Usai memastikan taksi yang di tumpangi Anis dan Yuda menjauh, ke empat lelaki itu pun beranjak masuk ke dalam rumah. Tyo langsung menuju kamar yang di tempatinya selama menginap di rumah Jonathan untuk kembali memastikan tidak ada barang yang akan tertinggal. Beberapa jam lagi giliran dirinya yang akan ke Bandara.
Jonathan masuk tidak lama kemudian, memperhatikan temannya yang sedang merapikan kopernya. "Udah semua? nggak ada yang ketinggalan?" tanya Jonathan untuk memastikan kembali.
"Nggak ada sih kayaknya. Kalau ada, ya tinggal nyuruh lo bawain nanti." Jawabnya enteng.
Tyo melirik temannya itu yang kini merebahkan dirinya di atas ranjang. Lelaki itu menatap langit-langit seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kenapa lo? galau ditinggal Anis?"
Jonathan mendengus. "Pake nanya lagi."
Tyo tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Kasian." Ledeknya. "Jadi, sekarang udah nggak denial lagi?"
"Gue bahkan udah confess ke dia soal perasaan gue."
Tyo menaikan kedua alisnya. Berbalik sepenuhnya untuk menatap Jonathan, tertarik dengan pembicaraan ini. "Berarti udah jadian, nih?" tetapi Jonathan menggeleng membuat kedua alis Tyo kini bertaut bingung. "Kenapa? Lo di tolak?" tanyanya, meminta penjelasan.
"Kita sepakat untuk nggak jalin hubungan. Lebih tepatnya sih gue yang belum bisa, gue minta waktu buat selesai sama masa lalu gue dulu sebelum kita mutusin buat pacaran."
"Terus, Anis setuju?"
Jonathan mengangguk. Dia menoleh ke arah Tyo dan mendapati temannya itu tengah menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa? Keputusan gue salah?" tanyanya kala tak mendapati respon apapun dari Tyo.
"Lo sadar kan artinya lo gantungin anak orang?"
"Jelas sadar. Tapi gue juga nggak punya pilihan. Gue nggak mau bawa Anis masuk ke dalam hidup gue yang masih berantakan. Gue butuh sembuh dulu dari trauma yang gue punya. Gue juga harus bener-bener mastiin kalau gue udah bisa relain Luna sebelum gue nerima orang baru lagi dalam hidup gue."
Tyo menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatap Jonathan dengan pandangan yang sulit lelaki itu artikan. Jonathan akhirnya bangun dari tidurannya dan mendudukan dirinya untuk menghadap ke arah Tyo sepenuhnya.
"Sebenernya yang belum lo relain itu orangnya atau kenangannya?" pertanyaan Tyo menyentak kesadaran Jonathan. Untuk beberapa saat lelaki itu terpaku tak mampu menjawab. "Lo nggak akan pernah bisa ikhlas sampai kapan pun kalau lo masih terus terjebak sama kenangannya. Melepaskan itu cuma perkara ikhlas aja. Gimana caranya? lepasin rasa bersalah yang ada di diri lo. Menyesal silahkan, tapi jangan berlarut. Jadiin itu sebagai pelajaran hidup buat lo. Setelahnya lo bisa melangkah maju.
Untuk trauma lo, beberapa orang suka kalau dirinya dilibatkan dalam segala kehidupan orang yang dia sayang. Begitu pun dengan Anis, gue rasa. Dia setuju sama keputusan lo mungkin bukan karena dia mau biarin lo sembuh sendirian, tapi itu cara dia menghargai keputusan lo. Gue kalau ada di posisi Anis, ketika gue tahu pasangan gue punya trauma gue mau ada di samping dia, berdiri nemenin dia buat lewatin semua ketakutannya. Gue mau jadi kekuatannya buat bertahan, nyediain bahu saat dia lagi sedih, ngulurin tangan ketika dia mulai jatuh lagi. Gue nggak akan pernah mau jauh dari dia, karena gue mau mastiin dia selalu baik-baik aja. Dan gue yakin Anis pun mau ada di posisi itu sama lo."
Tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulut Jonathan. Lelaki itu terdiam tak tahu ingin merespon apa. Tyo menatap temannya itu sebelum akhirnya dia menghela napas. Tyo tidak tahu apa yang tengah dipikirkan lelaki tinggi itu. Mungkin dia mulai menyesali keputusannya atau entahlah. Tyo tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan & Kamu | Johnny Suh (On Going)
Romance"Eh, Ren. Menurut lo bang Jo tuh mestinya cari pacar lagi nggak sih? Biar nggak galau terus." "Ya menurut lo aja. Masih belum move on gitu gimana dia bisa nerima orang baru?" "Iya sih."