02

576 104 6
                                    

Tuhan itu adil, aku sudah punya wajah cantik makanya enggak dikasih otak yang encer. Yap! Dalam bidang akademik, aku biasa aja. Bukan mahasiswi yang menonjol, tapi enggak bego-bego amat juga. Kalau dijelaskan, aku ngerti. Cuman kalau dikasih soal yang susah, ya aku angkat tangan deh.

Tapi bukan itu alasanku harus mengulang salah satu mata kuliah di semester tiga. Kehadiranku yang enggak mencukupi adalah alasan satu-satunya. Kalau soal tugas dan ujian, aku masih punya kesadaran untuk mengerjakan walaupun pekerjaan sampinganku sebagai selebgram lebih menjanjikan.

Iya, kan?

Seandainya bukan karena Ayah, aku sudah lama berhenti. Sebagai seorang dosen, beliau memang menjunjung tinggi pendidikan. Kalau aku? Mending bikin konten atau terima endorse-an, dapat duit. Daripada kuliah, capek iya, keluar duit iya.

Aku menghela napas bersamaan dengan bokongku yang mendarat di kursi. Paling belakang, berjejer dengan para lelaki. Tapi ada sesuatu yang aneh. Menurut pengalamanku selama kuliah, biasanya kalau datang terlambat dan Prof. Husain belum datang, aku bakal kebagian kursi dibaris pertama atau kedua.

Hari ini enggak. Semua barisan depan terisi mahasiswi. Apa jangan-jangan mereka enggak tahu gimana membosankannya Prof. Husain membawakan mata kuliahnya? Ah, bisa jadi. Tapi, ada kemungkinan lain yang tiba-tiba terlintas di kepalaku. Dosen baru?

“Selamat siang.”

“Siang, Pak!”

Itu bukan Prof. Husain yang rambutnya hampir semuanya memutih. Laki-laki yang sudah jelas dosen itu bertubuh tegap, tinggi, dan kokoh. Satu lagi, tampan. Dan laki-laki itu—ah, bukan. Maksudku dosen itu adalah laki-laki yang kemarin menabrak motorku dari belakang!

Kebetulan macam apa ini?!

Aku buru-buru menunduk, takut tatapanku bertemu dengannya. Bisa gawat kalau dia tahu perempuan kurang ajar yang kemarin ternyata mahasiswinya. Bisa-bisa dia mempermalukan di depan para juniorku.

Perkenalannya memakan waktu cukup lama sampai leherku sakit karena terus menunduk. Dan sekarang aku tahu namanya. Daniel Adhitama. Pak Daniel benar menggantikan Prof. Husain yang akhirnya memilih berhenti karena sudah cukup usur. Kenapa aku enggak tahu, ya? Aku banyak ketinggalan berita.

“Oke. Bisa saya absen sekarang? “

“Bisa, Pak!”

Seandainya tabrakan kemarin enggak terjadi, mungkin aku juga akan sama semangatnya dengan mahasiswi dalam ruangan ini. Bahkan aku akan merencanakan strategi detik itu juga untuk mendekatinya.

Ya, seandainya.

“Yang mana orangnya?” Suara Pak Daniel agak meninggi.

Laki-laki di sampingku tiba-tiba menepuk bahuku. “Nama Kakak tuh yang dipanggil.”

“Hah? Gue?” Aku spontan mengangkat kepala dan tanganku bersamaan. Dan ... saat itulah mata kami bertemu. Sial! Muka Pak Daniel kentara sekali kalau dia kaget.

“S-saya, Pak,” cicitku.

Hebatnya, ekspresi Pak Daniel telah berubah datar dan biasa saja. “Tolong fokus kecuali kamu mau mengulang untuk kedua kalinya.”

“Iya, Pak.”

Sifatnya 180% berbeda dengan yang kemarin. Aku jadi curiga mereka bukan orang sama.

**

“Aa! Pak Daniel!” seru Jessica begitu selesai mendengar ceritaku dari awal pertemuan hingga yang baru saja terjadi.

“Lo tau?” tanyaku sambil menikmati potongan berbagai macam buah yang memang kubawa hari ini. Laras yang duduk di sebelahku juga sedang menikmatinya.

“Tau, lah! Jurusan ekonomi bisnis akhirnya kedatangan dosen cakep setelah sekian lama cuman diisi sama dosen lanjut usia, perempuan, kalaupun ada yang muda, dianya udah nikah.” Jessica mendesah. “Harusnya gue ngulang juga biar bisa kenalan sama Pak Daniel.”

Aku mendecakkan lidah sambil geleng-geleng. “Inget Rangga, Jes.”

“Gue cuman niat kenalan, Win. Tapi kalau Pak Daniel pengen serius, ya ayo.”

“Rangga bakal ngamuk lagi kalau denger lo ngomong gitu.”

Hubungan Jessica dan pacarnya itu memang agak unik, menurutku. Jessica itu cepat akrab sama orang, termasuk laki-laki. Sedangkan Rangga adalah laki-laki yang cemburuan parah. Setiap ada masalah atau bertengkar, Jessica akan meminta putus dan Rangga tanpa ragu mengiakan. Tapi enggak cukup seminggu, mereka akan mengunggah foto berdua dengan caption mirip ABG yang baru kenal cinta.

Masalahnya aku dan Laras yang kadang capek denger curhatan Jessica tentang Rangga yang enggak ada habisnya pas mereka marahan. Bayangin aja, mereka pacaran dari awal kuliah dan sejak itu pula aku dan Laras jadi buku diary-nya.

“Win, kan bukan lo yang salah. Kenapa lo yang seakan-akan ngindarin Pak Daniel?” tanya Laras tiba-tiba.

Aku mengabaikan Jessica yang kini tengah video call dengan sang kekasih lalu menjawab Laras. “Kemarin gue enggak sopan banget sama dia, Ras.”

“Wajar dong! Dia yang nabrak.”

Aku menghela napas lalu bersandar ke sandaran kursi. “Iya, sih, tapi tetep aja aneh. Kalau gue bisa ngindar, mending ngindar deh.”

“Emangnya dia galak pas di kelas?” tanya Laras lagi.

Adegan di mana Pak Daniel masuk, memberiku peringatan karena sempat enggak mendengarnya, dan caranya membawakan materi, secara otomatis terputar di kepalaku. Sejujurnya, aku enggak masalah sama cara mengajarnya.

Penyampaiannya jelas dan enggak bertele-tele, tapi di saat yang bersamaan Pak Daniel juga tegas. Pak Daniel enggak segan-segan tegur mahasiswanya yang berisik atau enggak memerhatikannya. Jadi, mau dibilang galak juga enggak. Dibilang baik juga enggak.

“Emm, bukan galak tapi tegas. Kayaknya?” kataku ragu. Aku susah menilainya karena selama Pak Daniel mengajar, pikiranku melayang entah ke mana. Belum lagi usahaku menghindar biar netra kami enggak ketemu.

“Sayangnya lo tetap ketemu Pak Daniel seminggu sekali.” Laras mengingatkan.

“Anggap aja itu pengecualian, yang penting di luar kelas atau kampus gue enggak ketemu lagi sama dia. Papasan aja jangan deh.”

“Tadi itu doa?”

Aku mengangguk. Mudah-mudahan didengar sama Allah walaupun aku bukan hamba yang selalu taat.

Laras mencondongkan tubuhku ke arahku dan berbisik, “Kayaknya doa lo enggak terkabul, Win.”

“Kenapa?”

“Nengok, Win.” Laras masih berbisik.

Aku mengernyit namun tetap mengikuti perintahnya. Aku memutar tubuhku ke belakang dan menemukan orang yang sangat enggak ingin aku lihat. Pak Daniel baru saja masuk ke kantin, langkahnya tanpa ragu, dan kedua matanya memindai ke segala penjuru kantin.

Belum sempat kembali ke posisiku semula, mata kami malah bertemu. Tatapan kami terkunci selama beberapa detik, untung aku cepat sadar dan buru-buru mengalihkan pandangan.

Aduh!

I Don't Love You, Pak! [Preview]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang