Surganya Ahli Maksiat

111 16 0
                                    

Pemahaman agama seorang lelaki itu harus lebih dari seorang wanita, jika belum bisa, maksimallah belajar untuk tidak meninggalkan kewajiban.

Jika saja seorang lelaki berani meninggalkan kewajibannya pada Allah, lantas rumah tangga seperti apa yang akan dibangun? Udara pagi ini begitu sejuk karena sehabis di guyur hujan semalaman, aku melangkahkan kakiku dengan banyak berjinjit untuk menghindar dari air genangan hujan.
Para santri dan santriwati sedang patrol, atau piket.

Mereka membersihkan halaman asrama tempat mereka masing – masing. Dimana sebelah kiriku terdapat asrama santri  dan kananku santriwati, dapat aku lihat Fatimah yang sedang berjaga memperhatikan pekerjaan santri.

Mataku tertuju kearah depan, yang sedang memperlihatkan dua insan yang berjalan kearahku. Seperti layaknya dibanyak drama, entah angin dari mana sampai hijab wanita itu sedikit terbang, jika biasanya rambut ini hijab.

Senyumnya akan membuat mabuk yang melihat, sungguh mereka terlihat serasi sekali. Tak ada sapaan apapun saat mereka tepat didekatku, hanya melewat saja dengan topik yang sepertinya menyenangkan.

Aku hanya menengokkan saja kepalaku saat Mas Ali berjalan tepat disebelah kiriku. Lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz dzalimin.

Aku mengaduh saat ada seseorang yang menabrakku dari belakang sampai akhirnya kami terjatuh, aku mencoba bangun. Padahal belum lama sekali kejadiannya, aku dan wanita itu sudah dikelilingi santri dan santriwati bahkan ada Fatimah disitu namun dia tidak mendekat.

Ku perhatikan penampilan wanita yang masih terduduk itu, tanpa hijab. Lalu baju lengan panjang sebatas lutut berwarna putih namun sudah banyak yang koyak.

Sebagian wanita ada yang memilih menjahit pakaiannya yang sobek untuk menutupi auratnya, dan sebagian lagi ada yang menyobek pakaiannya untuk membuka auratnya. Aku mengulurkan tanganku pada wanita yang masih terduduk itu, dia menengadah melihat kearahku.

Aku terperanjat kaget saat dia membawa tanganku dengan cepat, bukannya berdiri malah memohon kepadaku untuk menolongnya.

“ tolong, tolong aku “, aku melihat ke sekelilingku dimana sekarang aku sudah menjadi pusat perhatian.

Mas Ali dan wanita itu ada disana, bahkan Umi pun ikut melihat kearahku. Aku berjongkok untuk mensejajarkan tubuh kami, aku mengambil sebuah pashmina yang masih terbungkus plastik didalam tas ku lalu ku pakaikan pada kepala wanita itu, “ Mbak ikut aku ya “, dia mengangguk.

Aku membantunya untuk berdiri lalu memapahnya untuk mengikutiku.

Didekat Umi aku hanya mampu menganggukkan sedikit kepalaku, masih aku dengar sayup – sayup pembicaraan para santri dan santriwati yang bertanya – tanya tentang wanita yang saat ini bersamaku.

Bahkan aku pun tidak tau beliau siapa dan darimana, tapi sepertinya beliau memang begitu butuh bantuanku.

Kami masuk kedalam ruangan yang sudah pihak pesantren siapkan untukku, disana aku memintanya untuk duduk disofa. Lalu aku mengambilkan beliau minum, duduk didepannya.

Aku memperhatikan wajahnya, begitu berantakan.

Aku mempersilahkan orang yang mengetuk pintu masuk kedalam ruanganku, Umi dan Fatimah. Mereka berjalan kearahku lalu ikut duduk tanpa diminta, wanita itu menatap kami bergantian lalu tetes demi tetes air mengalir dari matanya.

Dia mulai terisak dan mengelus perutnya, tunggu! Beliau hamil ? kenapa aku baru sadar sekarang.

“ Mbaknya sudah baikkan ?” tanya Umi memulai pembicaraan kami. Wanita itu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Umi.

“ Jeneng e sopo toh Mbak ?”

“ Mila Ustadzah “

“ ada apa ? sesuatu hal apa yang membuat nak Mila kesini dalam keadaan seperti ini ?”

Hold Me Tight [ PDF ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang