Call #13 - Stiff Man

1K 150 13
                                    

"Proyektor? Proyektor OHP yang dipakai dosen buat ngajar kuliah jaman dulu?" tanya Brandon saat Giana memberi tahu bahwa ada benda yang sangat ia butuhkan. Saat ini keduanya tengah makan siang di kedai soto betawi yang tidak jauh dari mobil Gori yang terparkir semula. Baik Gori dan Brandon tiba hampir bersamaan. Setelah Brandon puas mengomeli Gori karena membiarkan Giana menunggu terlalu lama, Gori diminta kembali lebih dulu dan menaruh barang-barang yang dibeli di gedung tempat mural akan dikerjakan.

Giana mengangguk sembari menaburkan lada bubuk di atas sotonya dan mencomot kerupuk kalengan lalu mengunyahnya dengan suara kriuk-kriuk yang lumayan keras. "Tadinya aku berpikir akan membuat sketsa langsung, tapi setelah aku pikir lagi, aku nggak ingin membuang waktu kalau-kalau sketsaku berantakan, jadi aku putusin untuk membuat sketsa seakurat mungkin dia rancangan awalku. Proyektor itu bakal membantu pekerjaanku nanti." Giana menjelaskan dengan teliti karena sejujurnya ia belum pernah mencoba memakai proyektor semacam itu dalam karya muralnya dulu, tapi beberapa rekannya mengaku cukup terbantu dengan alat itu ketika membuat sketsa awal. Jika menggunakan itu bisa menyingkat waktu kerja, itu akan lebih bagus.

"Oke. Harusnya nggak susah. Lalu, apa kamu nanti akan menggambar di atas kertas transparan?"

"Hanya sketsa dasarnya. Karena karakter-karakter yang kugambar agak sulit di detail, cara ini kurasa lebih efektif dilakukan."

"Oke. Nggak masalah... ehm, ngomong-ngomong, apa kamu nggak ada masalah dengan proyek mural ini? Gimana sama anakmu?" Brandon bertanya dengan nada sedikit sungkan. "Ma-maksudku... Apa dia nggak masalah kalau ditinggal sedikit lama dibandingkan biasanya. Karena... kamu dulu bilang kalau biasanya kamu kerja saat malam hari. Aku juga mau memastikan kalau nggak ada keluargamu yang nggak setuju kamu melukis mural di tempatku. Suamimu mungkin..."

"Aku nggak punya suami," tukas Giana dengan cepat. Ia memahami arah percakapan Brandon.

"O-oke... Jadi kamu... single mother?"

"Begitulah. Soal anakku kamu nggak usah khawatir. Sekolah playgroup zaman sekarang juga menyediakan fasilitas penitipan anak. Glenn senang karena dia bisa main lebih lama sama teman-temannya. Dia juga bisa tidur siang selagi menunggu untuk dijemput." Giana sebisa mungkin mengucapkan hal itu seringan mungkin meski yang sebenarnya Glenn saat ini bersama dengan neneknya karena ibu Tristan itu tidak mau Glenn dititipkan terlalu lama di sekolah anak. Tidak peduli apa, Bu Rimar akan selalu menentang apapun yang menjadi keputusan Giana dan terus mencari celah untuk menyalahkan menantunya. Sebelum akhirnya Giana memutuskan kembali ke rumah orangtuanya, Giana ingin menyelesaikan semua urusan di Jakarta, termasuk membiarkan anaknya bercengkerama dengan neneknya di sini untuk terakhir kalinya. Setidaknya itu ia pikirkan.

"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi sama suamimu? Kalian bercerai?"

Giana menggeleng. "Dia belum lama meninggal."

"Oh... Aku turut berduka."

"Makasih. Ngomong-ngomong mangkok soto kamu udah kosong. Yakin nggak mau nambah?" tanya Giana, mencoba mengalihkan percakapan.

"Nggak lah. Aku nggak selapar itu. Nggak kayak kamu yang sampai makan dua mangkok. Yakin nggak perlu nambah mangkok ketiga?" Nada suara Brandon terdengar mengejek. Sedikit membuat Giana merasa tenang karena Brandon tidak sekaku yang ia perkirakan karena jika laki-laki ini bisa bercanda, artinya dia cukup nyaman untuk ngobrol dengan Giana.

"Maunya begitu, tapi aku belum cukup kurang ajar buat nyuruh bosku buat traktir tiga mangkok soto."

"Kamu mau makan berapa mangkok lagi juga tetep aku bayarin, dan itu di luar bayaran kamu. Tenang aja."

"Oke. Kalau gitu, aku bakal minta yang lebih dari sekadar soto. Gimana?"

Lagi-lagi Brandon terlihat agak ragu-ragu. Giana mengira sepertinya laki-laki itu salah paham lagi. "Ya ampun, nggak usah segitu kagetnya sampai pasang muka terperanjat begitu. Aku nggak lagi ngajak kamu kencan. Maksudku, next time kita makan bareng, aku bakal minta yang lebih mahal dari soto..." Ralat Giana.

"Sebentar, kenapa nada bicaramu seolah kamu kira aku risi kalau-kalau kamu bertingkah genit sama aku? Mungkin ini cuma perasaanku, tapi sepertinya kamu bersikap terlalu hati-hati sama aku, benar?" Pertanyaan Brandon sedikit membuat Giana gamang. Ia seperti sedang tertangkap basah melakukan hal yang tidak seharusnya.

"Bukannya memang begitu?" Giana tidak bisa mengelak lagi.

"Kenapa kamu mikir begitu?"

"Karena kayaknya kamu nggak nyaman kalau percakapan kita jadi kelewat akrab. Like... ekspresi kamu jadi berubah nggak nyaman dan senyum kamu lenyap. Aku menangkap kamu nggak terlalu suka perhatian yang berlebihan."

"Sejelas itu kamu bisa lihat? Damn, kenapa orang lain nggak ada yang sepeka kamu..."

"Jadi, asumsiku ini benar? Kalau begitu kenapa kamu protes?" protes Giana.

"Aku nggak protes," seru Brandon membela diri. "Aku cuma sedang menebak-nebak ke mana arah percakapan kamu dan karena itu aku nggak nyadar ekspresiku berubah. Nggak, aku nggak lagi menilai kamu lagi genit sama aku atau nggak. Itu cuma reaksi bawah sadarku jika mendengar kalimat yang ambigu apakah itu ajakan serius atau sebuah keisengan. Yang perlu kamu tahu... Aku nggak terlalu nyaman dengan hal-hal yang mengarah 'flirty' kamu paham kan?"

"I'm not trying to be flirty with you. Kamu bisa tenang. Karena kita sudah terlanjur bicara banyak, aku cuma mau kita bicara dengan nyaman. Sebisa mungkin aku nggak akan mengucapkan hal yang bikin kamu nggak nyaman."

"Thanks, tapi kamu nggak perlu sehati-hati itu. Aku bukan barang yang serapuh itu."

"Oh, aku juga nggak akan pegang-pegang kamu kalau kamu nggak nyaman," goda Giana tersenyum nakal dan mengangkat kedua tangannya.

"Stop it." Bisik Brandon dengan suaranya yang dalam. Brandon tertawa lebar sembari menggeleng. Melihat senyum itu mau tidak mau Giana sedikit tersentak dengan kenyataan bahwa di luar apa yang ia janjikan pada Brandon, hatinya semakin tidak tenang. Brandon memiliki pesona yang akan sulit ditolak Giana. Suara yang menawan. Ditambah wajahnya yang berbanding lurus dengan suara seksinya. Jelas akan sulit menahan diri jika pria seperti itu merayunya karena secara alami Brandon memiliki senjata paling mematikan. Entah Giana harus sedih atau bersyukur bahwa pria seperti Brandon bukan tipe yang genit dan perayu.

"Asal kamu nggak menggunakan suaramu untuk merayu, aku bakal baik-baik saja."

Saat itu suasana hening merebak sesaat setelah Giana melontarkan itu. Giana hampir tidak bisa mempercayai apa yang ia ucapkan. Seolah ia baru saja menyuarakan isi hatinya keras-keras. Hanya saja, yang baru saja terucap bukan lagi suara hati, melainkan suara mulutnya sendiri. SHIT.

"A-apa?"

Seperti yang Giana duga. Ekspresi Brandon kembali berubah. Namun, sepertinya Brandon juga berhati-hati untuk tidak terang-terangan memperlihatkan sikap tidak nyaman.

"Itu pujian. Harus aku akui kamu punya suara yang bagus dan enak didengar. Oh, ngomong-ngomong soal suara, kamu nggak kepengen ganti profesi jadi penyiar? Taruhan, kamu bakal menaklukkan hati wanita dengan suaramu..." Giana mencoba bersikap sewajar mungkin. Ia bahkan mengunyah sate kerang dengan lahap hanya supaya Brandon tidak mengira Giana sedang menggodanya karena saat ini dirinya tidak sedang memamerkan sikap feminin yang menggoda.

"I-itu... Aku nggak pernah kepikiran soal itu," ucap Brandon dengan sorot matanya menghindari tatapan Giana.

Giana menyadari sikap Brandon barusan. Apa itu? Apa artinya Brandon tidak berkata jujur? Seketika Giana menegakkan tubuhnya. Harapannya melesat seketika. Harapan bahwa memang benar Brandon adalah Darren yang disukainya. Jadi, masih ada kemungkinan kalau nama Darren adalah nama samaran dari seseorang yang ingin menyembunyikan identitas aslinya.

"Ini cuma saran. Jangan dianggap serius..."

Giana jelas tidak bisa kabur dari suasana canggung dan hening ini, tapi setidaknya ia merasa bersemangat. Jika benar Brandon adalah Darren, setidaknya ia seperti mendapatkan jackpot. Tahu wajah asli Darren sekaligus cukup dekat untuk bekerja di dekatnya. Setidaknya ini akan jadi kado perpisahan yang indah sebelum Giana meninggalkan Jakarta.

***

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang