BAB 13 Kepercayaan

36 8 0
                                    

"Maria hanya akan tunduk pada Yang Mulia Claude..." Gadis itu terduduk di lantai, matanya menatap kedua telapak kaki yang terjulur di hadapannya. Claude memerintahkannya untuk mencium kaki itu.

Maria mematuhinya.

"Apa yang sedang kulihat ini?" Kedua bola mata Felix bergetar. Tanpa alasan yang jelas Claude, yang disebut sebagai Keturunan Dewa yang Agung bersikap angkuh didepan banyak orang.

"Maria-" Seseorang menepuk bahunya, kepala orang itu menggeleng dengan mata menatap sedih akan pemandangan yang ada di hadapannya.

"Puja aku Maria, puja aku dengan seluruh jiwa ragamu..." Claude menyeringai, ia mengambil dagu Maria yang hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

Perlahan, Maria merasakan rasa mengantuk yang parah pada dirinya. Ia cukup lelah dengan segala hal yang sudah ia korbankan.

Masa mudanya. Belas Kasihnya. Hatinya. Cintanya.

"Maria hanya memuja satu Tuan. Yang Mulia Claude..." Kepalanya benar-benar menyentuh tanah.

Emosinya perlahan menghilang.

"Haha! Itu benar! Aku Tuanmu! Tuhan bagimu!" Keserakahan menggerogoti hati lelaki itu dan orang-orang yang melihat sikap semena-menanya tak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya.

Maria mengangkat kepalanya, ia menatap Claude yang kini sedang bergembira dengan gadis-gadis pelayan cantik di sisi kanan kirinya. Annabeth yang duduk agak jauh dari suaminya hanya menundukkan kepalanya, ia malu setengah mati dengan kebobrokan yang diperlihatkan diatas singgasana yang katanya suci. Namun nyatanya telah ternodai.

Seseorang mendekatinya. "Apa kau baik-baik saja?" Felix berbisik, menepuk bahunya.

Dengan segera Maria berdiri seraya menatap Felix, "Apa kau tak takut dengan Yang Mulia?"

Felix menggeleng, "Hei, Yang Mulia Claude. Aku ingin mendiskusikan sesuatu denganmu? Bolehkah kita berbicara ditempat yang agak sepi?" Matanya menatap mantap kehadapan seseorang dengan kedudukan yang tinggi darinya.

Felix tahu, melihat Maria yang bangkit tanpa aba-aba atau perintah darinya hanya akan membuat marah Claude, namun dengan usulan pribadinya pasti berhasil meredakan sedikit amarah Claude walau sedikit.

"Soal apa ini?" Claude masih tak berminat padanya, "Perang dua tahun yang lalu, apa itu kurang bagimu?"

Ia melanjutkan, "Mungkinkah leher ayah dan isteri mudanya kurang bagimu?" Mendengarnya, tangan Felix terkepal. Tapi senyuman di wajahnya tetap mekar.

Claude menajamkan matanya sambil menatap Maria, "Setahuku kau menyelesaikan tugasmu dengan baik, Maria. Apa yang tidak kuketahui kali ini?"

Mata Claude menyimpan kecurigaan yang tak berdasar. Segera, lelaki itu menghembuskan napas kasar dan berjalan turun kebawah. "Kuterima usulanmu, kita bahas ini di tempat lain"

Jubah emasnya berkibar, sejauh mata memandang akhirnya semua orang bisa menghirup udara dengan tenang. Claude telah pergi diikuti oleh Felix.

*
"Aku cukup menyukainya, tapi karena kupikir dia bukan milikku. Jadi buat apa aku menaruh hati? Ada banyak gadis cantik diluar sana..." Felix mengambil anggur dan meneguknya sekali, "Karena sudah jelas dia mencintai siapa bukan?"

Claude masih menundukkan kepalanya, "Dia memihak Putra Mahkota sebelumnya" Mendengar cerita Felix di hari itu Claude dengan seenaknya menyimpulkan.

"Lalu bagaimana bisa kau ada di tempat ini sekarang? Menikmati semua jerih payahnya. Setiap rampasan perang yang kau nikmati adalah miliknya"

"Lantas kau ingin aku melakukan apa!" Claude berteriak, ia menarik kain meja hingga benda-benda yang ada diatasnya jatuh berhamburan.

Prang

Botol minuman yang dinikmati oleh keduanya bahkan terpecah menjadi beberapa serpihan menyedihkan. Beling kaca yang agak besar memantulkan ekspresi wajah Claude.

Seluruh penyesalan mendalam tergambarkan dalam sebuah pantulan kaca.

"Memuakkan! Kalian semua sialan!"

"Karena ucapanmu! Aku meragukan dia lagi!"

Felix menoleh bengis. "Percuma toh, Maria sudah mati?" Ucapnya langsung menyadarkan Claude, kemarahan tak terkendali dari pria itu menghilang tanpa jejak.

"Kau mencari perkara denganku..." Claude mendekati Felix. Secepat kilat menyentuh kepala laki-laki yang baru saja mengatakan alasan keputusasaannya selama ini. Tak terbendung lagi, ia hampir saja mematahkan leher sekutunya itu jika saja puteranya datang dengan senyuman sumringahnya.

"Ayah! Aku punya sesuatu untuk ku beri padamu!"

Berhenti bergerak. Felix menempis Claude, ia terbatuk-batuk di lantai. "Tena-gamu... Lumayan juga..." Ia tak berniat untuk melebih-lebihkan apalagi dihadapan mereka sedang ada anak kecil yang menatap.

"Rai, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" Seperti melupakan dukanya, Claude berbalik padanya. Ia bahkan menggendong anak itu dengan tatapan penuh kasih sayang. "Apa itu?"

"Ayah, aku mendapatkan ini dari paman. Katanya ini untuk ulang tahun ayah kemarin"

Rai menunjukkan satu kotak berukuran kecil padanya, Claude langsung menyimpannya di dalam saku di dalam jubahnya.

"Kenapa ayah tidak memberitahuku?" Bibir anak manis itu mengerucut. Alis Claude bertaut, "Apanya?"

"Ulang tahun ayah!" Seru dan jawabnya kesal.

Claude menggigit bibirnya sendiri, ia memaksakan sebuah senyuman. "Tak ada yang istimewa di hari itu, nak"

"Tapi itu ulang tahun ayah!"

Dan Maria juga mati hari itu.

*

"Maria tahu?" Rasa benci memenuhi rongga dadanya, kepalanya serasa ingin pecah. Seakan-akan ada aliran aneh yang mengalir di kepalanya, wajahnya menjadi memerah tiba-tiba.

"Mana aku tahu, kenapa tanya aku?" Felix terkekeh.

Felix melanjutkan, "Terima kasih telah merawat anak-anak kami di daerah itu selama ini"

Anak-anak rampasan perang selalu dihabisi demi mengurangi ratapan dendam yang bisa memicu peperangan yang berlanjutan di masa depan. Claude selalu memerintah seluruh pasukannya untuk membasmi semuanya, tidak perduli bayi ataupun sudah tua renta.

Sepertinya Maria tidak benar-benar kehilangan nuraninya.

"Pergi!" Claude mengusir lelaki itu dengan teriakan yang cukup keras.

"Aku juga menemukan sesuatu yang menarik" Felix mengangkat dagunya, "Kau yakin tak ingin mendengarnya?"

Claude ingin menutup telinganya.

Maria loyal padanya. Ia ingin mempercayainya.

Saat pelayan disana menarik Felix untuk keluar dari ruangan, ia berkata. "Saudara tirimu menjadi gila, itu sudah cukup menjadi karmanya..."

Gertakan suara dari gigi yang berdentang di ruangan itu menggema beberapa kali.

Dia sudah mati. Sialan itu sudah mati.

"Apa lagi yang kau sembunyikan dariku, burung kenari kecilku..." Suaranya mendesis.

Hilang rasa percayanya, hilang juga akalnya.

Claude semakin menggila.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Claude's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang