1. Never expected

260 13 0
                                    

Kedua matanya berkilat tajam menatap lawan bicaranya yang duduk berhadapan dengannya. Raut wajahnya terlihat mengeras pun kedua tangannya yang mengepal erat.

“Maaf, Kak. Kalo minta persetujuan kamu pasti kamu akan menolaknya. Makanya itu kami memutuskannya tanpa melibatkan kamu.”

Gadis berusia dua puluh delapan tahun itu menggeram pelan. Rasanya ia ingin mengamuk sekarang juga, kalau tidak mengingat ia sedang berada di sebuah kafe.

“Seenaknya saja kalian. Kenapa? Kenapa kalian lakuin ini sama aku?”

“Kami ngelakuin ini karna kami sayang sama kamu, Kak. Kami cuma mau yang terbaik buat kamu. Lagipula kamu ‘kan masih sendiri, belum punya pacar lagi, jadi kami rasa juga nggak ada salahnya. Kami juga semakin tua. Kami nggak bisa selamanya menjaga kamu, Kak.” Jawaban dari sosok yang selalu menjadi pendukung nomor satunya itu kembali bersuara.

Nieka menggeleng pelan lalu tersenyum miris.
“Bukan. Ini pasti paksaan Mama ‘kan? Kenapa Mama selalu seenaknya kayak gini sih? Ini hidup aku, Ma. Aku yang jalani bukan Mama.” Iris coklat terang itu berpindah pada wanita paruh baya yang terlihat memakan roti bakarnya dengan tenang.

Merasa ditatap wanita yang memiliki paras mirip dengan Nieka itu mengalihkan pandangan pada putri sulungnya.

“Kalau iya kenapa? Ini semua tuh buat kamu. Usia kamu juga sudah sangat matang, jadi nggak ada salahnya toh? Toh kayak yang dibilang Papa, kamu ‘kan lagi single. Cowok ini juga nggak asal kami terima. Kami pasti cari tahu dulu dia kayak gimana dan sejauh ini dia baik. Dia mau deketin kamu aja harusnya deketin kamu malah deketin kami dulu. Jadi Mama pikir, dia udah yang terbaik buat kamu. Biar kamu juga ada yang bisa handle, yang bisa nanganin kekeraskepalaan kamu itu.”

Nieka memejamkan sejenak matanya karena merasa emosinya terus naik. Ia menghembuskan napasnya dengan pelan, berusaha menenangkan dirinya.

“Tapi ini hidup aku, Ma. Kenapa sih Mama itu selalu saja ngelakuin sesuatu tanpa persetujuan aku dulu? Tanpa mau denger pendapat aku? Aku manusia yang juga berhak berpendapat dan berhak menolak. Tapi Mama dengan seenaknya nentuin sesuatu buat aku. Apalagi ini terkait pasangan hidup yang aku cuma mau untuk seumur hidup aku. Nikah itu nggak main-main, Mama. Dan ini udah hampir rampung persiapannya. Yang bener aja kalian.”

Menekan setiap kalimatnya dengan tegas dan keras. Ia sungguhan tidak habis pikir dengan isi kepala kedua orang tuanya, terutama Mamanya. Menentukan sesuatu yang merupakan salah satu hal paling krusial di hidupnya.

“Terserah. Terserah kalian mau apa. Aku nggak bisa apa-apa sekarang ‘kan? Karena semua sudah beres dan aku nggak bisa nolak. Bener-bener pintar cara main kalian. Aku nggak habis pikir. Gila, bener-bener gila.”

Tanpa pamit Nieka langsung beranjak dari kursi yang terasa sangat panas itu. Kepalanya sudah berasap dan matanya sudah berkedut ingin menumpahkan tangisannya. Ia bisa apa sekarang? Selain pasrah menerima hasil yang sudah ditentukan untuknya.

Seperginya Nieka, pasangan suami istri itu menghela napas pelan sambil menatap hampa ke atas meja.

“Pa, ini sudah benar ‘kan?” Cory menatap suaminya dengan cemas.

Samudra menggeleng dengan lemah. “Papa nggak tahu, Ma.”

“Mama takut, Pa. Mama takut kalo udah salah.”

Samudra menghembuskan napas pelan lalu merangkul istrinya dengan erat. Ia juga takut. Ia sudah menyakiti putri kesayangannya dengan tindakan mereka ini. Tidak mungkin Cory bisa menjalankan semua ini kalau tanpa persetujuannya. Ia juga mengambil andil besar dalam hal ini. Namun begitu Samudra berharap semua baik-baik saja. Atau ia akan menyesal seumur hidup.

The Marriage Knots [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang