2. Pertemuan perdana

138 11 0
                                    

Nieka tidak tahu dengan siapa ia akan dinikahkan. Kalau ditanya apa ia penasaran atau tidak, maka jawabannya adalah tidak. Nieka tidak peduli, benar-benar tidak peduli dengan siapa ia akan bersanding di pelaminan nanti.

Peduli setan.

Karena mau seperti apa pun tampang calonnya, ia akan tetap menikah.

Hembusan napas dalam yang dilakukannya menarik perhatian rekan kerjanya yang duduk di sebelahnya.

“Kenapa lo?”

Nieka menoleh dan hanya memberi senyum masam.

Tio, pria yang malam ini akan siaran dengannya mengerutkan kening melihat raut Nieka yang gelap. Bahkan ia dapat melihat mata Nieka yang sembab itu.

“Hidup kalo nggak ada masalah kayaknya nggak seru ya?” Perkataan Tio menarik perhatian Nieka.

Gadis itu duduk bersandar dengan nyaman di sofa. “Nggak tau.”

Tio tersenyum kecil. “Apa pun masalah lo jangan nyerah. Tuhan nggak akan kasih tantangan melebihi kemampuan kita.”

Nieka mengulum bibirnya ke dalam. Memang benar apa yang dikatakan Tio. Nieka jelas paham akan hal itu, ia pun menyakininya. Hanya saja semua ini membuat Nieka linglung.

“Entar fokus. Kalo gue ngomong nanti jangan sampe lo cuma diem. Inget, kerja tim. Kemistri dan harmoni harus ada entar.”

“Iya, Kak.” Nieka menjawab singkat.

Tio pun tidak kembali berbicara dan memilih memainkan ponselnya. Tanpa mau menanyakan lebih jauh tentang masalah Nieka. Tio selalu berusaha tidak mencari tahu urusan orang lain, jika bukan orang itu sendiri yang bercerita padanya.

“Kak.”

“Hm?”

Nieka diam beberapa saat sebelum menjatuhkan pandangan pada seniornya itu. Menatapnya dengan pandangan kosong. “Abis siaran punya janji nggak?”

Tio menggeleng sebagai jawaban dengan mata masih di layar ponsel.

“Temani gue cari makan bisa?” Nieka berani berbicara seperti itu karena seniornya itu masih sendiri. Belum memiliki hubungan dengan siapa pun dan tidak sedang menjaga perasaan siapa pun, jadi Nieka tidak segan bertanya.

Tio pun mendaratkan tatapan pada Nieka. “Oke, Abis itu cari jajanan malam juga.”

Senyuman tidak ragu-ragu merekah di wajah Nieka.

Ia perlu teman untuk membuatnya tetap waras. Siaran akan kelar pada pukul tujuh malam dan ia tidak mau langsung pulang. Mengingat Sunny juga yang akan pulang malam, ia tidak mau sendirian di kos. Karena kalau sendirian di kos yang ada pikirannya penuh, jadi lebih baik waktunya dihabiskan di luar sembari memastikan kepulangan Sunny nanti.

+•+•+•+•+

“Sun.”

Gumaman di seberang telpon adalah respon yang diterimanya.

“Ketemu nggak?”

“Dengan?”

Nieka menghela napas pelan. Ia menggeleng. Ia akan mencoba untuk menyelesaikan ini sendiri.

“Nggak. Lanjutin kerjaan lo.”

“Yakin? Emangnya lo mau nanya apa?”

“Nggak ada. Ya udah. Gue mau mandi dulu. Dah.”

Panggilan suara yang dimulai Nieka itu dipadamkan olehnya juga.

Kepalanya rasanya ingin pecah. Hidupnya yang aman dan damai selama lima tahun, kini harus hancur.

The Marriage Knots [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang