1:4

238 32 0
                                    

Tertawan di analekta pesakitan bak kolonialis yang menginvasi takdir. Avolusi yang hadir akibat mengononkan nasib yang di jajak oleh delusi. Membinasakan atma yang memiliki krisis nuraga hingga fakir. Pionir dengan mati-adil yang di nanti dari bentuk autokrasi.

.
.
.

Kiat-kiat yang tergugu akibat egosentris yang menjadi batu sandungan segala rencananya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kiat-kiat yang tergugu akibat egosentris yang menjadi batu sandungan segala rencananya. Konotasi frasa yang bervariasi dalam isi kepalanya tidak dapat ia gambarkan saat ini. Kelemahannya pada insting membuat suatu kebodohan yang tak berujung.

Tubuh kecilnya menggeliat, netranya terbuka lebar dan mendudukkan diri seketika. Netranya berpendar untuk menatapi sepenjuru ruangan, keadaan yang sunyi dan cahaya yang masuk hanya cahaya yang berasal dari satu-satunya jendela di ruangan tersebut.

Aarash bahkan kehilangan ingatan bagaimana dirinya bisa sampai di ruangan ini. Dengan susah payah remaja itu menelan ludahnya, berjalan tertatih menuju sumber cahaya tersebut.

Remaja itu tidak mengetahui pukul berapa saat ini, ia hanya melihat bumantara yang tampak sendu dan bersiap meluruhkan tangisnya. Tatapan Aarash perlahan turun ke bawah dan begitu terkejutnya ia saat ia jumpai begitu banyak manusia yang bergeletak tidak berdaya.

Mereka tumbang di atas tumpukan salju, tubuh Aarash bergidik ketika ia lihat banyak darah yang tergenang dan menyatu dengan salju. Siapa orang-orang yang mati mengenaskan itu?

Bibir Aarash terjatup rapat, dan netranya terbuka lebar saat ia baru menyadari jika kini ia tengah di rumahnya. Daksanya perlahan berjalan mundur dengan lunglai, ia kembali mengedarkan pandangannya di setiap sudut ruangan.

Ruangan yang berisikan meja rias, lemari pakaian, dan sebuah ranjang. Namun satu hal yang membuatnya begitu penasaran, sebuah foto yang terbingkai di samping nakas ranjang itu.

Aarash mendekat, begitu terkejutnya ia saat ia jumpai foto seorang wanita tergantung dengan malang. Spontanitas Aarash menghentikan langkahnya dengan netra yang bergerak gelisah.

Bukan hal yang baik ia rasakan saat ini, ia melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu kamar. Saat sudah melewati pintu pun ia kembali terdiam, puluhan pintu yang sama sejajar dan berhadapan.

Netranya memejam dan terbuka kembali, pintu yang semula saling berjejer dan berhadapan itu hilang seketika. Kini hanya tersisa pintu kamar yang sebelumnya ia tempati. Aarash melangkahkan kaki untuk menuju tangga, ia bawa langkahnya untuk turun perlahan dan hati-hati.

Begitu sampai di anak tangga terkahir, Aarash terbungkam. Banyak genangan darah di lantai itu, ia tidak berpikir terlalu jauh dan memutuskan untuk segera berlari ke arah pintu utama yang sudah terbuka.

Nafasnya kembali tercekat saat ia tidak jumpai satu pun kunarpa yang tergeletak di halaman rumah itu seperti yang ia lihat sebelumnya. Ia kembali berlari ke halaman, terduduk dan mengais-ngais salju yang sama sekali tidak menunjukkan ada noda darah atau hanya sekedar jejak langkah kaki.

00.01 - Norenmin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang