The Obsessed-[35]

19.6K 907 81
                                    

Reva dikejutkan dengan asisten Derryl yang tiba-tiba membuka pintu dengan keras.

"Nyonya ikut saya ke rumah sakit!"

"Ada apa?" Tanya Reva.

"Nona Adinda meninggal dunia dan tuan Xion mencoba bunuh diri"

"Apa?! Dinda meninggal?"

"Iya nyonya"

Reva mencoba memahami apa yang terjadi sekarang, kabar kepergiaan Dinda secara mendadak ini membuat Reva kebingungan.

Reva berusaha mengatur nafasnya, air matanya kini mengalir dengan deras. Rasanya seperti kembali pada saat ia mendapat kabar kerpergian putrinya.

Reva seperti dejavu. Jika dulu ia kehilangan Noora karena Derryl hari ini ia kehilangan Adinda karena Xion.

***

Derryl menatap tubuh kaku Adinda yang kini terbaring di kamar mayat.

Derryl membuka kain yang menutup tubuh Adinda, melihat seberapa dalam luka yang dialami Adinda.

Derryl kembali menutup tubuh Adinda.

"Istirahat dengan tenang Din. Maafin daddy"

Derryl merogoh saku celananya dan menyalakan ponselnya.

Ia menekan sebuah aplikasi telepon lalu men-search sebuah nama.
Kontaknya yang sudah ia blokir. Namun tidak ia hapus.

Derryl membuka blokiran kontak tersebut lalu menelfonnya.

"Hallo? Maaf ini siapa?" Tanya seseorang di seberang telfon tersebut.

Derryl menatap kembali mayat Dinda lalu memejamkan matanya.

"Adinda meninggal Sherryl" ucap Derryl.

Terdengar suara kaget, bercampur panik dari Sherryl.

"Sekarang Dinda ada di rumah sakit mana?"

"Rumah sakit Harapan Indah" ucap Derryl sedikit bergetar.

Sherryl segera menutup telfon itu.

"Maafin Daddy Din"

***

Kabar kepergiaan Adinda pun sudah menyebar di grup angkatan sekolah Dinda. Banyak yang mendoakan semoga Dinda tenang disisi-Nya.

Kabar itupun terdengar ke telinga Braga, Braga yang sedang les pun kini tidak fokus dengan materi yang diberikan guru pembimbing.

Memang tadi Dinda tidak sekolah, tapi ia tidak menyangka, bahwa Dinda bisa pergi dengan sangat cepat.

Suara notifikasi dari grup kelasnya pun terus berbunyi.
Selain mengucapkan berbela sungkawa, mereka juga membicarakan apakah mereka akan pergi melayat atau tidak.

Jam bimbingan Braga sudah selesai, ia segera keluar dari tempat lesnya, lalu segera menaiki motor kesayangannya yang terparkir di depan tempat lesnya itu.

Tanpa pikir panjang Braga langsung menancap gas motornya itu ke rumah sakit Harapan Indah.
Beruntung di grup kelasnya ada yang memberi tahu dimana rumah sakit tempat Dinda menghembuskan nafas terakhirnya.

***
Reva dengan buru-buru menuju kamar mayat untuk melihat Dinda, belum sampai ke kamar mayat, Reva menghentikan langkahnya.

Ia melihat Sherryl yang sedang bersujud di kaki Derryl, air mata Sherryl mengalir dengan deras.

"Maafin aku kak, aku udah kembali, kakak bisa sembuhin Dinda kan? Aku bakal nurut sama kakak, aku bakal balik ke kakak, tapi aku mohon kembaliin Dinda kak"

"Aku baru ketemu Dinda berapa jam yang lalu kak, masa sekarang aku haris kehilangan Dinda untuk yang kedua kalinya? Kak aku mohon maafin aku" ucap Sherryl sembari terus memeluk kaki Derryl.

Reva mendengar keputusasaan dari Sherryl. Ia juga merasakan sakit di hatinya. Jika ditarik garis lurus sebenarnya ini adalah kesalahannya. Jika ia tidak memberi pil KB Xion tidak akan semarah itu terhadap Dinda dan juga jika ia tidak mempertemukan Dinda dengan Sherryl hal ini juga tidak akan terjadi.

Reva membalikan badannya lalu berjongkok dan membekap mulutnya. Ia mencoba menahan tangisannya. Kini ia benar-benar merasa bodoh dalam bertindak seharusnya ia tidak melakukan itu.

Reva mengusap air matanya, lalu kembali berdiri. Ia akan ke ruang inap Xion terlebih dahulu sebelum ia ke kamar mayat untuk melihat Adinda.

Baru beberapa langkah ia tiba-tiba terjatuh karena seseorang menabraknya dengan cukup keras.

"Maafkan saya" ucap anak laki-laki yang memakai seraga sama seperti Adinda dan Xion.

"Kamu temannya Adinda?" Tanya Reva.

Braga mengangguk.

"Saya temannya Adinda tante".

Reva tersenyum, kemudian berdiri dibantu oleh Braga.

"Kamu bisa ikut dulu dengan saya?" Tanya Reva, ia tidak mungkin membiarkan Braga melihat Sherryl yang sedang bersujud di kaki Derryl.

"Iya bisa tante"

Reva membawa Braga ke taman yang berada di dekat situ.

"Saya tidak tahu jika Dinda mempunyai teman. Karena setahu saya Dinda tidak di izinkan memiliki teman oleh Xion"

"Xion memang melarang saya untuk berteman dengan Adinda" ucap Braga.

Reva tiba-tiba menggengam tangan Braga.

"Terima kasih sudah berteman dengan Dinda, tolong doakan Dinda ya. Dan saya yakin Dinda senang berteman dengan kamu"

***

Suara burung berkicau kini bersenandung di telinga Xion, pancaran sinar matahari mulai mengganggu tidurnya, ia meraba ke samping tempat tidurnya berharap menemukan sosok Dinda di sisinya.

Xion perlahan membuka matanya, ia tidak menemukan sosok Dinda dimana pun. Xion segera bangkit lalu mencari Dinda di setiap sudut kamarnya.

Ia menemukan Dinda di balkon kamarnya, seingatnya ia selalu mengunci pintu balkon tersebut, tapi kenapa Dinda bisa ada disana?.

Xion perlahan mendekat ke arah Dinda, memeluk gadisnya itu dari belakang, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher milik Adinda.

Rasanya sangat nyaman sekali.

"Xion bermimpi buruk" ucap Xion.

Dinda menatap Xion.

"Xion mimpi kalau Dinda ninggalin Xion selamanya, Xion benci sama mimpi itu"

Dinda melepaskan pelukan Xion, lalu menangkup kedua pipi Xion.

"Jalani hidup Xion dengan baik ya"

"Tugas Dinda udah selesai, Dinda udah maafin Xion"

"Maksud Dinda apa?"

"Dinda bakal terbang tinggi banget"

"Dinda tahu kalau Xion anak baik, Xion bisa berubah tanpa Dinda"

"Enggak Xion gak mau Dinda pergi ninggalin Xion!"

"Enggak Dinda gak boleh pergi!"

Xion memeluk tubuh Dinda dengan kencang berharap Dinda tidak pergi kemana-mana.

Namun, semuanya sia-sia tubuh Dinda perlahan menghilang entah kemana.

"Adinda jangan tinggalin Xion" ucap Xion dengan lirih.
























Halo apa kabar?
Masih ada yang nungguin cerita ini ga sih? Wkwk
Udah lama banget ya aku gak update.
Jangan lupa buat di vote, komen, dan share💜



The Obsessed [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang