Bab 6 Kebahagiaan

453 33 0
                                    

"Maria, adik hamba itu dituntut oleh ayah. Dia menurut hanya karena merasa bahwa mimpi saya untuk masuk ke Akademi sangatlah besar!" Judith duduk di seberang Claude yang entah kenapa tiba-tiba memanggil dirinya dan menyuruhnya untuk menceritakan tentang Maria.

__________

"Ayah tak berhak menentukan hidupku seenaknya!" Judith menepis tangan Krom yang hendak menariknya menuju persinggahan para prajurit liar milik Kerajaan.

Krom menampar wajah anak lelaki itu tanpa rasa kasihan sedikitpun berkali-kali, "Lalu apa yang kau bisa? Membaca buku hanya membuatmu seperti orang bodoh!"

"Saya ingin masuk Akademi!" Judith berseru keras, ia melempar bukunya ke lantai dan menggigit lengan Krom hingga berdarah lalu berlarian menuju kamar dan menguncinya.

Brak Brak

"Anak sialan! Akan ku tukar kau dengan anak dari panti asuhan sekarang! Keluar kau!" Judith menutup indera pendengarannya. Ia tak mampu mendengar caci maki yang lelaki tua itu berikan padanya.

"Kakak..." Maria mengulurkan tangannya, gadis itu terlihat seperti matahari yang muncul dari balik lemari tua yang telah Judith tutup.

"Maria telah menunggu lama, pelajaran Ayah pasti keras seperti biasanya ya?" Mata anak itu mengerjap, ia tersenyum lembut seperti biasa sambil menunjuk ke arah jendela. Kereta kuda meluncur dengan cepat pergi dari kediaman di tempat itu, "Ayah sudah pergi, kak. Jangan takut..." Maria memeluk Judith dengan erat.

Judith yang menggigil mulai menghangatkan diri dipelukan gadis kecil itu, "Apa kakak benci dengan pedang?" Matanya yang lugu menatap Judith tanpa dosa, anak lelaki yang ditanyai demikian hanya sanggup mengangguk tanpa sepatah katapun.

Maria menepuk gaunnya yang penuh dengan debu, ia duduk di atas kasur dan menepuk sisi sebelahnya yang kosong, menyuruh Judith untuk duduk di sampingnya. Ia mengambil sisir dan meminta Judith untuk menyisiri rambutnya yang panjang menjuntai.

Sangat halus dan lembut, cantik dan menawan. Hati yang begitu baik dan tulus. Judith hanya bisa menangis dalam diam mengingat bahwa Permaisuri dari Kerajaan meminta Maria untuk menyiapkan diri sedini mungkin.

"Apa... Tadi kau dari istana?" Tak ada jawaban, namun gadis itu malah menoleh sambil tertawa.

"Kak, apa kau tahu? Aku bertemu dengan anak seusiamu! Dia sangat tampan, dan Ratu mengatakan bahwa itu adalah anaknya yang akan dinikahkan denganku!" Mata Maria tampak berbinar terang. Ia sepertinya menyukai anak lelaki itu dalam sekali pandang.

"Uh? Lalu kenapa Maria?" Gadis itu terlihat sedih.

"Tapi, Permaisuri tidak suka. Permaisuri ingin aku menjadi pasangan Pangeran Lois. Aku harus bagaimana kak?" Maria juga menambahkan bahwa itu adalah pertemuan pertamanya dengan Claude, anak lelaki dari Ratu yang ia sukai.

"Maria, asal itu membuatmu bahagia. Aku akan mendukungmu, karena kau adalah adikku" Maria menatap Judith tanpa berkedip, ia seperti memikirkan sesuatu. Maria mengerjap, "Apakah... Begitu?"

"Apakah keputusan Maria juga harus membuat bahagia semua orang?" Pertanyaannya dijawab dengan anggukan Judith, "Bukan hanya orang lain, tapi kau juga harus bahagia!"

Maria tertawa, "Aku sudah membuat keputusan!" Perkataan yang riang dan terdengar antusias, Judith hanya membalas kalimat itu dengan tepukan lembut di kepala Maria, "Semoga kau bahagia, adikku..."

Namun kabar tak mengenakkan terdengar oleh Judith. Pagi itu ayahnya tak lagi mendatanginya seperti biasa, kebalikannya, sang ibu justru menyeruak masuk ke kamarnya sambil berteriak seakan tak terima dengan sesuatu.

"Judith! Apa yang kau lakukan pada adikmu! D-dia! Maria tiba-tiba bilang kepada ayahmu, dia ingin menjadi prajurit! Apa ini ulahmu!?" Julia jatuh didepan pintu dengan mata memerah. Pupus sudah harapan puterinya, akan hilang semua hal yang telah ia berikan pada Maria.

"Dia hanyalah seorang perempuan lemah Judith!" Tangis Julia pecah saat itu juga.

Secepat kilat, mengabaikan celotehan tajam ibunya, Judith menggebrak pintu yang ada di ruang latihan para prajurit. Terlihat ada Maria didalamnya yang sedang dilatih dengan tanpa manusiawi disana. Ia jatuh terkapar hanya dengan sekali tebasan angin oleh seseorang yang disebut sebagai Kapten.

Judith tanpa memperdulikan tatapan semua orang, ia menepis pedang yang gadis itu genggam hingga tangannya bergetar. Ia menarik Maria, "Mari pulang!" Serunya keras. Ia sudah menggenggam tangan Maria, ada banyak bekas luka berdarah yang menganga disana.

Maria menggelengkan kepalanya, "Kakak pulanglah, ibu pasti menunggu..." Ia tersenyum seakan itu bukanlah masalah yang besar. Judith jatuh merosot kebawah kayu-kayu kasar yang menjadi perijakannya. Anak lelaki itu menangis sejadi-jadinya.

"Mengapa?! J-jika tahu aku pasti ak-" Maria memeluk Judith dengan lembut. Ada setitik embun di ujung matanya, ia masih berusaha untuk menahan tangisnya.

Judith memandang kebelakang, prajurit-prajurit itu menundukkan tatapan mereka yang rupanya sedih akan kisah kakak beradik itu. Seakan keadaan para Bangsawan lebih buruk daripada rakyat yang bebas seperti mereka.

Judith juga baru menyadari sesuatu, rambut yang selama ini dibangga-banggakan oleh Maria habis terpotong hingga dibawah telinganya. Rasa sesal karena telah bercerita pada anak sepolos itu membuat hati kecil Judith menderita.

Maria mengusap air mata yang mengalir terus menerus di mata kakak kandungnya itu, "Ini bukan salah kakak, ini justru adalah keputusanku. Semua ini akan membuat semua orang bahagia!"

"Kakak takkan menderita dan kedua pangeran itu tidak akan memperebutkan diriku. Aku takkan membiarkan semua orang terluka hehe..."

Senyuman itu lagi malah membuat semua orang menjadi pilu. Anak sekecil itu dengan pemikiran yang sederhana namun sangat dalam membuat semuanya ikut tertampar. Maria telah mengajari mereka tentang apa makna sebetulnya dari cinta. Cinta yang suci dan putih.

Claude's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang