Call #6 - Kucing dan Tikus

1.2K 165 12
                                    

"Bukan main kalian berdua," ucap Beni yang kini memandangi Darren dan Hadis bergantian. Laki-laki yang selalu mengenakan kemeja warna ungu ini tampak tidak senang setelah memutar rekaman audio yang tersebar di Twitter. Rekaman keributan itu berhasil direkam pendengar dan disebarkan hingga lintas platform media sosial lainnya. Saking ramainya perdebatan tentang rekaman itu, muncul meme yang mengganti wajah Darren dan Hadis dengan penyanyi K-Pop atau bahkan tokoh Marvel Cinematic Universe, terutama di bagian paling epik menurut mereka: "Yah, bukan salah gue titit lo terlalu kecil". Baru dua hari sejak keributan malam itu, tersebarnya rekaman audio itu menjadi sesuatu yang trending dan menimbulkan kontroversi.

"Gue nggak ngerti, kalian ini punya masalah apa sampai ngeributin hal yang nggak prinsipil banget? Lo juga, Dis... lo itu announcer radio GALA FM yang segmennya anak muda banget. Ada urusan apa lo sampe ngotot masuk ke ruangan siaran SKART terus ngajak ribut Darren? Lo kekurangan jatah siaran apa gimana lo?" sindir Beni di hadapan Hadis, penyiar radio yang masih satu jaringan dengan SKART yang berada di gedung yang sama.

"Gue cuma risi karena sekuriti di bawah ketiduran dan ada tamu yang nggak mau pergi setelah diusir. Itu cewek bikin ribut karena ngotot ketemu sama Darren. Mau ngancem-ngancem bunuh diri segala. Ya gue naik ke SKART niatnya mau ngasih tahu ke Darren, tapi jawaban dia nggak enak banget dan gue jadi emosi."

"Emosi lo nggak bisa ditekan sampe lo mencet tombol on-air gitu?" sindir Darren.

"Udah gue bilang gue nggak sengaja! Mau sampai kapan gue mesti ngomong lagi?"

"Nggak sengaja? Baik banget lo selama nggak sengaja lo sukses ngasih tahu kelemahan gue ke seluruh dunia. Udah kayak ngabsenin hal-hal yang bikin gue nggak layak disukai," dengus Darren.

"Dan lo nggak nyadar kelakukan lo di balik layar itu ampas banget. Nggak perlu gue kasih tahu seluruh dunia, cepat atau lambat orang-orang juga paham lo itu nggak ada gunanya diidolain. Nggak punya attitude."

"Kenapa juga gue mesti punya attitude kayak malaikat? Gue nggak lagi ikutan audisi jadi ustadz," sahut Darren sekenanya yang membuat lawan bicaranya makin kesal.

"Udah kalian berdua! Gara-gara keributan kalian yang tersebar di media sosial, gue jadi diomelin presdir yang bikin masalah ini seolah-olah dua brand radio yang lagi bertikai, kenyataannya kalian sendiri yang nyari penyakit." Beni mulai lelah menjadi penengah di antara dua laki-laki yang bagai remaja puber yang sedang hobi tawuran. Bak guru BP di lingkungan sekolah. "Lo boleh pergi, Dis. Gue udah bahas sama Dita, atasan lo di GALA soal sangsi lo. Dia bilang nggak akan kasih lo sangsi karena reputasi GALA sama sekali nggak berpengaruh dari ribut-ribut ini karena untungnya lo bukan penyiar morning program yang menguasai rating GALA."

Hadis yang tadinya tersenyum menjadi bertampang kecut setelah mendengarkan kalimat Beni. Itu sama saja dengan mengatakan sejak awal Hadis bukan penyiar yang punya pengaruh di radio GALA karena program yang dia bawakan tidak mengudara di jam-jam yang banyak didengar pendengar radio. Mau dia bikin keributan apa pun, tidak ada yang peduli karena di mata pendengar, Hadis cuma penyiar medioker. Ini membuat Darren menahan senyum dan menggeleng. Setengah mendorong kursi dengan keras, Hadis pun meninggalkan ruangan Beni dan menatap Darren dengan penuh dendam.

Setelah kepergian Hadis, barulah Darren mulai bicara. "Gue kira lo netral, Ben... Bisa-bisanya lo nyindir dia secara nggak langsung kalau dia penyiar nobody di GALA," gumam Darren dengan suara malas. Ia benci saat siang hari di mana seharusnya ia beristirahat dan tidak melakukan apa-apa terpaksa harus datang ke kantor.

"Emang gue salah ngomong? Bukannya itu kenyataan? Gue juga kesal sama radio sebelah itu. Mentang-mentang rating mereka paling tinggi dan paling gaul, beberapa penyiarnya merasa berhak nyari gara-gara. Gue cuma mau Hadis tahu diri bukan hak dia ngatur-ngatur penyiar lain mesti gimana."

"Yeah, jadi lo berpihak sama gue di sini?"

"Nggak segampang itu, Bro. Tetep lo juga salah karena menurut yang gue denger dalam percakapan kalian yang lagi rame itu, lo emang bener ngomong dalam keadaan teler. Yang artinya tuduhan Hadis kalo lo siaran dalam keadaan mabok itu bener. Sangsi lo bakal lebih gede, tapi berhubung lo cuma jadi host buat satu program dan itu pun on air-nya cuma seminggu sekali dan tengah malam, lo nggak bakal di-cut dari program lo, tapi untuk dua minggu ini lo sementara digantiin penyiar yang lain. Gue nggak ngerti mesti sedih apa seneng lo nggak di-cut karena popularitas program lo itu lagi bagus-bagusnya. Tapi gue sedih lo juga dihujat banyak netizen karena lo arogan sama fans lo sendiri, ditambah attitude lo yang maki-maki Hadis pake kata-kata kasar. Image lo hancur."

Darren mendengus, "Kayak gue peduli aja soal popularitas."

"Ren, dengerin gue dulu. Lo nggak peduli, tapi nama radio kita jadi pertaruhan. Lagian lo juga ngapain mesti minum minuman alkohol pas siaran?"

"Gue cuma minum dikit. Lagian apa itu ngaruh pas gue siaran? Nggak ada yang nyadar gue minum. Siaran gue juga lancar-lancar aja sampai si kampret itu datang ke studio dan bikin ribut sejam setelah gue siaran. Itu terjadi pas gue masih sendirian di studio dan belum pulang. Berapa banyak yang gue minum bukan urusan dia, apalagi radio."

"Ren... Gue makin khawatir sama lo. Are you okay? Lo nggak biasanya kayak gini nanggepin orang yang ribut sama lo. Darren yang gue kenal selalu cuek sama banyak hal dan nggak pedulian. Lo mesti akuin, sikap kasar lo itu efek minuman beralkohol. Dan artinya lagi lo udah nyalahin ketentuan kode etik siaran radio ini."

Darren berdecak, mulai lelah berdebat.

"Terus lo mau gue gimana? Gue nggak masalah kalau mesti di-cut."

"Ini nih attitude lo yang bikin orang kayak Hadis sebel sama lo. Gue jadi paham kenapa dia eneg sama kelakuan lo. Dia penyiar medioker yang ngarep dapat popularitas kayak lo yang rating programnya setara sama morning program yang selalu rame. Lo sok-sokan nggak butuh sama kerjaan lo. Anggap enteng profesi lo."

"Nggak usah nambahin bullshit deh, Ben... Dari awal lo juga tahu gue nggak segitu gila popularitas. Gue jadi penyiar di sini semata gue respek sama lo dan berusaha nggak ngecewain lo. Motivasi gue masuk SKART cuma lo, paham?"

Beni memijit pelipis kepalanya yang nyerinya makin bertambah. Sudah mentok menghadapi adik tingkatnya semasa kuliah yang keras kepala.

"Pokoknya lo tetep dapat sangsi. Kontrak sama sponsor mesti dipending dan sponsor ngajuin kontrak baru sama penyiar lain buat ngiklanin produk dia."

"Oke. Gue nggak masalah."

"Udah gue duga reaksi lo bakal kayak gitu. Lo nggak takut lo dihujat pendengar dan fans lo jadi nggak respek lagi sama lo?" tanya Beni kesal.

"Gue nggak peduli. Gue nggak makan duit mereka," ucap Darren yang kini bangkit dari kursi bersiap untuk pergi. "Sejak awal profesi gue bukan penyiar. Gue hidup dari bisnis gue sendiri." Darren menurunkan hoodie-nya hingga menutupi seluruh kepala, lalu memasang kacamata hitam, bersiap menghadapi segerombolan orang di bawah yang menuntut supaya Darren dipecat dari radio dan berhenti menjadi host program yang banyak digemari kaum wanita. Saat berjalan menuju kantor ini pun, Darren mengenali wajah-wajah yang memprotes. Sebelum-sebelumnya mereka sering datang ke kantor jaringan radio ini dengan mengatasnamakan sebagai fans Darren. Hanya karena peristiwa ribut beberapa malam lalu saja, status fans sudah sedemikian cepat berganti menjadi haters. Konsep fans memang hal paling absurd bagi Darren karenanya sejak awal ia memilih tidak memberikan fans itu kesempatan berinteraksi dengan dirinya. Semuanya toh sama saja. Pada akhirnya dirinya hanya akan dibenci.

***

Note:

Makasih yang udah sharing pengalaman kalian soal radio. Tanpa basa-basi mari kita lesgoo...

Met bacaa.... Mwahh

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang