Call #8 - Kok Bisa?

1.1K 173 16
                                    

Jantungnya berdebar tidak beraturan. Giana merasa dirinya baru saja mendapatkan jackpot yang tidak terduga. Ia yakin seyakin-yakinnya, pria yang suaranya terdengar dari bilik sebelah adalah orang yang sama yang mengampu acara "Call Me When You're Single". Suara renyah sekaligus berat yang sama meski saat ini tidak ada keriangan dalam nada suara laki-laki itu. Namun, setelah beberapa saat, Giana mulai bingung dengan emosinya. Andai benar laki-laki itu memang Darren, sang penyiar, lalu apa? Apa dia bisa seenaknya menyapa dan mengaku fans Darren?

Giana teringat lagi percakapan yang bocor setelah siaran. Darren yang dituduh arogan karena tidak pernah menerima siapa pun tamu yang mengaku fansnya seolah dari awal fans adalah perwujudan hal yang tidak menyenangkan bagi laki-laki itu. Yah, kalau dia mengaku sebagai fans, besar kemungkinan Darren tidak akan membalas keramahan Giana. Hahh... apa yang harus dia lakukan?

Giana memijit kepalanya. Menyadari sejak menyandang status janda, dirinya menjadi lebih aneh dan tidak masuk akal. Jika orang lain tahu soal ini, mereka bisa saja menuduh Giana haus belaian lelaki sampai membuatnya nyaris menjadi penguntit.

"Oh iya, San... Sebelum lo pergi, tolong lo pasang pengumuman dan tempel di dekat kasir soal kita butuhin tenaga kerja part time," suara laki-laki itu kembali terdengar.

"Oke, Mas... Persyaratannya apa aja yang perlu ditulis?"

"Hmmm, cowok atau cewek, umur maksimal 27 tahun..."

"Maksimal 35 tahun!!!"

Giana tidak mengerti desakan apa yang membuatnya menyerukan hal yang paling tidak masuk akal. Mendadak kewarasannya menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan ketika tanpa berpikir panjang dirinya tiba-tiba menyahut percakapan antara dua orang itu dan menyebutkan kriteria yang sebenarnya bukan haknya untuk bicara. Efek terlalu excited bertemu dengan Darren dan juga terlalu takut untuk menyapa dan mengakui bahwa dirinya adalah penggemar membuat pikiran gilanya menjadi lebih mendominasi.

Baik pria itu dan salah satu staf yang bicara dengannya menatap Giana dengan pandangan heran. Di luar dugaan, sosok pria yang memiliki suara Darren terlihat lebih muda ketimbang apa yang Giana bayangkan. Rambutnya sedikit gondrong dan berkacamata. Meski tubuhnya tinggi tegap, dengan hoodie yang kebesaran pria itu sama sekali tidak terlihat sebagai pria metroseksual, sesuatu yang Giana bayangkan ketika membayangkan sosok seorang penyiar radio ternama. Namun, di luar dugaan, sekalipun pria itu memiliki hidung yang mancung dan kulit bersih, tatapan pria itu sangat tajam dan raut wajahnya tampak tidak bersahabat. Sesaat Giana menyesali kebodohannya.

"Maaf, Anda siapa ya?" tanya pria itu datar dengan tangan terlipat di dada.

Giana berniat mengucapkan maksudnya sampai ia menyadari sesosok mungil kini menarik tangannya dan memegangi bajunya. Diliriknya Glenn yang sudah terbangun dari tidur siangnya yang singkat. Wajah mengantuknya tampak lelah dan membutuhkan pelukan ibunya. Giana pun segera mengangkat tubuh putranya dan menggendongnya. Dalam hati ia menyesal, segala pikiran tentang Darren membuatnya lupa sama sekali dengan Glenn dan kenyataan bahwa yang ia prioritaskan adalah putranya, bukan emosi sesaat tentang pria yang hanya pernah ia dengar suaranya.

"Maaf, saya nggak bermaksud untuk nimbrung, tapi tadi saya sempat dengar kalian butuh staf part time. Maaf kalau lancang. Anggap saja kalian nggak mendengar hal yang barusan. Permisi." Dengan menahan malu, Giana pun membereskan laptop dan memasukkannya kembali ke tas, membawanya bersamaan dengan tas sekolah Glenn selagi menggendong putranya.

"Tunggu sebentar," panggil pria itu. Semakin didengar, suaranya semakin mirip penyiar itu. Giana hampir 90% yakin kalau pria ini memang Darren. "Tante," tambahnya lagi yang membuat Giana melebarkan matanya. Giana nyaris tidak percaya.

Tante? Apa menurutnya menambah sebutan "Tante" akan menjadikan hal itu lebih sopan? Tapi yah, mungkin di mata pria yang masih berusia dua puluhan, Giana yang menggendong anak empat tahun jelas akan terlihat seperti tante-tante. Giana menahan diri untuk tidak terlihat kesal.

"Ya?"

"Tadi Anda menyebut soal maksimal umur 35 tahun, apa... Anda berminat untuk melamar pekerjaan yang tadi saya bicarakan sama staf saya?"

Giana kebingungan. Sesaat tadi dirinya memang khilaf untuk menyebutkan umur maksimal hanya supaya orang seperti dirinya memiliki kesempatan untuk melamar (dan kesempatan untuk lebih dekat dengan Darren tentu saja), tapi jika ditanya secara spesifik apakah dirinya saat ini membutuhkan pekerjaan, Giana jelas tidak bisa menjawab. Secara keuangan, Giana tidak terlalu kepepet meski jelas ia harus berhemat di banyak pos dibandingkan saat suaminya masih hidup.

"Eh itu... Saya... Saya nggak tahu, tadi sesaat saya kepikiran untuk bisa kerja di tempat ini karena sepertinya saya menyukai tempat ini. Saya punya pekerjaan sampingan yang mengharuskan saya bisa fokus dan tempat ini lumayan membantu. Itu saja," jawab Giana yang meski tidak sepenuhnya jujur, tapi juga tidak sepenuhnya berbohong. Toh, motivasi yang membuatnya datang kemari karena suasananya sangat sepi dan tenang.

"Jadi, artinya Anda butuh pekerjaan kan?"

Giana berpikir kalau dirinya menolak, bisa jadi Darren akan menyebutnya tidak sopan. Giana pun mengangguk ragu dan pelan.

"Nama Anda?"

"Gi-Giana Farhani."

"Umur?"

"32 Tahun."

"Bisa pekerjaan administrasi? Menghitung, mengetik surat-surat, membuat laporan?" cecar pria gondrong itu. Tatapan matanya tidak setajam tadi, bahkan... sorot matanya sedikit melembut saat melihat ekspresi Glenn yang tertidur di gendongan Giana.

Giana mengangguk lagi. "Saya dulu pernah jadi staf di kantor arsitektur."

"Oke. Good. Ini kartu nama saya. Kalau Anda memang berminat melamar pekerjaan yang tadi saya bicarakan, silakan besok datang untuk interview lanjutan. Jangan lupa bawa CV." Pria itu tersenyum mengulurkan kertas kartu nama dan menepuk lembut punggung Glenn sebelum akhirnya pergi meninggalkan Giana. Giana sedikit terpana dengan situasi yang agak tidak terduga ini. Dilihatnya kartu nama yang baru ia terima. Saat itu pelipisnya mengernyit. Nama yang tertera di kartu nama ini... Bukan Darren.

Brandon Dewangga.

Kok... bisa?

***

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang