Prolog

4.7K 269 34
                                    

Aku tidak pernah mencurigai bahwa suara desahan wanita yang kudengar saat mencoba menghubungi ponsel suamiku berujung pada petaka yang menimpaku beberapa jam kemudian. Seharusnya malam itu aku langsung tidur begitu aku selesai menuntaskan ilustrasi yang menjadi tanggung jawab pekerjaanku untuk buku anak yang akan terbit bulan depan. Seharusnya aku langsung meringkuk di bawah selimut di samping tubuh mungil Glenn lalu mimpi indah supaya besok bisa bangun pagi dan melanjutkan hidupku yang kuanggap sempurna. Seharusnya, aku tidak gelisah dan iseng membuka ponsel, lalu penasaran kenapa suamiku belum juga pulang. Seharusnya aku menjadi istri penurut dan tidak banyak curiga. Seharusnya aku... Ah, semua ini tidak ada artinya lagi karena aku sudah menerima akibat dari sikapku yang tidak bisa menahan diri.

Mungkinkah efek bergelas-gelas kopi yang menemaniku begadang malam itu?   Mungkinkah karena aku tidak terlalu puas dengan hasil ilustrasi buatanku yang terpaksa kugarap di saat kepalaku sedang migren parah? Atau... Mungkinkah untuk ke sekian kalinya aku merasa kesepian hanya ditemani pekerjaan dan putraku yang seharian membuatku sulit berkonsentrasi dan terpaksa bekerja lembur di saat Glenn sudah lelap tertidur?

Kurasa, ada setan di kepalaku yang mengatakan aku sudah lelah jadi istri penurut dan untuk malam ini aku merasa harus tahu di mana suamiku dan apa yang membuatnya tidak pulang hingga dini hari. Aku menekan dial ke nomor lelaki yang sudah kunikahi selama tujuh tahun terakhir ini. Panggilan pertama dan kedua, tidak ada jawaban dan aku hampir menyerah, tapi kekesalanku membuatku tidak ingin tidur sampai aku mendengar suara Tristan, suamiku.

Dan di panggilan ketiga, suara desahan wanita lah yang kudengar. Pertama kali telingaku seolah menangkap rintih kesakitan, sampai aku sadar itu bukan rintihan kesakitan, melainkan kenikmatan.

"Hnghhhh... Ahhhh..."

Semakin aku menajamkan telinga, aku makin yakin bukan hanya suara desahan yang kutangkap, tetapi juga suara derit ranjang dan suara tumbukan dua permukaan kulit yang bersentuhan, mirip bunyi becek yang terdengar sangat kotor.

"Mas Tris! Mas!" Panggilku dengan suara keras. Bukannya jawaban yang kuterima melainkan suara lenguhan wanita dan dengus napas pria yang terdengar akrab di telingaku pun terdengar. Tersulut amarah yang berkobar, suara panggilanku pun makin keras.

"Mas! Jawab! Aku istrimu!!!"

Berikutnya suara desahan itu pun berhenti, digantikan suara makian yang samar. Lalu sambungan pun terputus. Kemarahanku pun tak bisa dibendung. Aku pun kembali menghubungi ponsel Tristan dengan keinginan mencekik lelaki itu.

Tolong angkat teleponku, Mas. Angkat, sialan!

Ajaibnya, setelah beberapa saat ponselku kembali tersambung. Kali ini tanpa suara desahan dan tanpa suara derit ranjang. 

"Ya, Sayang," sapa suara di seberang.

"Mas! Siapa perempuan tadi?"

"Perempuan yang mana?" 

Seandainya panggilan telepon bisa membuatku menghabisi suami sendiri, aku dengan senang hati menghadiahinya pukulan bertubi-tubi.

"Jangan bohong, Mas! Aku dengar suara perempuan yang mendesah itu. Kamu di mana, Mas? Tolong jangan bohong!" seruku dengan kepanikan yang sulit kukendalikan.

"Aku lagi di hotel tempat aku meeting sama kolega, Yang. Maaf aku nggak sempat ngabarin karena ini meeting-nya juga dadakan."

"Dengan kolega apa perempuan yang mendesah-desah hebat itu? Kamu jangan ngada-ada ya, Mas. Aku tahu kamu nggak jujur sama aku. Coba aku mau lihat! Nyalain video call-nya!" pintaku.

"Yang, jangan sekarang. Kamu tahu lah, meeting sama kolega dan klien itu agendanya bukan cuma meeting dan ngobrol. Aku juga mesti entertain mereka. Nggak munafik lah klien aku mintanya aneh-aneh. Minuman alkohol dan cewek panggilan. Pas mereka lagi begituan di sofa kelab, handphone aku ada di dekat mereka terus kepencet, jadinya kamu dengar hal-hal yang nggak semestinya kamu tahu," jawab suamiku dengan nada yang lumayan meyakinkan, tapi aku tidak semudah itu percaya.

"Kamu pikir aku bakal percaya sama karanganmu itu? Yang aku dengar bukan cuma desahan, tapi juga derit ranjang. Kamu nggak lagi di kelab karena nggak ada suara musik dan terlalu sepi. Ngaku kamu, Mas! Kamu lagi sama perempuan lain kan?"

"Kamu serius nuduh aku selingkuh? Aku lagi kerja mati-matian supaya aku deal proyek kerjaan yang nilainya milyaran. Ini nggak main-main."

"Kalau gitu tolong kasih lihat kamu di mana! Nyalain video call-nya!" cecarku lagi.

"Dinyalain juga percuma. Di sini agak gelap. Kamu nggak bakal bisa lihat jelas!"

"Aku nggak peduli. Nyalain sekarang juga!"

"Giana, tolong jangan bersikap nggak masuk akal kayak gini. Bentar lagi aku pulang kok."

"Kamu yang nggak masuk akal. Aku percaya sama kamu sudah sejak lama, Mas. Aku nggak peduli alasanmu lagi. Kalau kamu selingkuh, aku bakal pergi dari rumah ini dan kamu nggak akan bisa ketemu lagi sama Glenn," ancamku.

"Berengsek kamu, Giana. Kamu ngancam aku supaya aku nggak bisa ketemu sama anakku sendiri? Kamu paham nggak kamu ngomong apa? Kamu itu cuma perempuan bau cat yang nggak bisa apa-apa selain melukis dan gambar! Yang aku hasilkan dan yang kamu dapatkan dengan pekerjaanmu itu nggak bisa sebanding. Kamu pikir kamu bisa besarin Glenn sendirian?"

Seketika aku membeku mendengar suamiku kini menyerangku dan memakiku. Aku tidak siap dengan situasi yang berbalik merugikanku. Ingin kusudahi dengan menutup telepon supaya aku tidak kelepasan mengatakan sesuatu yang memperburuk situasi.

"Jangan pernah kamu ngancam aku, Giana! Cuma aku yang boleh nentuin nasib keluarga kita. Apa yang aku lakukan sekarang sama sekali nggak ngerugiin kamu. Kamu masih dapat uang dariku dan tinggal di rumah besar hasil kerjaku. Kamu bisa melukis dan gambar semaumu tanpa perlu mikir cicilan rumah dan mobil. Nggak bisa gitu kamu diam dan nurut tanpa perlu protes dan nuduh-nuduh aku? Pakai ngancam bakal ninggalin aku segala. Harusnya kamu yang takut karena aku nggak segan-segan buat NINGGALIN KAMU!"

Lalu sambungan pun diputus sepihak. Dadaku naik turun dan napasku mulai tak beraturan. Kata-kata kejam yang dilontarkan suamiku bak pisau yang mengulitiku hidup-hidup. Ponsel di tanganku pun terlepas begitu saja seolah memegang benda itu sama beratnya dengan baja dua puluh kilogram. Aku cuma tahu suamiku berbohong tapi aku tidak punya bukti untuk membuktikan bahwa aku benar. Lalu ponselku berdering lagi. Dari suamiku. Kali ini aku mengangkat dengan kecemasan yang makin mencuat. Aku tidak siap jika harus menerima hinaan dan makian lagi darinya.

"Halo?" jawabku lemah.

Cukup lama keheningan menyela panggilan itu, sampai akhirnya aku mendengar suara helaan napas seorang wanita. Bukan desahan seperti sebelumnya.

"Maaf, Mbak...  Saya nggak tahu mesti telepon siapa lagi. Mas Tristan... Sudah nggak bernapas."

***

Author's note:

Hai, all... Mulai hari aku bakal publish setiap hari cerita ini mulai dari bab 1 sampai tamat. Nantikan yak.

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang