Melewati penghujung malam, atmosfer duka kembali menyelimuti. Selepas menempatkan Lilian Orlando di tempat persemayaman terakhir, Davide menjadi satu-satunya orang yang begitu merasakan kehilangan.
Langkah kaki yang berpacu dengan kecepatan itu mantap mengarah pada letak kamar Shaga. Dengan membawa dendam dan murka ia memasuki kamar Shaga. Mendobrak dan melesak masuk di tengah remangnya ruangan, hanya sedikit cahaya rembulan yang menyinari melalui celah ventilasi.
Davide menjumpai Shaga yang tertidur dengan tenang diatas ranjangnya, selepas menghilangkan nyawa Lilian dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah apa yang ia lakukan semata hanya membunuh sebuah hama.
Dengan nafas yang menggebu, Dave menaiki ranjang Shaga dan duduk diatas perut Shaga. Membuat sang empu spontanitas membuka mata dan merintih, seringai Dave terlihat dan Shaga bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi sudah di kejutkan dengan cekikan pada lehernya.
“Mati.”
“Nyawa di bayar dengan nyawa.”
Nafasnya tercekat, ia kesulitan untuk sekedar mengais oksigen. Netranya mulai melotot hampir keluar, untuk detik berikutnya tubuhnya terasa mulai melemah, nafas yang mulai tersendat serta pandangan yang mulai mengabur.
Shaga yang hampir kehilangan kesadaran mendadak membuka mata seolah tersadar dari ambang kematian itu memiliki kekuatan untuk mendorong tubuh Dave diatas tubuhnya hingga pemuda itu tersungkur.
Sedikit terbatuk, Shaga turut serta menuruni ranjangnya. Ia berdecih sinis menatap Dave yang terduduk lemah di lantai.
“Meratapi kematian ibumu?”
Kepala Dave perlahan terdongak sekedar untuk menyimak konversasi Shaga.
“Mati saja, ibumu nampaknya butuh teman.” vokal Shaga terdedah begitu lembut.
Kini giliran Dave yang berdecih, ia berdiri kembali dan meludah mengenai wajah Shaga. “Kamu kita dirimu memiliki harga jika sudah berada di Orlando?”
“Sampah tetaplah sampah.”
“Pembunuh.”
“Seharusnya kamu perlu ingat, tidak perlu berurusan dengan pembunuh.” seraya mengusap bawah mata yang terkena ludah Davide.
“Hari ini juga akan menjadi ajalmu.” Dave mengeluarkan sebilah belati dari sakunya, hendak menghunuskan ke arah Shaga, namun jejaka itu dengan lincahnya mampu menghindari serangan.
Sekaligus juga tidak membuat Dave gentar, pemuda itu kembali mengarahkan belatinya ke arah Shaga, namun dari Shaga pun meraih belati tersebut, menggenggam dan berusaha merampas benda tajam itu dari genggaman Davide.
Senyum Shaga terulas penaka belati kecil itu sudah ada di genggamannya. Kekehannya menjadi saat kepalan tangannya terselimuti oleh darah yang keluar dari telapak tangannya.
“Seharusnya kamu menghunuskan belati ini ke leher atau dadaku. Bukan dengan mencolok mencekik ku dahulu.” vokal yang lembut dan terkesan penuh cemooh itu Shaga lontarkan.
Netra Dave semakin menunjukkan kilat kemurkaannya. “Kamu tidak pantas menginjakkan kaki disini. Kamu begitu menjijikkan.”
“Kenapa? Seharusnya kita menjadi lebih akrab, sebab kita memiliki banyak kesamaan.” tutur Shaga pula dengan binar antusiasnya.
Decihan Dave terluruh, “manusia hina sepertimu bahkan tidak pantas di samakan denganku.”
Tawa Shaga yang begitu renyah memantik Dave untuk berkenyit bingung, begitu keheranan dan bertanya-tanya apa penyebab Shaga bisa mendedahkan tawa serenyah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
00.01 - Norenmin [End]
FanfictionJAEMREN NOREN (short story) - the villain is a Marionette - Menciptakan fantom dan keyakinan bahwa kematian adalah bentuk keadilan yang seadil-adilnya. © datterloepa