan senyum khasnya. Latihan paduan suara sore itu mengharuskan Arthit dan timnya untuk selalu tersenyum, meskipun bukan senyum yang lebar, sih. Berakhirnya lagu itu juga pertanda bahwa bendera telah sampai di puncak, mata Arthit melirik ke sebelah kanannya, tepat di mana dua orang petugas pembawa bendera tengah mengikat tali yang mempertahankan bendera tetap di atas.

Belum bendera merah putih, mereka masih dalam latihan, upacara sebenarnya akan di laksanakan esok pagi. Dan sore ini adalah latihan terakhir untuk semua petugas. Baik petugas pembawa dan pengawal bendera, paduan suara, maupun pasukan baris berbaris, dan sejumlah petugas lainnya.

Tim paduan suara Arthit telah menyiapkan upacara ini jauh sebelum para petugas yang lain memulai latihannya, meskipun hanya upacara sumpah pemuda, namun pak Krist selaku pembina ekstrakurikuler tak mau membuat kecewa para guru dan peserta upacara jika tim paduan suaranya tak berjalan dengan baik. Maka untuk menjaga kualitas suara, pak Krist meminta para timnya untuk menginap bersama petugas-petugas upacara yang lain, tujuannya agar makanan mereka terkontrol. Tak ada yang makan atau minum jenis-jenis terlarang seperti es dan gorengan.

Pasukan pembawa bendera itu kembali ke tempatnya dengan langkah teratur dan terarah. Dari barisan paling belakang, Arthit makin tersenyum lebar melihat seseorang yang berada dalam barisan tersebut, sementara orang tersebut juga tersenyum, namun ia merasa canggung karena Arthit tersenyum lebar kepadanya. Tetapi ia tak ambil pusing, pemuda di dalam barisan tersebut kembali fokus dengan barisannya.

Siku Arthit di senggol, "Lebar banget senyumnya, dia gak lari kemana-mana!" Ledek teman Arthit yang berbaris tepat di sampingnya.

Orang yang Arthit pandangi adalah Kongpob, si pengawal bendera yang merupakan ketua pasukan keamanan sekolah yang memiliki ketenaran bahkan sampai ke luar sekolah. Parasnya yang rupawan serta otaknya yang encer mampu membuat siapa saja terpikat oleh Kongpob. Termasuk Arthit, yang sudah satu sekolah dengan Kongpob sejak menengah pertama. Dan kini ia melanjutkan perasaannya pada Kongpob meskipun sudah hampir lima tahun.

"Upacara selesai, barisan di bubarkan"

Akhirnya latihan upacara tersebut usai sebelum gelap, dan para petugas serta guru pembina yakin jika esok hari upacara akan berjalan dengan lancar. Seluruh petugas berkumpul acak di dekat tiang bendera, menunggu dua orang yang tengah menurunkan bendera latihan, selanjutnya mereka mendengarkan penutup dari kepala sekolah.

"Terima kasih, anak-anak! Bapak senang sekali melihat kalian latihan dengan sungguh-sungguh, semoga besok pagi kalian bisa bertugas seperti ini lagi, dan upacara berjalan lancar,"

"Aamiin..."

Setelah itu semua petugas membubarkan diri, sebagian orang termasuk Arthit masih di lapangan untuk membereskan perlengkapan upacara. Arthit adalah tim paduan suara, jadi ia membereskan alat-alat yang berhubungan dengan paduan suara. Kali ini ia membawa keyboard orgen yang biasa pak Krist gunakan. Arthit bersama satu orang temannya membereskan peralatan tersebut dan menyimpannya di ruang musik.

"Ayo semangat! Olahraga sore!" Sorak Time, teman Arthit menyemangati dirinya sendiri.

Ruangan musik dan ruangan ekstrakurikuler berada di ujung sekolah, sementara mereka berada di ujung sekolah yang lain. Dan sekolah mereka tidak bisa di bilang kecil, bahkan luas lapangan upacaranya bisa untuk membangun beberapa rumah. Wajar, karena sekolah Arthit adalah sekolah elit, dengan daya tampung siswa bisa mencapai tiga ribu orang, tak heran jika lapangan upacara saja bisa luas seperti ini.

Hari sudah gelap saat mereka sampai di ruang musik, sampai di sana mereka juga harus membereskan alat-alat yang berserakan, tetapi tiba-tiba Time izin pergi ke toilet, panggilan alam. Toilet tersebut berada di ujung lorong ruang ekstrakurikuler, lumayan memakan tenaga daripada menahannya lalu menjadi penyakit.

Tinggalah Arthit sendiri, ia hampir saja meletakan kursi di tempatnya, dan tiba-tiba lampu padam. Gelap gulita, bahkan lampu-lampu penerang dari luar juga padam. Hari sudah gelap, Arthit tak membawa ponsel. Benar-benar gelap bahkan Arthit tak mampu melihat apa-apa lagi.

"Huhhh...tenang, Arthit... cuma mati lampu, everything will be okey!"

Duar!

Tiba-tiba suara petir menyambar, ia terkejut setengah mati, kini ia bergetar. Gelap, petir, pasti sebentar lagi hujan, dan ia tak menemukan siapa-siapa, mungkin Time sudah kembali lagi ke sini. Karena konon ruang musik adalah ruangan 'angker' saat malam hari. Dengan keberanian yang menipis, ia merangkak menuju pintu keluar. Penerangan yang hampir tidak ada membuat Arthit harus merangkak keluar. Ketakutannya terasa hampir membunuhnya.

Namun remaja itu tetap tenang, ia berusaha mencari celah, saat ia menemukan daun pintu, ia segera duduk di sana, berharap jika ada penerangan sedikit. Arthit benar-benar takut.

***

"Ck! Di mana, sih?! Kata Time di lorong ekskul?!"

Sementara itu Kongpob, seorang petugas pembawa bendera yang tengah membereskan peralatan juga terjebak di ruang gelap, bedanya ia membawa ponsel. Tetapi sepupunya menelpon jika ada seorang teman tim paduan suaranya takut gelap dan terjebak di sekitar lorong ekstrakurikuler. Namun sudah tiga puluh menit Kongpob tak menemukan tanda-tanda kehidupan selain dirinya.

Akhirnya mau tak mau Kongpob menyalakan senter dari ponselnya yang tak seberapa daya baterainya, "Halo! Ada orang di sana?!" Seru Kongpob.

Arthit yang mendengar hal ini langsung membalas, "Ada! Tolong dong ini gelap banget!"

"Di mana?!" Kongpob ikut berteriak, matanya menelisik segala arah, mencari sumber suara.

"Ruang musik!"

Kongpob berlari cepat menuju ruang musik yang pintunya terletak di lorong paling ujung. Ia menemukan Arthit menutupi wajahnya di atas lutut yang di lipat, "Kamu gapapa?! Ada yang luka?" Tanya Kongpob memeriksa keadaan Arthit, kemudian Arthit menggeleng, "Aku gapapa, tapi tolong anterin aku ke kelas, aku takut gelap"

Akhirnya Arthit membuntuti Kongpob yang mengarakan senternya mencari jalan untu mereka kembali ke kelas, tempat yang sudah di sulap sedemikian rupa untuk beristirahat. Petir kembali menggema, membuat Arthit terlonjak, ia ketakutan.

"Kamu takut?" Arthit mengangguk, Kongpob dengan santai menggandeng tangannya, "Gapapa, aku di sini"

Semua ruangan untuk para petugas beristirahat ada di dekat lapangan, itu artinya ada di ujung yang lain dari ruang musik. Selain itu, ruang musik berada di lantai dua, ada tangga yang harus mereka lewati. Selama mereka mencari jalan menuju tempat istirahat mereka, Arthit memandangi tangannya yang digenggam Kongpob. Sangat nyaman, apakah ia aka melepaskan genggamannya setelah mereka sampai di ruangan nanti?

Apa yang kau pikirkan, Arthit? Kongpob adalah seorang ketua ekstrakurikuler pasukan keamanan sekolah. Perangainya mestilah ramah, mungkin sudah ada gadis yang Kongpob gandeng. Jangan berpikir jauh.

"Eum...Kongpob?"

"Ya? Kenapa, Arthit?"

Arthit terkesiap, Kongpob tahu namanya? Padahal ia tidak terlalu di kenal meskipun tim paduan suaranya terkenal di seluruh kota. Mereka terlalu sibuk untuk mengenal siapa saja anggota tim tersebut, "Kamu tau namaku?"

Pemuda yang berjalan di depan mengangguk, "Sebenernya...iya, aku udah lama tau kamu..." Bolehkah ia berharap? Dari sekian banyak siswa, Arthit di ingat oleh Kongpob.

"...pentolannya pak Krist siapa yang gak tau? Anak choir yang tiap hari nungguin jemputan ojek di tukang kue cubit,"

Trakk... Retak sudah hati Arthit, informasi itu adalah informasi umum, "Tapi, semua orang gak tau kalo kamu pecinta kucing yang suka ngasih makan ke kucing anjing liar,"

"Eh..."

Kongpob berhenti, dalam penerangan minim itu ia bisa melihat rona merah Arthit, kemudian Kongpob meraih tangan Arthit yang satunya belum di genggam, "Pacaran, yuk!"















Jadi mau bersambung apa mau end?

Kongpob Arthit OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang