Call Me When You're Single

Call #1 - Karma dalam Dilema

"Back with me with your precious radio DJ di segmen Call Me When You're Single. Again, guys... Gue nggak bermaksud bikin kalian semua takut sama komitmen ataupun pernikahan, tapi gue ngerasa harus banget bikin lo lo semua berpikir panjang buat mengikatkan diri pada institusi yang lo sebut pernikahan dan segala tetek bengeknya. Kayak gue dan pendengar yang udah memberanikan diri sharing pengalaman kegagalan pernikahan mereka nggak pengen kalian bernasib sama dengan mereka-mereka ini. Yah, meski artinya kalau kalian gagal menikah dan balik jadi single artinya lo jadi target market siaran gue dan jadi pendengar setia program gue, gue sih nggak bakal nolak rejeki. Untill then, stay away from my radio show kalau kalian nggak mau jadi parnoan. Karena apa? Lo butuh tetap waras dan happy buat jalanin komitmen rumah tangga. Tapi tetep catet nomor telepon gue ya. Call me when you're single. Bareng gue Darren Gustaf, gue pamit undur diri. Sampai ketemu Sabtu depan di jam yang sama. Mwah!"

Suara penyiar radio pun perlahan tenggelam oleh lagu jingle program radio yang sedang berlangsung, dilanjutkan dengan lagu hits dari Sam Smith berjudul Unholy. Lagu yang memiliki lirik eksplisit ini barangkali akan sangat relate dengan para perempuan di luar sana yang bersenang-senang dengan memanfaatkan suami orang lain. Setidaknya itu lah yang ada di kepala Giana saat mendengarnya dengan mata setengah terpejam. Minggu lalu ia bahkan tidak membayangkan akan berada di posisi yang membuatnya seolah berjalan dengan satu kaki. Pincang. Sendirian.

Seminggu berlalu sejak peristiwa yang mengguncangkan semestanya. Suami yang selama ini dicintainya tertangkap basah sedang selingkuh dan masih sempat membohongi istrinya sendiri tepat sebelum lelaki itu mengembuskan napas terakhirnya. Bayangkan ketika kau memiliki kemarahan yang meluap-luap seperti bendungan nyaris jebol, tapi seketika harus menelan kembali amarahmu karena target kemarahanmu tidak dalam kondisi bisa melawan argumenmu alias pergi untuk selamanya. Malam itu Giana masih mengingat jelas lirih suara perempuan itu yang meneleponnya kembali sesaat setelah suaminya menutup sepihak percakapan mereka di telepon.

"Maaf, Mbak... Saya nggak tahu mesti telepon siapa lagi. Mas Tristan... Sudah nggak bernapas."

Ada begitu banyak emosi yang ditahannya, tapi seketika Giana harus tunduk pada situasi bahwa dirinya dan putra satu-satunya akan sendirian menghadapi dunia. Suaminya tidak lagi punya daya untuk bertengkar dengan istrinya, apalagi meributkan masalah hak asuh anak andai mereka bercerai. Kini, kata "bercerai" sendiri terdengar begitu mewah di telinga Giana. Tuhan tidak lagi memberinya pilihan untuk menceraikan suaminya yang ternyata tukang selingkuh atau terus mempertahankan rumah tangga demi anak. Tuhan hanya punya satu vonis untuk Giana. Menjadi janda yang ditinggal mati suaminya.

Selama hari-hari berkabung ia harus mengenakan topeng sebagai istri yang baik dan penurut. Menyelenggarakan prosesi pemakaman suaminya, menyambut tamu-tamu yang mengucapkan turut berduka cita dan terutama memperlakukan keluarga suaminya yang begitu mendewakan suaminya seolah kematian lelaki itu adalah andil istrinya yang sempat bertengkar di telepon. Mengabaikan kenyataan bahwa jasad suaminya lebih dulu ditemukan wanita selingkuhannya yang berada di kamar hotel yang sama. Lucunya, wanita itu terlalu pengecut untuk mengakui perbuatan mereka dan kini dia menghilang entah ke mana tanpa bisa dihubungi lagi setelah memberi kesaksian pada pihak berwenang bahwa sebelum kematian Tristan, laki-laki itu sempat meminum alkohol dan juga obat kuat untuk menunjang performanya di ranjang. Setelah membuktikan kesaksian wanita itu cocok dengan keadaan jasad suaminya, entah bagaimana wanita itu kini seolah raib ditelan bumi.

Satu hal yang paling melelahkan adalah Ibu Tristan terus-terusan menutup-nutupi penyebab kematian suaminya. Seolah tidak ingin menanggung malu, Ibu memilih untuk mengkambinghitamkan Giana untuk hal yang menimpa Tristan.