03

494 95 13
                                    

Sukses!

Aku berhasil menghindari Pak Daniel. Saat Pak Daniel sedang memesan makanan, aku buru-buru pamit pada dua temanku dan keluar dari kantin. Sebaiknya aku pulang daripada berkeliaran di kampus dan kemungkinan bisa papasan lagi sama Pak Daniel.

Cukup seminggu sekali, enggak perlu lebih dari itu.

Aku mengembuskan napas lega saat duduk di dalam mobil. Tanpa menunggu lebih lama, aku memasang sabuk pengaman lalu.. “Arghh!”

Ketukan di jendela mobilku mengagetkanku. Aku memegang dadaku sambil menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Jendela mobilku kembali diketuk, jadi aku menoleh tajam. Tatapanku yang tadinya penuh permusuhan berubah saat tahu siapa pelaku yang membuat jantungku hampir lepas. Pak Daniel!

Mau apa dia?

Pak Daniel kembali bersiap mengetuk jendela namun aku cepat-cepat menurunkan kaca jendelanya. Pak Daniel menunduk hingga mata kami nyaris sejajar. Wah! Dilihat dari dekat, aku akui Pak Daniel makin tampan.

“Bisa keluar sebentar? Saya mau bicara.”

Aku mengernyit. “Soal apa, ya, Pak?” tanyaku hati-hati. Status Pak Daniel sekarang adalah dosenku, bukan lagi orang asing yang menabrak motorku. Mulutku harus hati-hati kalau enggak mau mengulang dua kali.

“Tentang yang kemarin. Kamu bisa keluar, kan? Orang mungkin akan salah paham lihat posisi saya.”

“Oh!” Aku melepas sabuk pengaman dan mengikuti perintahnya. Aku juga enggak mau jadi bahan gosip. “Maaf, Pak.”

Pak Daniel mundur selangkah lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Kalau enggak salah ingat, kemarin saya kasih kamu kontak yang bisa kamu hubungi.”

Aku mengangguk.

“Kenapa kamu enggak hubungin saya?” tanya Pak Daniel.

“Itu.. biayanya enggak besar kok, Pak. Jadi, enggak perlu,” kataku sambil memaksakan mengulas senyum.

Pak Daniel mengernyit dengan mata menyipit lalu menggeleng. “Enggak. Walaupun kecil, saya harus tetap bayar. Itu salah saya.”

Ini orang kok maksa? Harusnya kan dia seneng pihak korban enggak minta ganti rugi atau nuntun dia. Ditolak dua kali, masih aja ngotot. Heran. Aku mesti bilang apa lagi biar Pak Daniel mengerti dan enggak bahas masalah tabrakan itu lagi?

“Jadi, berapa?”

Aku melirik beberapa mahasiswa yang lalu lalang di sekitar kampus dan mereka secara terang-terangan melihatku dan Pak Daniel. Kalau makin lama, bisa-bisa aku beneran digosipin. Aku sudah trauma dengan gosip setahun lalu, tentang aku yang dekat dengan dosen yang telah beristri. Kali ini enggak lagi.

“Nomer kamu.”

“Hah?” Aku melongo. Aku enggak salah dengar, kan? Jadi, Pak Daniel enggak nanya berapa biaya perbaikan motorku, tapi nomorku? Ini orang yang sama dengan dosen tegas yang tadi mengajar di kelas, kan?

“Bapak ...” Aku menggeleng sambil memejamkan mata. “Maaf, Bapak tadi ngomong apa? Kayaknya saya salah denger.”

Pak Daniel mengeluarkan ponsel dari saku belakang celananya. “Saya minta nomor kamu. Bisa?”

“Buat apa, ya, Pak?” Aku belum ada niat menyambut ponselnya.

“Urusan motor kamu masih harus kita bicarakan, tapi saya harus masuk sekarang. Jadi, saya minta nomor kamu biar komunikasinya gampang.”

Di kepalaku seakan-akan ada yang terus berteriak, enggak! Tapi masalahnya dengan alasan apa lagi aku bisa menolaknya? Aku makin merasa terdesak dengan tatapan penuh rasa ingin tahu mahasiswa yang terus lewat.

“Ya udah deh, Pak.” Aku mengambil ponsel Pak Daniel dan mengetik nomorku di sana. Emm, bukan nomorku sih sebenarnya. Nomor yang kuberikan pada Pak Daniel adalah nomor khusus untuk orang-orang yang ingin menggunakan jasa endorse-ku. “Nanti saya kasih tau biayanya berapa,” kataku mengembalikan ponselnya.

Pak Daniel mengangguk-angguk sambil menatap layar ponselnya. “Ini bukan nomor kamu.”

Pak Daniel enggak bertanya, tapi lebih ke menuduh. Pak Daniel mengangkat pandangan lalu beralih ke ponsel yang kupegang. “Lihat,” katanya sambil menunjukkan layar ponselnya padaku. “Hape kamu enggak nyala.”

Ketahuan! Aku meringis dan pelan-pelan menyembunyikan ponselku ke belakang tubuhku. “N-nomor saya emang ada dua, Pak.”

“Kalau gitu, tulis juga yang satunya.” Pak Daniel dengan santainya mengulurkan ponselnya lagi.

“Saya lebih sering pake yang itu kok, Pak.”

“Ini akun bisnis.”

Kira-kira seperti itulah hingga akhirnya aku memberikan kedua nomorku pada Pak Daniel dan sejujur-jujurnya, itu pun dengan sangat terpaksa. Entah apa yang akan terjadi padaku dan dosen yang kuharapkan hanya bertemu seminggu sekali itu.

**

Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan bersiap bekerja. Barang endorse-ku enggak banyak sih kali ini, cuma aku enggak suka kalau ada barang numpuk di kamar. Mumpung aku ada di rumah dan enggak ada panggilan jalan, lebih baik kukerjakan sekarang.

Selesai mandi, aku terlebih dahulu turun ke dapur. Buah yang kumakan tadi enggak ada rasanya sama sekali di perutku. “Mbak, siang ini masak apa?”

Mbak Sari, perempuan bertubuh mungil berusia 27 tahun yang sudah bekerja 5 tahun di rumahku, menengok dan mengulas senyum. Mbak Sari menghentikan kegiatan cuci piringnya dan membuka tudung saji di meja. “Karena Mbak tau kamu pulang cepet, Mbak buatin ikan bakar. Terus sayur kangkungnya, minyak buat numisnya cuma sesendok.”

Karena sudah lama bekerja di rumah, aku memang cukup dekat dengan Mbak Sari. Aku juga yang minta biar Mbak Sari enggak manggil aku Non. Meski awalnya Mbak Sari nolak, tapi aku juga enggak menyerah bujuk Mbak Sari hingga akhirnya mau.

Aku menarik kursi dan duduk di sana. “Makasih, Mbak.”

Sedikit banyak, Mbak Sari tahu kebiasaan makanku. Sejak mendapatkan tubuh yang aku idam-idamkan, aku menjaga ketat asupan kalori yang masuk. Aku enggak mau balik ke masa di mana cuma bully-an yang kudengar.

Sayangnya, orang-orang yang lihat luarnya saja tanpa tahu usaha yang aku lakukan, kadang bikin aku cuma meringis. Mereka selalu menganggap tubuhku sudah begini adanya dari kecil, menganggap aku beruntung, dan segala macam. Padahal usahaku juga enggak main-main.

Rutin olahraga, hitung kalori makanan perhari, cheating day cuma sehari seminggu di mana aku bisa makan makanan tinggi kalori kesukaanku. Kayak martabak yang kalorinya bisa sampai 400 lebih untuk telur dan manis 200 lebih. Dan bakal nambah kalau topingnya ditambah. Minuman manis dengan tambahan cream di atasnya.

Ah, jadi pengen.

“Mbak, udah makan?” tanyaku ketika Mbak Sari kembali ke wastafel.

Mbak Sari menengok sembari tersenyum. “Nanti aja.”

“Sekarang aja sama aku, Mbak. Sini.”

“Ini belum beres.”

“Kalau yang itu bisa nanti aja.”

Mbak Sari akhirnya menurut dan duduk bersamaku. Ini kan enak. Makan bersama. Bukan maksudku enggak pernah makan bareng Ayah dan Mama, tapi karena Ayah lebih sering sibuknya jadi Ayah jarang makan di meja sama-sama. Tapi aku ngerti kok posisinya Ayah.

Di tengah obrolan ringanku bersama Mbak Sari, tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di meja makan bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.

Ini saya, Daniel.

I Don't Love You, Pak! [Preview]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang