Para entitas yang berkabung ditengah ketentraman batin saya—
Bersama binar antusiasme yang menggebu, Aarash memacu langkahnya untuk terus berlari. Ia menerjang terpaan angin dini hari demi mencari simpati atas hidupnya. Aarash pun dengan suka rela membiayai hidupnya tampak menyedihkan di hadapan orang lain.
Bersamaan dengan salju yang turun kala itu, Aarash bahkan tidak menyadari jika kini sudah memasuki musim salju. Ia kesampingkan perasaan skeptis nya dan kebih mengutamakan tekadnya saat ini.
Bibir yang kering dan pecah-pecah dengan rambut lepek akibat keringat, serta baju sekolah yang masih ia kenakan itu berlumuran darah. Sisa-sisa bercak darah sang ibu, Aarash tidak memikirkan untuk membenahi penampilannya. Prioritasnya saat ini ialah sampai di kediaman sang ayah sembari membawa kabar bahagia itu.
Gerbang rumah Orlando terkunci rapat, Aarash berdesis. Ia menggoyang-goyangkan besi itu dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki hingga menimbulkan suara decitan yang berisik.
Aksinya membuahkan hasil, terbukti saat seorang jagapati mendatanginya dengan tergopoh-gopoh seraya menunjukkan sorot kemarahan dan jijik sekaligus seolah perbuatan nya ini adalah perbuatan yang tercela.
Dengan nafas tersengal Aarash menerobos masuk saat gerbang berhasil di buka. Ia bahkan di teriaki beberapa kali oleh penjaga, dan kini aksi nekadnya membuahkan hasil. Seluruh orang di kediaman Orlando terbangun dari jam istirahat mereka. Berlari mendekat ke arah sumber kegaduhan berasal.
Aarash bahkan tengah di kepung, sebab perawakannya kini tidak mencerminkan seorang anak baik-baik. Manifestasi seseorang dengan kegilaan yang meluap, bersama dengan batang lampu tidur yang persisten ia genggam. Seragam sekolah berpadu dengan corak darah kering, isi sorot matanya yang menggambarkan kegembiraan seolah baru saja memenangkan sebuah medan perang.
Aarash di mata seluruh keluarga Orlando seperti seorang psikopat.
Dua orang penjaga dengan kuat menahan tubuh kecilnya, ia berontak dengan hebat. Jejaka itu berani mendedahkan suaranya dengan lantang.
“AKU MAU BERTEMU AYAH!” bariton yang menggebu itu memunculkan banyak tanya di kepala masing-masing individu.
“Siapa ayahmu! Jangan lancang membuat onar di kediaman terhormat ini!” seorang kepala pelayan berseru dengan tegas.
Seruan itu berhasil menghentikan pergerakan Aarash, pemuda kecil itu membalas tatapan sang kepala pelayan penuh kecongkaan. “Terhormat katamu?”
“Bahkan orang yang kamu hormati itu menelantarkan seorang anak dari hasil perselingkuhan sejak 15 tahun lalu.” tawa Aarash terdedah kemudian, “itu yang kamu bilang terhormat?”
Kepalan Aarash pada batang lampu tidur semakin kuat, ia tanpa gentar menatapi satu persatu orang-orang dihadapannya kini. Perasaan ingin menyakiti mereka semakin besar, Aarash seolah baru menemukan pelampiasan amarahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
00.01 - Norenmin [End]
FanficJAEMREN NOREN (short story) - the villain is a Marionette - Menciptakan fantom dan keyakinan bahwa kematian adalah bentuk keadilan yang seadil-adilnya. © datterloepa