enam belas

1.3K 164 2
                                    

"Tell me you won't go anywhere." Aku mengikuti langkah Gama seperti penguntit gatal. Saat tidak mendapat jawaban setelah tiga menit berlalu, aku langsung mengerahkan tenagaku untuk menahan lengan Gama yang dilapisi otot berukuran pas. "Lo nggak akan balik ke Surabaya, kan?"

"Amora, I need to finish this. Kalau lo nggak bisa membantu, lebih baik lo pergi." Di tangan Gama terdapat sekantong plastik besar dan capitan pemungut sampah. Tugas piket. "We'll talk, tapi nanti."

"Gue nggak bisa nunggu nanti," kataku frustasi. "Lo mau gue mati penasaran?!"

"Siapa yang bilang lo bakal mati?" sahut Gama santai, kembali melanjutkam aksinya memunguti sampah.

Hari masih pagi sekali. Aku tidak pernah berangkat sepagi ini kecuali ada urusan mendesak seperti sekarang. Koridor masih sangat sepi dan mungkin hal itu yang menimbulkan perasaan aneh di benakku. Aku celingak-celinguk ke sekeliling, tapi tidak menemukan siapa pun selain aku dan Gama. "Cuma gue atau memang pagi ini udara kerasa lebih dingin .." Kata-kataku tergantung di ujung lidah saat aku tidak sengaja menangkap pemandangan janggal di pinggir koridor lantai atas. Refleksku bekerja lebih cepat dibanding kinerja otak. Yang kutahu setelahnya, aku sudah berlari cepat menubruk tubuh Gama dari belakang. Kami jatuh bersamaan ke aspal.

Suara pecahan pot menyusul setelahnya. Aku bergidik ngilu, membayangkan kalau pot tadi menghantam kepala Gama.

"Amora, are you okay?!" Suara Gama lambat laun masuk ke indra pendengaranku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, menatap lurus Gama. "Thank you," katanya datar, tapi tetap terdengar tulus. Ia melirik bongkahan pot di dekat kami, lantas beralih ke atas dengan pandangan menelisik. "Did you happen to see something .. or someone?"

Aku menggaruk pelipis, tak yakin. "I did see a weird shadow, tapi nggak tahu betulan atau cuma halusinasi."

Gama terlihat menimbang beberapa saat sebelum bangkit berdiri, lantas menarikku untuk menyusul jekaknya. "I knew it. Akhir-akhir ini gue selalu merasa diikutin."

"Hah? Samuel, maksud lo?" Aku masih ngang-ngong, tidak mengerti maksud ucapan Gama.

"Bukan. Cecunyuk itu nggak akan berbuat sampai sejauh ini." Gama berujar dengan nada gusar yang kentara, baru berhenti saat kami tiba di sudut lorong gelap yang nyaris tidak mungkin dilihat oleh manusia lain. "Listen. Gue tahu lo bakal kaget, tapi gue harus ngomong ini supaya lo bisa prepare, in case sesuatu terjadi di masa depan."

"Lo bikin gue takut," kataku was-was.

"You should be." Gama menatapku serius. "Gue rasa .. ini semua ada hubungannya sama kejadian sebelas tahun lalu."

"Apa?"

"Pelaku sebenarnya," bisik Gama dengan suara rendah. "Itu artinya dia ada di sekitar kita."

Bulu kudukku berdiri. Apa-apaan? Kenapa genre hidupku dalam sekejap berubah menjadi thriller slash misteri menyebalkan? "Gue nggak mau mati," kataku spontan.

Dengusan Gama terdengar. "I won't let that happen." Aku masih berusaha mencerna isi otakku sendiri saat Gama meletakkan kedua tangannya pada bahuku. "Hei, lo bisa percaya sama gue."

"You know how dangerous this is, right? Apa nggak sebaiknya kita lapor ke polisi—"

"They're useless, Mor. Menurut lo kenapa mereka dulu bisa menangkap pelaku yang salah? Itu karena kerja mereka nggak becus," sahut Gama dingin. "Dia melakukan ini karena takut. Itu artinya arah yang gue tuju udah benar."

"Arah? What exactly are you doing? Lo ngelakuin penyelidikan diam-diam tanpa gue? Itu alasan lo menghilang selama satu minggu?" Aku mencerca Gama dengan banyak pertanyaan.

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang