enam

2K 255 6
                                    

Wajah Gama yang sebelumnya sudah dihiasi lebam kini bertambah parah. Sebastian juga sama. Dan mau tahu hal paling membingungkan di dunia para perlelakian? Mereka selalu berdamai dengan cepat setelah sebelumnya terlihat sudah siap saling membunuh.

"That was fun." Sebastian mengulurkan tangan dengan senyum psikopat. "Dan karena kita imbang, gue nggak akan memaksa lo untuk gabung ke Laskar Nuta."

Gama menjabatnya singkat, lalu memungut tasnya dari tanah sebelum berjalan menghampiriku. "Let's go home," katanya.

"Mor, semoga langgeng." Sebastian melambaikan tangan padaku. Cerah sekali wajahnya, padahal baru saja dibuat babak belur. "He's a real deal. Kali ini pilihan lo nggak salah."

Aku hanya tersenyum sumir dan mengacungkan jari tengahku kepada Sebastian dan antek-anteknya.

*

Kali ini nama tengahku adalah Kepo. Ya, kalian tidak berpikir aku akan menyerah untuk mencari celah kebusukan Nenek Lampir alias Elena Rossaline, kan? Setelah menciduknya keluar secara diam-diam dari gerbang rumah—lagi—, aku segera memanggil Mas Mul untuk membawaku ke gedung terbengkalai di mana aku nyaris diperkosa oleh James.

Belajar dari kesalahan, aku tidak mau terlihat mencolok atau seperti anak hilang, jadi aku sebisa mungkin bersikap biasa saja saat melewati pintu besi yang lantas membawaku ke .. heck, tempat apa ini? Is this even legal?

Siapa yang menyangka akan ada sebuah pesta di rooftop sebuah bangunan jelek yang kemungkinan besar memiliki lebih dari seribu arwah penunggu?

Tujuanku malam ini adalah untuk menguak kebusukan Elena, jadi aku tidak boleh tertangkap oleh Gama atau mungkin ia akan menyeretku keluar secara memalukan.

Aku celingak-celinguk kebingungan. Banyak sekali manusia di sini. Beberapa kukenal baik karena merupakan pentolan Nuta, tapi sebagian lainnya benar-benar asing di mataku. Ah, aku juga tidak melihat eksistensi James.

"Who are you looking for?" Aku tersentak kaget saat mendengar suara itu. "Me, Sister?"

"Gotcha!" seruku keras setelah berhasil memulihkan keterkejutan. "Udah gue duga lo nggak sesuci itu! Ngapain lo di tempat begini?"

Elena tanpa kacamata bulat dan kuncir kuda terlihat sangat berbeda. Senyum tipis terukir di bibir tipisnya yang kali ini memancarkan warna lebih tebal dibanding biasanya. "Ada penyusup di sini, guys. She's not a part of the club."

Sebelum kusadari apa yang terjadi, gerombolan manusia sudah mengitari sekelilingku. Mereka menatapku layaknya mangsa lezat yang siap dieksekusi ramai-ramai.

"Tunggu apa lagi? Lakukan seperti biasanya."

Apa maksudnya?

Sebelum aku sempat menyerukan pertanyaan, tubuhku sudah melayang ke udara, disusul oleh sorakan-sorakan memuakkan. Dan dalam detik-detik yang kuingat, dingin menusuk dari air kolam renang sudah merengkuh erat setiap sendi di tubuhku.

Aku melawan gravitasi secara membabi buta. Ini konyol, tapi dari antara seluruh kesempurnaanku, aku juga memiliki kekurangan—tidak bisa berenang.

Elena sialan. Aku bersumpah akan membalasnya dengan cara yang jauh lebih sadis. Kalau aku mati, arwahku yang akan melakukan tugasnya!

Namun segala macam ide yang sudah kurangkai sedemikian rupa di kepala buyar begitu saja saat suara air berdebum masuk ke indra pendengaranku.

Ya, iblis berkuda hitamku telah tiba.

*

Setelah memberi tamparan sebanyak dua kali pada pipi Elena, aku membiarkan Gama menggiringku memasuki ruangan di mana aku nyaris diperkosa. Namun berbeda dengan hari itu, tempat ini sudah bertransformasi menjadi lebih manusiawi. Tidak ada lagi lampu merah seperti di film-film porno atau puntung rokok berserakan.

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang