Aku enggak langsung membalas pesan dari Pak Daniel. Perutku lebih penting daripada urusan motor yang sebenarnya enggak penting-penting amat. Tapi sepertinya Pak Daniel punya pendapat berbeda. Buktinya, cuman gara-gara motor lecet, urusannya malah diperpanjang begini.
Setelah makanan dipiringku habis, aku naik ke kamar dan kembali memulai negosiasi dengan dosenku.
08255*******
Motor kamu sudah diperbaiki?
Berapa biayanya?
Wina
Enggak usah, Pak.
08255*******
Oke. Kita bisa bahas ini setelah kelas saya selesai, Minggu depan.
Aku melongo. Ini orang maunya apa sih? Dipermudah malah minta yang ribet. Tanpa menunggu lama, aku menghubungi nomor Pak Daniel. Aku enggak tahan kalau harus chat, lewat telepon lebih cepat.
“Pak, jangan. Saya enggak mau bahas hal yang enggak ada hubungannya sama perkuliahan saya di kampus.” Mungkin karena cukup kesal, aku menodongnya begitu panggilan tersambung. Tanpa sapaan sopan atau basa-basi.
“Makanya saya tanya, berapa biaya perbaikannya?” kata Pak Daniel di ujung sana. Sepertinya dia enggak mempermasalahkan ketidaksopananku.
Berapa, ya? Aku enggak tahu karena memang motornya belum kubawa ke bengkel. Kalaupun motornya mau diperbaiki, Ayah bakal minta tolong ke Pak Tono—sopir di rumah. Mau bohong, tapi kisaran harga saja aku enggak tahu.
“50 ribu,” jawabku setelah berpikir cukup lama.
Sebelumnya aku sudah memikirkan jawaban selanjutnya jika Pak Daniel bilang harganya terlalu mahal. Aku bisa bilang ada tambahan biaya makan selama aku menunggu motornya selesai dipoles. Kalau dia anggap terlalu murah, aku bisa berdalih bengkelnya langganan makanya dikasih harga murah.
Kayaknya otakku encer cuman pas kepepet begini.
“50 ribu? Serius kamu?”
Walau ragu, aku harus tetap menjawabnya dengan percaya diri. “Iya, Pak.”
Hening sejenak sampai Pak Daniel kembali bersuara. “Ya sudah, kirim nomor rekening kamu. Biar saya langsung transfer.”
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku kemudian mendesah lega. Ternyata dosen ini gampang dibohongi. Tahu begini, sudah kulakukan dari kemarin biar urusannya enggak makin panjang.
“Saya tutup kalau gitu, Pak. Selamat siang,” pamitku sesopan mungkin lalu memutuskan sambungan telepon tanpa perlu repot-repot menunggu balasannya.
Aku serius mengirimkan nomor rekeningku dan uangnya nanti bakal aku kasih ke Pak Tono. Kalau lebih, terserah Pak Tono mau apa dengan sisanya. Dan kalau kurang, ya biar aku yang tambah.
Enggak lama notifikasi m-banking masuk. Mataku terbuka lebar melihat nominal yang masuk ke rekeningku. Takut salah lihat, aku mendekatkan layar ponsel dan.. tetap sama. Pak Daniel mengirim uang sebanyak 300ribu.
Ternyata urusanku dengannya belum selesai. Aku kembali menghubunginya. “Halo, Pak. Selamat siang.”
“Oh, Wina. Ada apa?” balasnya santai.
“Jadi gini, Pak. Saya kan tadi bilang biayanya 50ribu, kok jadi 6x lipat. Kebanyakan tau, Pak,” jelasku sopan namun sebenarnya aku sedang menahan kesal. Gara-gara dosen ini aku jadi menunda pekerjaanku.
Terdengar helaan napas Pak Daniel. “Kamu pikir saya gampang dibohongi?”
Mataku mengerjap dua kali. Mampus! Pak Daniel tahu aku bohong. Aku menggigit bibirku sembari mencari alasan biar dia enggak marah. “Saya bukannya niat ngebohongin Bapak.”
“Kalau bukan, terus apa?” desaknya.
“Saya belum bawa motornya ke bengkel, Pak. Makanya saya cuman kira-kira harganya berapa.”
“Oh, saya bisa bantu kamu bawa motornya ke bengkel.”
“Enggak, Pak!” Aku memejamkan mata. Bisa-bisanya aku kelepasan meneriaki dosenku sendiri. Kalau begini, bisa-bisa aku beneran mengulang dua kali. “Maksud saya enggak perlu. Lagian Bapak udah ngirim uangnya ke saya, hehe.”
“Yakin enggak butuh bantuan?” tanya Pak Daniel lagi.
“Yakin, Pak. Kalau gitu saya tutup telponnya, Pak. Makasih banyak.” Aku pamit untuk kedua kalinya.
Mau enggak mau, aku menerima uangnya. Daripada kukembalikan dan Pak Daniel kembali berdebat denganku. Atau skenario terburuknya, dia bersikukuh membawa motorku ke bengkel. Membayangkannya saja aku ngeri.
Mending aku kerja. Enggak ada gunanya memikirkannya lagi.
Hampir dua jam dan akhirnya aku selesai mengendorse barang sekaligus mengeditnya. Ya, enggak semua selesai kuedit, masih ada beberapa yang belum. Niatnya mau kulanjutkan pas malam.
Sekarang aku butuh istirahat sebentar dan minum. Sayangnya, aku lupa bawa botol ke kamar. Terpaksa aku harus turun. Sebenarnya aku bisa aja minta tolong ke Mbak Sari, tapi kayaknya Mbak Sari juga lagi sibuk. Biar aku yang turun, aku masih kuat begini masa nyuruh orang lain.
Baru saja aku menutup pintu kamar ketika telingaku samar-samar menangkap suara yang enggak asing. Aku langsung menahan Mbak Sari yang ingin masuk ke kamar Ayah Mama sambil membawa pakaian yang telah dilipat rapi. “Mbak, kok itu kayak suaranya Ayah.”
Mbak Sari berhenti. “Iya, itu Bapak.”
Aku mengernyit. “Tumben Ayah cepet pulang,” gumamku.
“Tapi Bapak datang sama tamu,” kata Mbak Sari.
“Temennya?”
“Kayaknya bukan. Masih muda orangnya, mungkin mahasiswanya.”
Aku mengangguk, mengizinkan Mbak Sari melanjutkan pekerjaannya. Mahasiswa? Ayah enggak pernah ajak mahasiswanya ke rumah. Kalaupun ada yang ingin konsul skripsi atau proposal, Ayah selalu meminta mahasiswa ketemu di kampus.
Apa Ayah punya mahasiswa kesayangan? Ah, enggak mungkin. Setahuku Ayah bukan dosen yang pilih kasih. Aku menggeleng, apa juga gunanya aku memikirkan mahasiswa Ayah. Kan, aku jadi lupa niatku keluar kamar.
Sesampainya di dapur, aku langsung menandaskan segelas air dingin lalu mengisi botol dua liter untuk kubawa ke kamar. Karena kadang aku malas turun, makanya membawa air dalam jumlah banyak lebih praktis. Selesai mengisi botol, aku kembali menuang air ke gelas dan meneguknya.
Tiba-tiba dari sudut mata, aku menangkap sosok tinggi yang sedang berjalan mendekatiku. Aku menoleh masih dengan gelas di mulut karena kupikir itu Ayah. Nyatanya, bukan. Aku menyemburkan air dalam mulutku.
“Wina?”
“Pak uhuuk Daniel, uhuk uhuk kenapa ada di rumah saya?” Aku kembali menoleh, memastikan penglihatanku salah. Tapi aku harus menelan pil pahit karena Pak Daniel yang kulihat bukan halusinasi.
Pak Daniel mendekat lalu mengulurkan segelas air padaku. Aku menggeleng sambil mengibaskan tangan menolak karena masih terbatuk.
Tiba-tiba Ayah datang dan langsung mengelus punggungku. “Dek, kamu kenapa?”
“Enggak apa-apa, Yah,” kataku susah payah.
Lagi-lagi tatapanku mengarah ke Pak Daniel. Jadi, dia mahasiswa kesayangan Ayah?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You, Pak! [Preview]
RomanceKata orang, Winaya Yusuf punya hidup nyaris sempurna. Cantik, body goals, orangtua harmonis, berkecukupan, dan masih banyak lagi. Laki-laki tampan berjejer ingin menjadi kekasih Wina, termasuk Daniel Adhitama. Dosen di fakultas yang sama dengan Wina...