lima belas

2K 213 12
                                    

Buku, miniatur pesawat, hasil lipatan origami warna-warni, dan barang-barang lainnya yang membuatku bisa langsung membayangkan anak seperti apa seorang Abednego tidak membuat suasana hatiku lantas membaik. Kebalikannya, aku merasa semakin buruk. Kalau bukan karena Gama yang secara inisiatif menyudahi perjalanan nostaglia kami, mungkin aku sudah akan menitikkan air mata dan mempermalukan diri sendiri di depan Bu Astrid.

"He seemed like a lovely kid." Aku memulai obrolan setelah kami berdiri dalam keheningan selama lebih dari lima menit di halaman depan panti. "Trauma sialan. Gue harap gue bisa cepet-cepet ingat semuanya."

Gama melirikku sebelum berdeham sekali, "Lo bisa ke psikiater kalau mau. Ada terapi khusus untuk mulihin ingatan yang terganggu karena PTSD." Melihat raut terkejut di wajahku, Gama menambahi, "Only if you're ready."

"Lo ngelakuin research sampai sejauh itu?" Aku dibuat terkesima. "Tapi kalau Austin tahu, gue bisa kena masalah," aduku dengan bahu melemas.

"Semua kakak di seluruh dunia sama. Mereka mau yang terbaik untuk adiknya." Gama menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Mereka lupa kalau adik mereka akan tumbuh dewasa dan pada akhirnya harus menghadapi realita pahit."

"Kakak lo juga begitu?"

"Nggak tahu."

"Bukan Abednego." Aku mengamati raut wajah Gama, ingin tahu emosi macam apa yang akan mampir jika aku menyinggung soal keluarga barunya. "Kakak angkat lo, Khandra."

Rahang Gama mengetat, tapi tidak ada perubahan berarti di sorot matanya. "Oh. Orang itu."

"Gue tahu dari Samuel, katanya—"

"Jangan berhubungan lagi sama Samuel."

Keningku mengerut dalam. "Yang punya masalah sama Samuel 'kan, elo. For me, he's fun to be around with." Lalu mataku membulat lebar saat sadar akan sesuatu. Bagaimana bisa aku melupakan hal penting seperti ini?! Samuel juga salah satu korban penculikan yang artinya aku bisa mengorek informasi lebih dari manusia itu! "Lo tahu kalau Samuel juga terlibat dalam kejadian itu, kan?"

"Gue nggak sebego itu, Mor."

"Terus? Kenapa lo sensi banget sama dia? Gue tahu dia kerja buat kakak lo yang teknisnya buat dia jadi musuh lo, tapi lo bisa jadiin dia sumber informasi—"

"Lo pikir gue belum pernah interogasi dia? Sama kayak korban-korban lainnya, dia juga nggak tahu apa pun. Penculik itu selalu pakai topeng, katanya."

"Topeng?" Aku meneguk saliva kasar. "Topeng badut?"

Gama mengangguk, menatapku penuh selidik. "Lo ingat yang satu itu?"

"Gue sering lihat di mimpi gue."

"Lo bahkan sering bermimpi buruk?" Walau diucapkan dengan nada datar, aku tahu ada simpati di dalam sana. "Sejak kapan?"

"Since forever." Aku mengedikkan bahu cuek, mencoba memberi kesan kalau hal tersebut tidak memiliki efek besar untukku. "Itu bukan intinya. Lo tahu apa motivasi penculik itu? Korbannya kebanyakan anak-anak panti yang jelas nggak datang dari keluarga kaya tujuh turunan, jadi gue asumsiin kalau dia bukan mengincar uang."

"Nggak ada yang tahu. Tersangka yang berakhir bunuh diri di dalam sel menyangkal kalau dia pelakunya sampai akhir." Gama menghela napas berat. "Gue terlalu kecil saat itu, nggak memungkinkan untuk ngelakuin penyelidikan."

"Lo percaya kalau pelaku aslinya masih berkeliaran di luar sana?" Oke, bukannya berlebihan, tapi teori itu terdengar sangat menyeramkan! Bulu kudukku sontak dibuat berdiri. "Menurut lo, apa mungkin kalau—"

"Gamaliel." Panggilan itu membuatku terpaksa menelan kembali kata-kata yang hampir keluar. Seorang lelaki yang kuduga beberapa tahun lebih tua dariku dan Gama muncul dengan perempuan berwajah kalem di sebelahnya. "Fancy seeing you here."

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang