022. Dilema

162 21 0
                                    

"Mengambil keputusan adalah hal yang sulit. Salah pilih sedikit saja bisa menjerumuskan dalam masalah."

~FEARFUL~

•••

Ruang istirahat untuk pekerja ramai karena para karyawan cafe sedang menikmati waktu istirahat mereka. Sekitar empat orang berkumpul mengelilingi meja persegi panjang, mengobrol serius. Allea yang paling kecil duduk menyendiri di pojok seorang diri.

"Akhir-akhir ini kita sering libur," ucap salah satu karyawan.

"Ada masalah apa, ya?" tanya salah satu diantara mereka.

Obrolan mereka samar-samar terdengar di telinga Allea karena mereka mengecilkan suaranya. Namun, ia ikut bertanya-tanya dalam hati mengenai alasan kenapa mereka sering libur tanpa alasan.

Pintu ruangan terbuka lebar, menampakan seorang pemuda jangkung yang mengenakan kemeja kotak-kotak dipadukan celana pendek selutut. Akhir-akhir ini ia sudah tidak pernah membantu di Cafe.

"Allea, aku mau bicara bentar."

Allea membuang nafas kasar. Cukup sulit menghindari pemuda itu karena ia bekerja di cafe milik ibunya. Mau tak mau gadis itu bangkit mengikutinya yang berjalan ke luar cafe.

Mereka mengobrol di dekat parkiran yang letaknya tak jauh dari jendela cafe.

"Kenapa kamu jauhin aku?" tanya Nando serius. "Sengaja mau balas dendam karena pernah cuekin kamu?"

Allea menundukan pandangan enggan menatap matanya. Haruskah ia memberitahunya bahwa Anisa yang menyuruh Allea menjauhinya. Sayangnya gadis itu tidak mau persahabatan mereka jadi rusak atau malah Nando tidak akan mempercayai ucapannya.

"Chat enggak dibalas, telepon pun selalu kamu tolak. Aku datang ke kelasmu, pasti ada aja alasannya buat nolak ketemu. Aku jadi bingung, Allea!"

Tak adanya respon dari Allea membuat Nando mengacak rambutnya frustasi. Tantangan tersulit mendekati Allea memang berada di komunikasi. Gadis itu kadang seperti patung saat di ajak berbicara.

"Apa aku ada salah sama kamu?"

"Enggak, kok," jawab Allea akhirnya.

"Terus ada apa??" tanya Nando penuh penekanan.

"Ee—"

BRAKK ...

Sebuah batu berukuran sekitar segenggamam tangan menghantam jendela kaca cafe yang seketika pecah. Untung saja Nando sigap menarik tubuh Allea. Jika tidak, bisa saja kepala gadis itu yang pecah karenanya.

Pihak Security yang berjaga langsung mengamankan lokasi kejadian dan menenangkan pengunjung yang ketakutan. Nando menoleh kesana-kemari mencari keberadaan pelaku pelemparan, tapi ia tidak melihat tanda-tanda mencurigakan.

Ditariknya Allea menjauh dari lokasi kejadian. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

Kaki Allea lemas seketika karena efek syok. Nando menopang tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Perasaan sesak dan takut bercampur aduk. Tiba-tiba teringat ancaman seseorang padanya.

Nando refleks memeluknya sambil mengelus punggung gadis itu. "Kenapa, Allea? Apa ada yang luka?"

Allea mendorong tubuh pemuda itu agar melepas pelukannya. Tangannya mengusap matanya yang sedikit berair.

Ponsel di sakunya bergetar membuat ia meraihnya dengan cepat. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal membuatnya membulatkan mata.

+62 8559++++++++

|Hari ini lo bisa selamat. Tapi liat aja lain kali! Lo nggak akan selamat. Gue udah bilang JAUHIN NANDO, tapi lo tetap aja deketin dia. See ....| 17:11

Sudah jelas pesan itu datang dari Anisa. Allea yakin gadis itu sedang mengawasinya di sekitar sini. Ia tak menyangka Anisa benar melakukan yang diucapkannya.

"Dari siapa?" tanya Nando berusaha mengintip layar ponsel Allea.

Ia sedikit tersentak saat Nando mendekatkan kepalanya membuat Allea segera menjaga jarak. Dengan segera Allea mematikan ponsel dan memasukannya kembali ke saku seragam. Berharap Nando tak sempat melihat pesan itu.

"Kak!"

Nando menatap Allea dalam diam menunggu kalimat apa yang akan diucapkannya.

"Jauhin aku!"

Kalimat itu membuat Nando terkejut.

"Aku gak suka Kak Nando yang sok akrab. Selama ini aku risih kalau kakak ngajak aku ngobrol. Aku baik sama Kak Nando karena aku menghormatimu sebagai kakak kelas."

Allea pergi dari tempat itu. Meninggalkan Nando dengan segala keterkejutannya. Ia membeku menatap punggung gadis itu yang memasuki cafe.

***

Dengan langkah gontai, Allea membuka pintu rumahnya. Wajahnya murung dan nampak lelah. Ia ingin segera istirahat untuk memulihkan energinya yang terkuras habis.

Saat menuju kamarnya, ia melewati ruang keluarga yang diisi dua wanita yang seketika tersenyum melihatnya. Helaan nafas kasar Allea terdengar. Baru selesai berurusan dengan Nando yang cukup membuat pikirannya pusing, sekarang harus berhadapan dengan bibinya.

"Allea, sini!" ucap Jamilah sambil menepuk sofa di sampingnya.

Allea melangkah malas dan duduk di samping bibi dan juga neneknya.

"Bagaimana tentang pinjaman uang yang Tante minta?" ucap wanita itu to the point.

"Aku belum ambil keputusan, Tan."

"Kok gitu, sih? Padahal tante mintanya udah lama, loh. Pasti langsung aku ganti, jangan takut!"

Allea melirik nenek untuk meminta pendapat. Ia masih anak di bawah umur yang belum paham betul masalah keuangan. Semua keuangannya dipegang oleh neneknya. Dari rekening orang tua Allea hingga kebutuhan rumah mereka.

Oma Sarah mengelus bahu cucunya, "Oma serahkan semua keputusan pada kamu. Oma nggak bisa maksa kamu untuk bantu Tante Jamilah, meski tantemu sangat butuh uang itu."

"Tante akan kembalikan secepatnya!" seru Jamilah meyakinkan.

"Aku harus gimana, Oma?" tanya Allea semakin bimbang.

"Oma sebenarnya sangat ingin membantu Tante kamu, tapi keuangan Oma tidak stabil karena hanya mengandalkan warisan almarhum kakekmu. Oma harap kamu bisa bermurah hati membantu Tante Jamilah."

Jelas Oma Sarah berpihak pada Jamilah.  Hanya saja ia tidak berani bicara secara gamblang. Jamilah adalah anak kesayangannya yang paling royal padanya. Meski sifatnya sedikit kasar dan sombong.

Allea diam sejenak setelah mendengar ucapan nenek. Semakin dilema dibuatnya.

Setelah berpikir panjang, ia akhirnya mengiyakan permintaan Jamilah. Meski dengan sangat berat hati.

Jamilah memeluk keponakannya erat, "Terima kasih, Allea sayang. Tante tidak akan melupakan kebaikanmu."

Meski canggung, Allea tetap membalas pelukannya.

"Oh, ya, Tante butuh uangnya besok. Bisa, kan?" tanyanya sambil melepas pelukan.

Gadis itu melirik neneknya. "Aku serahkan semuanya pada, Oma. Buku rekening dan kartu ATM, semua Oma yang pegang. Aku cuma pegang akun m-banking aja."

"Sekali lagi, terima kasih Allea! Makasih juga, Mom!" ucap Jamilah memeluk Ibunya.

Oma Sarah dan Jamilah berpelukan penuh haru. Senang masalah keuangannya akhirnya akan selesai. Jamilah adalah si bungsu yang selalu diusahakan apapun keinginannya. Bahkan sampai saat ini masih tinggal di rumah orangtuanya bersama ketiga anaknya.








FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang