sebelas

1.8K 242 3
                                    

"Amora Seraphine, can't you just stop and talk to me?!" Sentakan Gama tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membalik paksa tubuhku menghadapnya. Ia mencengkeram kedua bahuku hingga aku tak memiliki kesempatan lagi untuk kabur. "Tell me, apa yang lo dengar dari kakak lo?" Mata itu. Sekalipun belum sepenuhnya mengingat apa yang terjadi di masa lalu, aku yakin sekali alasan di balik mengapa mata Gama terasa begitu familier adalah karena Kak Abed juga memiliki mata yang sama persis.

Aku menunduk, terkekeh miris. "Jangan pura-pura bego. Lo tahu betul apa yang Austin bilang ke gue."

"Jadi? Sekarang lo mengingat semuanya? Begitu?" Lagi, aku masih belum bisa menerka emosi di balik iris cokelat terang itu. "Jawab gue!"

"Apa lo akan lebih senang kalau gue bilang iya?"

"Senang atau enggaknya gue sama sekali bukan urusan lo."

Aku menghela napas lelah, melepaskan diri dari cengkeraman Gama secara kasar. "Gue nggak tahu mana yang lebih nggak tahu diri di antara kita. Lo yang secara terang-terangan deketin gue dengan maksud tertentu atau gue yang .." Aku bahkan tidak sanggup melanjuti kata-kataku.

"Jadi lo mengakui kalau lo yang telah membunuh kakak gue?"

Kedua telapak tanganku tercengkeram kuat. Sesak melanda dadaku tanpa ampun. "How could I? I was a kid back then. Megang pisau aja gue nggak bisa," jawabku asal-asalan.

Dengusan Gama terdengar. "Lebih dari siapa pun, dia berhak memiliki hidup yang baik, Amora."

"Lo mau gue ngapain? Gue nggak bisa bangkitin mayat, Gam." Aku menarik napas panjang, berusaha menjaga suaraku agar tetap stabil. "Lo deketin gue untuk balas dendam, kan? Do it. Take your revenge on me. Gue nggak peduli. I don't even remember his face."

"Say that one more time." Suara Gama setajam sorot matanya. Ia terlihat luar biasa marah dengan perkataanku barusan. "Lo nggak berada di posisi pantas untuk bilang begitu, Amora."

Gama adalah orang baik, aku tahu itu. Di balik wajah kaku dan kata-kata tajamnya, ia memiliki hati yang lembut. Dan karena itu, aku tidak mau mengemis maaf. Aku tidak mau Gama memaafkanku. Karena sekalipun Austin berjuta-juta kali meyakinkanku kalau aku sama sekali tidak bersalah atas kejadian itu, selalu ada sisi diriku yang tahu kalau jiwa ini tidak lebih dari seonggok pendosa menjijikkan.

"Gue nggak mengenal siapa itu Abednego. Kakak lo atau bukan, gue nggak peduli. Masa lalu adalah masa lalu. Gue nggak mau merusak kedamaian hidup gue saat ini cuma karena hal remeh."

"Hal remeh?" Kedua mata Gama menyipit. "Lo gila?"

"Gue mau pulang." Aku hendak membalik tubuhku dan bergerak menjauh, tapi Gama sudah lebih dulu menarik lenganku kasar, dalam satu jurus memojokkanku pada dinding berlumut di dekat kami. Kedua tangannya mengukungku sedemikian rupa, membentuk penjara. "Get. Lost." Aku memberanikan diri membalas sorot matanya sekalipun saat ini debar jantungku sudah menggila.

"Lo tahu? Lo baru aja menggali kuburan lo sendiri."

"Gue bilang gue nggak peduli."

"Fine." Gama mengangguk samar, mengambil langkah mundur sebelum memberiku sorot dingin mematikan—persis seperti pertemuan pertama kami di sekolah. "Lo yang membuat gue melakukan ini, jadi jangan bersikap seperti korban nanti."

Aku meneguk saliva susah payah, "Terserah."

"Welcome to hell, then." Gama mendekatkan wajah sehingga aku dapat merasakan sapuan napasnya yang hangat. "I'll show you what I'm capable of. You asked for this, Amora."

*

Tentu saja, sebagai orang normal dengan logika yang senantiasa bekerja baik, aku menyimpulkan kalau hubunganku dengan Gama sebagai sepasang kekasih telah berakhir setelah kejadian kemarin. Namun siapa sangka aku akan menemukan motor besarnya di depan gerbang rumahku pagi-pagi buta?

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang