Call #3 - Duri yang Menancap

1.6K 198 19
                                    

Seharusnya Giana merasa bahagia pagi ini. Ilustrasi karyanya yang dibeli dengan harga cukup mahal untuk proyek buku anak berkebutuhan khusus sudah resmi terbit. Beberapa eksemplar bukti terbitnya sudah terpampang nyata di hadapannya. Di antara proyek ilustrasi yang ia kerjakan, barangkali proyek ini lah yang Giana anggap paling melelahkan sekaligus paling menguntungkan. Selain itu, di halaman depan namanya tertera dengan sangat jelas berdampingan dengan nama penulisnya. Sesuatu yang sangat membanggakan untuknya. Namun, saat ini pikirannya teramat kosong. Kepada siapa ia bisa membanggakan pencapaiannya? Untuk apa semua pencapaian ini jika kini hidupnya tidak lebih dari seonggok ular sekarat yang hanya sendirian di dalam hutan?

Giana selalu merasa bangga dengan karyanya, itu tidak dipungkiri. Dan baru kali ini namanya kini banyak dipertimbangkan sebagai ilustrator profesional. Konsisten menjadi ilustrator khusus buku anak butuh effort yang luar biasa. Membuatnya harus berjibaku dengan karya-karyanya di saat Glenn, putranya lelap tertidur. Membuat kepala berada di kaki dan kaki di atas kepala. Memaksa siangnya menjadi malam dan begitu pun sebaliknya. Sampai akhirnya Giana menyadari harga yang harus dibayar untuk pencapaiannya adalah kehidupan yang minim interaksi sosial selain dengan suami dan anak.

Bukannya Giana tidak suka bergaul. Jika sudah asyik mengobrol dengan kawan, Giana tahu ia akan kesulitan menghentikannya. Kalau sudah begitu, Giana tidak bisa memenuhi tenggat pekerjaannya. Kesibukannya di rumah sudah cukup menyita waktunya ditambah menjadi ilustrator buku anak. Tanpa sadar setelah pukulan yang ia terima dalam kehidupan rumah tangganya, Giana menyadari ia tidak punya teman dekat untuk berbagi. Selain kerabat dan para keponakan yang juga memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya untuk berbagi tawa, praktis tidak ada yang bisa diajak bertukar keluh kesah.

Semua orang cukup bersimpati pada kepedihannya, tapi tidak cukup berbesar hati untuk benar-benar memberikan penghiburan untuk Giana. Kecuali Lingga. Namun, sampai kapan pun Giana tidak pernah menganggap Lingga sebagai temannya. Sekalipun Lingga bersungguh-sungguh menyampaikan duka cita sekaligus memberikan dukungan moralnya, bagi Giana, Lingga hanyalah bagian dari masa lalunya yang sudah selesai. Sampai detik ini, Lingga masih sering mengirimkan pesan, menghujani Giana dengan kiriman-kiriman hadiah dan kue, terlebih beberapa mainan untuk Glenn. Giana sempat menolak, tapi Lingga cukup pintar untuk memanfaatkan kondisi Glenn yang sekarang tak punya ayah untuk menerima semua perhatian Lingga yang masih saudara sepupu almarhum ayahnya. Bahkan ibu mertua pun tidak keberatan dengan semua perhatian Lingga untuk Glenn. Semua tidak pernah mempermasalahkan kehadiran Lingga, kecuali Giana seorang.

"Nggak perlu juga menolak hadiah-hadiah dari Lingga. Justru saat ini Glenn butuh sosok seperti ayah yang bisa diandalkan. Untung ada Lingga yang selalu perhatian sama Glenn, coba kalau nggak ada? Cucuku bakal kesepian," ucap Bu Rimar yang terus-menerus memuji Lingga. Saat ini ibu mertua Giana itu sibuk membereskan mainan-mainan Glenn yang berserakan. Untuk ke sekian kalinya, Giana terpaksa menerima kehadiran ibu Tristan setiap malam di rumahnya. Akan lebih mudah kalau Ibu hanya datang dan melakukan hal-hal yang selalu dilakukannya tiap kali berkunjung meski Giana tidak membutuhkan semua itu dan berhenti mengatur-atur hidup Giana. Dengan segala kebohongan yang dikarang Bu Rimar, Giana menyerah dengan apa pun yang dilakukan mertuanya. Ia seperti tidak punya daya untuk mendapatkan kembali kebebasannya. Lingga yang pernah sakit hati di masa lalu tidak mungkin berbuat sebaik ini untuk meraih perhatian Glenn. Justru lebih masuk akal kalau Bu Rimar sendiri yang menyuruh Lingga menghujani Glenn dengan seabrek mainan dan hadiah.

"Nggak ada gunanya semua perhatian itu, Bu... Aku sudah memutuskan akan kembali ke rumah Bapak dan Ibu di Solo. Membuat Glenn dekat dengan Lingga cuma akan membuat Glenn sulit meninggalkan rumah ini."

Bu Rimar pun menghentikan aktivitasnya saat membereskan mainan. Ia tampak tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan Giana.

"Kenapa kamu tega misahin Ibu sama cucunya sendiri? Kamu nggak mau anakmu lebih dekat sama neneknya ketimbang sama ibunya?" suara Bu Rimar terdengar begitu sengit di telinga Giana. Memaksa Giana untuk menghela napas lebih panjang.

"Maksud Ibu apa? Siapa yang mau misahin kalian? Kalau Ibu kangen Ibu kan bisa main ke Solo."

"Ke Solo? Kamu pikir jarak sini ke Solo bisa lebih dekat ketimbang Jakarta Timur sama Barat? Padahal kalau kamu sibuk kerja pun kamu bisa nitipin Glenn sama Ibu, kok bisa jauh-jauh mau tinggal di Solo segala," sungut Bu Rimar.

"Kenapa Ibu marah? Toh di Solo, Glenn nggak akan kesepian. Ada kakek dan neneknya yang juga orangtuaku. Ada pamannya yang bakal sering ngajak main. Ibu juga nggak perlu repot-repot minta antar Lingga untuk datang ke rumah ini lagi."

"Ya itu berarti kamu mau misahin Ibu sama cucuku sendiri. Kalau kamu nggak bisa ngurus Glenn, Ibu mau diserahin tanggung jawab untuk membesarkan dia. Nggak perlu kamu nyerahin anakmu itu ke orangtuamu."

Giana sudah tidak sanggup lagi menahan diri. Makin lama omongan ibu mertuanya makin tidak enak didengar. "Yang nggak bisa ngurus Glenn itu siapa sih, Bu? Dari dulu juga aku lebih banyak sama anakku ketimbang bekerja. Kerjaanku itu menggambar dan melukis ilustrasi dan seringnya aku ngelakuin itu tengah malam pas Glenn udah tidur. Siangnya Glenn selalu sama aku, kenapa Ibu bisa-bisanya nuduh aku nggak bisa ngurus Glenn lagi?"

Bu Rimar mendengus, "Kayaknya bukan begitu yang diceritain Tristan soal kamu."

Mendengar itu, Giana meraih rambutnya dengan kesepuluh jarinya. Makin frustrasi. "Oke. Jadi Ibu lebih memilih percaya omongan Tristan dibandingkan apa yang nyata? Tristan yang selalu bohong. Tristan yang mengaku meeting sama klien di malam dia selingkuh dan mati kena serangan jantung?"

"Giana!"

"Oh dan kebetulan sekali Tristan itu anakmu. Ibu yang baik dan selalu bicara jujur di depan keluarga dan kolega. Ibu dengar sendiri kesaksian selingkuhan Tristan yang mengaku mereka sudah selingkuh sejak tahun lalu dan selalu ketemu setiap dua minggu. Meski Ibu sudah tahu apa penyebab kematian Tristan, tapi tetap Ibu memilih untuk membuatku jadi kambing hitam demi melindungi reputasi Tristan. Sempurna sekali kalian ibu dan anak."

Detik setelah Giana selesai mengatakan itu, ia merasakan pipinya panas karena tamparan yang sangat keras. Tangannya gemetaran saat meraba permukaan pipinya yang kebas. Namun, dibandingkan tamparan ini, apa yang menjalar di hatinya masih jauh lebih sakit dan menikamnya tak henti-henti.

"Kalau punya istri durhaka sepertimu, nggak heran kalau Tristan sampai selingkuh!" seru Bu Rimar dengan teriakan yang cukup keras hingga membangkitkan rasa ingin tahu tetangga. Wanita itu pun meraih tas tangannya dan berjalan keluar dari rumah. Seharusnya, Lingga akan menjemputnya sebentar lagi untuk mengantar pulang beliau, tapi Giana tidak cukup peduli untuk menelepon laki-laki itu. Kemarahan yang tertumpuk dan membukit di benaknya sejak hari kematian Tristan tidak sanggup dibendungnya lagi. Bu Rimar pulang naik apa adalah hal terakhir yang ia khawatirkan. Memang itu terdengar jahat dan terkesan tidak bertanggung jawab. Namun, saat ini Giana tidak tahu lagi harus bagaimana bersikap. Jika menjadi istri yang baik dan menantu yang penurut tidak membuatnya lebih bahagia, untuk apa semua label itu dipertahankan?

***


Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang