Cerita ini kemarin aku tulis pas Movember selesai. Awalnya iseng, karena belum kepengen lanjutin yang di Wattpad, kan.
Eh, malah keterus sampai 10 part😭
(Kadang aku juga heran, yang iseng nulisnya bisa lancar jaya. Sekalinya diseriusin, malah kadang buntu😌)
Ya udah, daripada numpuk lagi di waiting list, aku putusin lanjut dan cukupin cerita ini di 20-an part aja. Jadi sebutnya Novelet karena enggak sampai 40rb kata.
Btw, ini cuma preview, ya. Ehehe
💄💄
Orang bilang, “Kalau kamu termasuk kaum good looking, setengah dari permasalahan hidupmu terselesaikan.”
Aku enggak akan bilang pernyataan di atas sepenuhnya benar tapi enggak sepenuhnya salah juga. Benar kenapa? Oke, aku jadiin diriku contoh. Dari kecil sampai duduk dibangku SMP, aku termasuk anak yang enggak peduli penampilan. Badan mekar, muka kucel, belum lagi kulitku yang sebenarnya putih jadi berubah karena sering terpapar sinar matahari.
Apa yang aku dapat? Cemoohan. Mirisnya kebanyakan ejekan tentang fisikku justru datang dari keluarga besar—Mama dan ayahku enggak termasuk. Di sekolah bagaimana? Satu yang pernah bikin aku sakit hati banget sampai akhirnya memutuskan berubah. Aku jatuh, lututku lecet tapi enggak ada yang niat bantu aku. Padahal di pinggir lapangan ada kakak kelas yang duduk santai, parahnya mereka malah ketawa.
Bukan masalah besar seandainya perlakuan mereka berakhir di situ. Sayangnya dilain waktu, aku lihat sendiri bagaimana teman aku yang memang terkenal cantik jatuh di tempat yang sama. Enggak ada yang ketawa, mereka bahkan berebutan bantu dia berdiri.
Dan sekarang, aku puas merasakan keuntungan menjadi perempuan cantik.
Mudah untukku berbaur dengan circle pertemanan baru. Hebatnya meski aku cuma diam, orang-orang yang akan datang dan mengajakku berkenalan. Di mana pun aku berada dan terlihat kesulitan, selalu saja ada orang yang membantuku dengan senyum merekah.
See? Masih mau bilang pernyataan di atas salah besar?
“Win, temen gue ngajak kenalan.”
Aku berhenti memoles lipstik saat Jessica menunjukkan room chat dengan temannya. “Tingginya berapa?”
“Kayaknya 165.”
“Skip!”
Bagi seorang Winaya Yusuf yang telah bertransformasi menjadi angsa cantik, memilah laki-laki adalah suatu keharusan. Termasuk tinggi badannya yang enggak boleh di bawah atau menyamaiku. Tinggi laki-laki yang kuidam-idamkan 180cm, dengan segala kriteria penunjang lain dan sampai detik ini belum kutemui.
“Dia ganteng kok, Win,” bujuk Jessica lagi.
“Enggak. Tingginya sama kayak gue. Kalau gue pak heels, tinggian gue jadinya.”
Jessica rupanya enggak nyerah namun aku buru-buru membungkam mulutnya. “Sekali enggak tetep enggak. Lo juga tau gue enggak ada minat pacaran sekarang.”
“Sini buat gue aja,” sela Laras yang tengah menyantap salad sayur yang kubawa untuknya.
Dua Minggu ini aku rutin membuatkannya untuk Laras yang sedang dalam upaya menurunkan berat badan. Sebagai sahabat, tentu aku mendukung penuh niat Laras karena aku pernah ada di posisinya. Aku mau dia enggak terus-terusan ngeluh soal berat badan atau bajunya yang makin mengecil sementara selama tiga tahun kuliah dia enggak ada usaha sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You, Pak! [Preview]
RomanceKata orang, Winaya Yusuf punya hidup nyaris sempurna. Cantik, body goals, orangtua harmonis, berkecukupan, dan masih banyak lagi. Laki-laki tampan berjejer ingin menjadi kekasih Wina, termasuk Daniel Adhitama. Dosen di fakultas yang sama dengan Wina...