❄❄❄
Hikari tidak mengerti. Hari itu masihlah gelap belum ada tanda-tanda matahari pagi muncul begitu pula suara kokok ayam.
Anak gadisnya, mendobrak pintu kamar menerjangnya yang masih setengah sadar dengan seragam basah kuyup dan linangan air mata.Yang bisa dia lakukan hanya memeluk dan mengusap punggung bergetar itu tanpa banyak bertanya. Membiarkannya menumpahkan segala emosi.
"Aku tidak berhasil Bu, aku membiarkannya mati mengenaskan. Aku--aku," wajahnya terbenam kembali menyisakan tanda tanya bagi sang ibu. "Seandainya waktu berpihak padaku, dia pasti selamat ... temanku, jika saja aku lebih berani untuk berbicara langsung dengannya, tapi aku--aku sungguh pengecut, hiks.... "
Gemas dengan tingkah membingungkan putrinya, Hikari melerai pelukan mereka. Setidaknya ia harus bisa memberi kalimat penenang jika Hinata belum mampu bercerita saat ini.
"Dengar sayangku. Ibu tidak tahu, setidaknya belum, entah apa yang kau bicarakan saat ini. Tapi ibu yakin kau adalah gadis yang sangat pemberani. Asal kau tahu, namamu ibu ambil dari seseorang yang pernah ibu temui dulu, namanya juga Hinata. Kau pasti punya keberanian melebihi dirinya.
Apapun hasil dari sesuatu yang sekiranya telah kau perjuangkan, ibu yakin itu pasti yang terbaik. Percayalah."Rasanya ... hanya dengan berbagi pada ibu, duka lara Hinata sedikit terobati.
.
.
.
.
Suasana hati yg buruk, wajah tertekuk sedih, lontaran kata-kata pedas adalah hal yang merepresentasikan Hinata saat ini.
Bukan tanpa alasan. Kepergiannya ke masa lalu yang tak berhasil menyelamatkan Naruto, ditinggalkan Ametis, membuatnya didera rasa bersalah.
Apa ada cara lain yang bisa dia lakukan untuk kembali ke masa itu lagi dan mencegah semuanya terjadi?Dalam kebingungannya ia jadi berandai-andai.
Seandainya saja Itachi berpisah baik-baik dengan Lady Hinata, seandainya saja Lord Fugaku tidak mengetahui hubungan rahasia Duke Naruto dan Lady Hinata maka semua tidak akan pelik seperti ini.
Tidak akan ada pula Inspektur Polisi yang mengejar-ngejar mereka berdua, dan pastinya ... tidak akan ada hukuman gantung di alun-alun kota bagi Duke Naruto.Ya tuhan. Hinata rasanya ingin menangis lagi. Berguling-guling demi melampiaskan rasa frustasi.
Segala apapun yang kini ada di sekitarnya ia abaikan begitu saja.
.❄.
Di kelas, suasana hatinya masihlah buruk.
Netra serupa sepuhan perak itu menatap kosong pada majalah yang terbuka di hadapannya. Hiruk pikuk disekitarnya bagai dengungan lebah pencari nektar. Matanya sedikit membengkak akibat terlalu banyak menangis hari itu.
Raganya memang tinggal. Namun, pikirannya tak terhubung bagai benang kusut yang tak mampu di uraikan.Telapak tangan besar yang berada di puncak kepalanya, membuat gadis itu tersentak.
Dia mendongak, demi menatap si empunya tangan.
Ah, si Pangeran Es rupanya. Julukan yang tersemat pada pemuda yang kini menatapnya teduh.Lantas dia berdiri seraya diikuti sang pemuda.
"Jadi ... apa jawabanmu, Darling?"
Kebisuanlah yang mengambil alih. Keberadaan mereka berdua di depan kelas menyedot seluruh atensi berpasang mata yang memandang.
Kini, terjawab sudah segala rasa campur aduk yang selama ini Hinata rasakan pada pemuda berhelaian hitam jelaga itu."Jawabanku?" ulangnya.
Seisi kelas mendadak hening. Penasaran atas jawaban yang hendak di lontarkan si gadis ayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epic Ending ✔️ [REVISI] || NaruHina
Fanfiction[ Sedang dalam tahap REVISI ] Hinata tidak bisa mendeskripsikan hal aneh apa yang terkadang ia alami beberapa hari ini Itu hanya mimpi 'kan? Tapi mengapa terasa nyata? Dan kenapa pula ia harus repot-repot ikut terlibat dalam skandal percintaan orang...