Sekarang kami berada di ruang tamu. Ya, aku di sebelah Ayah dan Pak Daniel duduk di hadapanku. Entah apa tujuan Ayah memintaku bergabung.
"Jadi, kalian sudah kenal?" tanya Ayah menatapku dan Pak Daniel bergantian.
Pak Daniel melirikku sebelum menjawab, "Iya, Pak. Wina mahasiswi saya."
"Kok bisa? Bukannya kamu ngajar semester tiga?"
Gantian aku yang melirik Pak Daniel lalu mendekat ke telinga Ayah dan berbisik. "Yah, aku kan emang lagi ngulang mata kuliah semester tiga."
Ayah mengernyit sambil menepuk lututku. "Astaga, Ayah lupa, Dek."
Aku mengangguk maklum, usia memang enggak bisa bohong. Ayah lalu beralih menatap Pak Daniel. "Wina ini memang enggak begitu minat dibidang akademik, dia condongnya ke entertain."
Inilah Ayahku dan alasan kenapa aku sangat menyayanginya. Ayah enggak pernah menentang atau memojokkan apa yang aku suka, meski beliau dosen yang menjunjung tinggi pendidikan. Ayah mendukung, tapi tetap dengan syarat. Aku harus menyelesaikan kuliah meski lebih lama dari yang seharusnya.
Ayah juga selalu ada dipihakku kalau ada mulut-mulut kurang ajar yang bilang aku enggak mewarisi kepintaran Ayah. Atau membandingku dengan kakak laki-lakiku yang memang terkenal pintar. Baginya, setiap orang punya kepintaran dibidangnya masing-masing. Enggak melulu soal akademik.
Aku tersenyum melihat Ayah tertawa di akhir kalimatnya.
"Terakhir Ayah lihat, pengikut kamu udah 200ribu lebih, kan?"
Aku mengernyit namun masih tersenyum. "Ayah main Instagram? Siapa yang ngajarin?"
"Mama."
Ayahku ada peningkatan. Sosial media yang Ayah punya dari dulu itu mentok cuman Facebook. Itu pun sesekali aja Ayah buka. Aku tanpa sadar tertawa. "Kok tiba-tiba main Instagram?"
"Ayah juga mau lihat foto-foto kamu tanpa harus pinjam hapenya Mama."
Aku berani bilang kalau Mama tuh beruntung banget dapatin Ayah. Aku aja anaknya bisa berkali-kali jatuh cinta sama Ayah dan jadikan sosok Ayah sebagai tolok ukurku terima perasaan laki-laki.
Mungkin ini juga alasan aku enggak punya banyak pengalaman soal cinta. Sejauh ini aku baru dua kali menjalin hubungan dengan laki-laki. Dan yang paling lama cuman bertahan dua tahun.
"Ayah kenapa enggak minta aja langsung sama aku, kan aku bisa kirimin."
Ayah menggeleng. "Enggak sama, Dek. Ayah juga suka baca-baca komentar, takutnya ada julidin kamu."
Aku tertawa lagi hanya karena Ayah tahu kata julid. Kayaknya Mama ngajarin Ayah terlalu banyak. Tawaku langsung reda ketika mataku menangkap senyum Pak Daniel. Lebih tepatnya senyum itu ditujukan untukku. Astaga, aku keasyikan ngobrol sama Ayah sampai lupa ada orang di depan kami.
Aku menyenggol Ayah karena kayaknya Ayah juga enggak sadar.
"Astaga! Daniel, maaf."
Pak Daniel menggeleng masih dengan senyum manis yang menghias wajahnya. "Enggak apa-apa, Pak. Justru saya suka lihat interaksi Bapak sama Wina."
Ayah mengelus pucuk kepalaku. "Tapi tetap saja enggak sopan. Oh iya, saya belum jawab tawaran seminar tadi, kan?"
"Belum. Bapak enggak harus jawab sekarang, saya bisa tunggu sampai besok," sahut Pak Daniel dengan nada serius. Persis ketika dia mengajar.
Ayah menggeleng. "Saya bisa gantikan kamu. Lagi pula saya sudah lama enggak hadir diseminar."
Percakapan mereka berlanjut, dari yang masih bisa kupahami sampai topik yang sama sekali enggak masuk ke otakku. Bahkan beberapa katanya baru kali ini kudengar. Aku berhasil bertahan cukup lama hingga akhirnya aku menyerah karena kepalaku rasanya mulai berasap. Dengan sopan aku pamit undur diri, membiarkan mereka menikmati waktu berdua.
Aku yang punya otak pas-pasan ini mending tidur.
**
Entah apa yang Ayah dan Pak Daniel bicarakan sampai aku turun untuk makan malam, dosenku itu masih ada. Dia bahkan ikut duduk di meja makan bersama Mama dan Ayah. Sepertinya mereka lebih dekat dari sekadar dosen dan mahasiswa.
Meski agak berat menerima kehadiran orang asing, mau enggak mau aku harus bergabung. "Mama baru nyampe?" tanyaku pada Mama yang masih mengenakan pakaian kantornya begitu aku duduk di sebelahnya.
Mama tersenyum sebagai jawaban sambil mengisi piringku dengan nasi. "Cukup?"
Aku menunduk dan melihat nasi yang hampir memenuhi piringku. "Ma, kebanyakan."
"Ya udah, pindahin kepiring Mama." Mama mendekatkan piringnya.
"Dek, itu dikit banget loh. Masa dikurangi lagi? Nanti kamu makin kurus," kata Ayah dengan nada khawatir.
Kalimat barusan bukan sekali dua kali ini Ayah katakan. Aku sudah sangat sering mendengarnya. Tapi aku enggak bisa menuruti kata-kata Ayah, yang berarti aku menambah kekhawatirannya. Kadang yang aku lakukan hanya menambah sayur atau lauk dipiring agar terlihat lebih banyak atau kata penenang seperti 'ini lebih dari cukup kok, Yah'.
"Aku tambah sayur deh," kataku sambil mengisi piring dengan sayur sampai menutupi nasiku.
"Karbohidrat sama serat itu beda, Dek," ucap Ayah.
"Yah, kebanyakan karbohidrat juga enggak baik," balasku sopan.
"Tapi karbohidrat kamu terlalu sedikit." Pak Daniel tiba-tiba menyela. Refleks aku mengernyit menatapnya. Ini kenapa aku enggak suka ada orang asing yang ikut. Entah kita sebagai tuan rumah yang enggak enak atau tamu ini yang tanpa izin ikut pembicaraan tuan rumah.
"Udah, udah. Ini Mama tambah lauknya lagi, ya?" Mama menambah dua iris tahu bacem kepiringku.
"Makasih, Ma." Aku tersenyum tipis meski sebenarnya agak kesal gara-gara Pak Daniel.
Pembahasan di meja makan diisi oleh suara Ayah dan Pak Daniel. Aku enggak berminat nimbrung, suaraku keluar itu pun hanya suara pelan ketika Mama bertanya bagaimana kegiatanku hari ini.
Selesai makan, Mama pamit ke kamar untuk mandi sementara Ayah tentu saja menemani Pak Daniel. Aku bagaimana? Sedang melanjutkan cucian piring Mbak Sari. Aku tadi memaksa karena Mama tiba-tiba memanggil Mbak Sari ke kamarnya.
Aku menghela napas saat helai-helai rambutku terus jatuh di sisi wajahku. Mau diikat, tapi tanganku penuh sabun. Untungnya Mbak Sari kembali, itu terdengar dari langkah kakinya yang mendekat.
"Mbak, bisa minta tolong ikatin rambutku? Ikat rambutnya ada di meja," pintaku sambil tetap fokus dengan piring-piring kotor di depanku.
Mbak Sari enggak menjawab, tapi kurasakan rambutku dikumpulkan menjadi satu di belakang dengan gerakan agak kaku dan ragu. Mbak Sari kayak enggak pernah ikat rambut aja, pikirku.
"Udah?" tanyaku saat tidak ada lagi yang menyentuh rambutku.
Aku lalu berbalik cepat. "Maka-" Tubuhku mematung dengan mata terbelalak. Alih-alih Mbak Sari, yang kutemukan berdiri tepat di belakangku justru Pak Daniel. "sih, Pak."
Pak Daniel mundur selangkah sambil memasukkan dua tangannya ke saku celana dan tersenyum. Mata kami beberapa detik terkunci hingga tangan Pak Daniel terulur, menyelipkan anak rambut yang tersisa ke belakang telingaku.
"Sama-sama."
💄💄💄
Lima bab ini cuma preview doang, ya, kawan. Lanjutannya ada di Karyakarsa (udah tamat, ya)
https://karyakarsa.com/Nandakim/series/i-dont-love-you-pak-part-1-4
Yang mau baca silakan, yang enggak mau juga enggak apa-apa. Aku enggak maksa loh. Kalau mau tunggu selesai dulu juga boleh kok. Pokoknya semua boleh.
Kalau yang gratis bisa baca Dicari : Teman Sekamar ehehe💃Byee💞💞
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You, Pak! [Preview]
RomanceKata orang, Winaya Yusuf punya hidup nyaris sempurna. Cantik, body goals, orangtua harmonis, berkecukupan, dan masih banyak lagi. Laki-laki tampan berjejer ingin menjadi kekasih Wina, termasuk Daniel Adhitama. Dosen di fakultas yang sama dengan Wina...