Call #11 - Back To Business

1K 153 11
                                    

"Lo nggak biasanya, Ren..." Beni menatap laki-laki di hadapannya dengan penuh minat.

"Brandon. Udah gue bilang, kalau bukan di dalam lingkungan radio, jangan panggil gue dengan nama itu."

"Oke, oke. Brandon. Yah gue udah kebiasaan manggil lo pake nama itu, gue males gonta-ganti panggilan. Ribet."

"Yang bikin ribet lo sendiri. Dibilangin kalau mau ketemu gue jangan datang kemari. Lo tinggal hubungin gue atau janjian di tempat lain," protes Brandon sembari mengembuskan asap rokok. Saat ini ia terpaksa menerima kunjungan Beni dan mengajaknya menyendiri di satu sudut yang masih berada di gedung yang sama dan dikhususkan untuk perokok. Untuk datang kemari, Brandon mesti memastikan bahwa tidak banyak pasang mata yang mengawasinya bahkan termasuk karyawannya sendiri. Ia tidak ingin orang di sekitarnya tahu bahwa selain sebagai pemilik tempat ini, Brandon juga bekerja sebagai penyiar radio. Yah, meski saat ini ia tengah hiatus dan cuti sementara dari siaran rutinnya.

Beni mendengus, kemudian tertawa terkekeh. "Kadang lo lupa, dalam hal urusan radio, lo masih di bawah gue, kenapa juga gue harus nurutin maunya lo?"

"Nggak usah gila hormat. Jabatan lo nggak ada artinya di tempat gue."

"Masih angkuh kayak biasa. Yah, minimal lo baik-baik aja, nggak seperti rumor-rumor yang gue denger," seloroh Beni yang kini mematikan rokoknya, lalu kembali menaruh minat pada wajah Brandon.

"Kenapa lo ngelihatin gue segitunya? Emang ada rumor apa di kantor?"

"Maan, nggak bagus lo terus-terusan ngeles dari pertanyaan gue. Lo jawab pertanyaan gue, baru gue jawab rasa penasaran lo," tawar Beni. Brandon tidak mendebat dan memutuskan tidak mengelak. Ia hanya mengangkat bahunya sedikit seolah acuh tak acuh.

"Siapa cewek tadi? Lo kelihatannya dekat sama dia sampai kalian asyik berdebat terus kalian saling melempar senyum. Rasanya udah seabad gue nggak pernah lagi lihat lo senyum kayak tadi. Kenapa? Karena buat lo cewek tadi satu-satunya manusia dan kami semua ini makhluk alien?" sindir Beni.

"Jangan ngerasa cuma lo yang paling kenal sama gue. Gue nggak seberengsek itu sama nggak ada sama sekali orang yang bisa ngobrol normal sama gue. Cewek yang lo liat tadi cuma salah satu dari orang yang gue perlakukan normal. Dia gue hire buat ngelukis mural di ruangan yang nantinya gue peruntukkan buat anak-anak."

"Hmmm... sama karyawan yang lo hire di comic cafe lo perasaan juga lo nggak pernah senyum kayak tadi."

"Lo kira gue robot apa? Kalau gue senyum pun apa perlunya laporan sama lo?" Brandon menggeleng kesal.

"Dia masih single nggak?" tanya Beni lagi. Brandon pun melotot.

"Bukan urusan gue, tapi yang gue tahu dia perempuan yang udah punya anak."

"Well... gue mulai agak khawatir karena lo ngobrolnya akrab banget. Takutnya lo naksir istri orang."

"Tai lo..."

"Serius lo nggak tahu status dia? Menikah or cerai gitu?" cecar Beni yang makin membuat Brandon melotot. "Yah, at least kalau lo mau pekerjakan orang, lo mesti tahu orang kayak gimana yang kerja sama lo. Masak info sederhana gitu aja lo nggak tahu. Siapa tahu dia serial killer yang jadi buronan polisi. Emangnya lo nggak takut?" goda Beni yang sepertinya ia sangat menikmati membuat Brandon kesal.

"Gue lebih takut sama manusia kayak lo sih, jago banget bikin gue kesel yang malah berpotensi bikin gue jadi serial killer karena punya temen kepo kayak lo."

Beni pun terkekeh senang. Sesekali ia mengembuskan asap rokok sebelum akhirnya bicara dengan nada serius. "Gue cuma khawatir sama lo. Andai lo lebih welcome sama perempuan yang deketin lo, gue nggak sekhawatir ini. Gue berharap lo cepet move on dari Clarissa, tapi kayaknya harapan gue agak berlebihan ya."

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang