sembilan belas

1.9K 154 19
                                    

Aku hanya diam tergugu saat tas jinjing besar yang kutahu berisi lembaran uang berwarna merah itu berpindah ke tangan Gama. Di depan kami, ada satu lelaki berwajah familier yang sebelumnya sudah pernah kutemui di panti asuhan—Red.

"Kalau ada info lanjutan, aku bakal kabarin," kata Gama datar.

"Senang bekerja sama dengan kamu, Kid." Red menepuk bahu Gama beberapa kali, menyeringai kecil. "Seumpama Khandra membuang kamu di masa depan, jangan lupa kabarin aku. Selalu ada spot buat manusia berbakat seperti kamu."

Red melirikku sekali lagi dengan tatapan misterius sebelum lenyap di balik kegelapan dengan jaket yang sama pekatnya. "Aura dia gelap banget, gue nggak suka." Aku berbisik.

"Memangnya aura gue terang kayak malaikat?" Gama mendengus geli.

Aku mencebikkan bibir, "Nggak, sih. Tapi gue tahu lo orang baik, nggak kayak si Merah."

"Si Merah?"

"Red. You call him that." Aku mengedikkan bahu santai, melirik tas jinjing di tangan Gama. "Gitu doang? Gue pikir transaksi malam ini bakal melibatkan hal yang jauh lebih ilegal seperti narkoba, ganja, atau organ manusia."

"Lo kebanyakan nonton film." Gama berbalik dan kembali melangkah, memberiku kode agar mengikutinya. "But you're right about one thing. Pekerjaan gue memang ilegal."

"Hacker, kan?" Aku tidak menyangka kalau tebakanku itu berhasil membuat Gama berhenti dan menatapku lekat, lama. "What? Gue nggak setolol itu, tahu? Lo banyak membahas tentang sistem keamanan komputer dan sejenisnya." Aku bereaksi santai, kontras dengan raut wajah Gama. "It's not that bad. Gue nggak tahu kenapa lo harus bersikap seolah-olah lo penjahat paling hina yang nggak pantas bersanding sama siapa pun."

"Ya, tentu aja. It's not that bad. Gue berkali-kali buat perusahaan kecil bangkrut, ratusan orang terkena PHK, menyebabkan kerugian sampai ratusan juta, dan hal mulia lainnya. Of course, Amora, it's not that bad." Gama membalas sinis sembari mempercepat langkahnya.

"Tapi lo ngelakuin itu karena nggak ada pilihan lain. Khandra yang mengontrol lo, kan?" Aku memperlebar langkah kakiku, mencoba menyeimbangi tempo Gama. "Lo merasa bersalah. Itu artinya lo masih punya moral yang bagus. Lo cuma anak delapan belas tahun yang dimanipulasi dan diperalat sama manusia brengsek menjijikan."

"Oh, sekarang lo pakar dalam masalah psikologis?" Gama membalik tubuhnya, memberiku sorot nyalang. "Just accept it. Gue memang seorang kriminal. Dan nggak seharusnya kriminal ini datang ke hidup lo, bersikap layaknya pahlawan yang mau mencari keadilan untuk kakak kandungnya. Lo mau tahu hal yang lebih gila lagi? I stalked you for more than a year sebelum akhirnya gue mengajak Elena bekerja sama. I hacked your social media, your phone, interrupted your private zone. Semua itu untuk Kak Abednego. Lalu apa? Lo mau gue bilang kalau gue menyukai lo seperti laki-laki normal ke perempuan lainnya? I can't! Sama seperti Khandra, gue juga manusia brengsek menjijikan yang hobi memanipulasi orang lain."

Napasku sempat tertahan beberapa saat. Aku menggigit lidahku kuat hingga mampu merasakan asinnya darah. "Kalau gitu, apa alasan lo menyerah? Kenapa lo berhenti mencari tahu soal kebenaran di balik kasus penculikan itu?" Dengan suara pelan, aku bertanya. "Lo memulai semuanya karena Kak Abed. Udah sejauh ini, kenapa berhenti?"

Gama tidak memberi balasan, hanya mengalihkan tatapan matanya ke arah lain.

"Just admit it. You want me. Apa sesusah itu?"

"Nggak akan ada yang berubah."

Aku bahkan tidak sadar kalau aku sudah berada begitu dekat dengan Gama. Aku meraih satu tangannya yang kosong. "Hey, look at me."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang