1: my neighbor

4.6K 351 74
                                    

"Lea, bukankah seharusnya kamu membereskan barang-barangmu dan melihat kamar barumu?"

Lea menghela nafas keras, baru saja ia mendaratkan bokongnya di sofa, suara Ibunya menyadarkan Lea untuk segera beres-beres. Tidakkah Ibunya ini merasa lelah setelah melewati perjalanan yang sangat jauh dan lihat! ia malah mengangkati barang-barang. Dan sekeang, Lea merasa bokongnya bertambah rata karena terlalu lama duduk di pesawat.

Poor my day! Batin Lea dalam hati.

Ia meniup anak rambut yang menghalangi wajahnya dan berjalan gontai keluar dari rumah yang baru saja ia tempati beberapa menit yang lalu.

Lea menyenderkan tubuhnya diambang pintu masuk sambil memperhatikan kedua orangtuanya yang tengah mengangkat barang-barang yang dibantu oleh sang pengangkut barang.

Lea jadi teringat ketika Ayahnya mengumumkan akan kepindahan mereka.

Saat itu, mereka sedang berkumpul— hal yang biasa mereka lakukan setelah makan malam, Ayahnya memberitahu mereka tentang kepindahannya beberapa bulan lagi, mereka akan pindah meninggalkan California.

Di usia Lea yang kini sudah menginjak empat belas tahun, ini sudah keempat kali nya ia dan keluarga pindah rumah. Tentu saja Lea sudah mengeluarkan puppy eyes-nya dan 1001 cara lain yang biasanya dapat membuat orang tuanya luluh.

Ayahnya menoleh menatap Lea, lalu ia tersenyum dan menghampiri anaknya tersebut. "Tidak ingin berkenalan dengan tetangga baru?" tanya Ian, Ayah Lea sambil merangkul bahunya.

Lea hanya menggeleng malas, ia membenci lingkungan baru. Yang mengharuskan Lea menyesuaikan diri dengan sekitar dan mencari teman baru. Apa Lea sudah mengatakan, ia bukan termasuk orang yang mudah berbaur?

"LEAA, TOLONG LEPASKAN KUNCIRAN MENYEBALKAN INI. AKU TIDAK BISA MELAKUKANYA, RAMBUT KU AKAN RUSAK, AWW." teriak seseorang dari teras rumah, Lea menggeram kesal. Kenapa semua orang begitu menyebalkan hari ini? Memang nya tidak ada orang lain selain dirinya di rumah ini?

Ayahnya terkekeh sambil mengacak-acak rambut Lea, menyuruhnya membantu Emily— Adik Lea.

Lea berjalan ke teras rumah sambil mengacak-acak rambutnya yang ia ikat dengan gaya pony tail yang tentu saja sudah berantakan. Ketika Lea baru saja sampai, terlihat Emily sedang kesusahan membuka ikatan rambut nya hingga rambut Emily acak-acakan. Lea menghela nafas keras, namun tetap menghampiri Adiknya yang masih berumur enam tahun, tapi sudah banyak ulah dan bertingkah seperti orang dewasa, bahkan tidak tanggung-tanggung ia memakai lipstick Ibunya.

"Sini, biar aku bantu."

Emily tertawa geli, sejahat-jahatnya Lea, ia tidak bisa membuat Emily menangis. Karena resiko nya, ia akan mendapat omelan dari Ibunya yang jika sudah mengomel, akan panjang lebar bak kereta.

"Selesai."

"Terimakasih, i love you," ujar Emily kemudian berlari menghampiri Ayahnya yang kini sedang membereskan barang-barang mereka.

"I hate you too, really," guman Lea yang kemudian segera bangkit dan mengambil kopernya dari dalam mobil.

Lea menatap Bryan, Kakak satu-satunya yang sedang asik bermain game di ponsel pemberian Ayahnya dua bulan yang lalu. Ia menoyor kepala Bryan dari belakang sambil mencibir dan melanjutkan jalannya mencari kamar yang layak ia tempati.

"Aku akan melaporkan tindakan tidak sopan mu pada Daddy, Lea. Arghh, liat saja. Ouch, kepala ku pusing." Lea memutar bola mata kesal, Kakaknya benar-benar hiperbola. Berlebihan, cih.

Lea kembali cemberut sambil menyeret koper biru kepunyaan nya masuk ke dalam rumah, biarlah barang yang lain Orangtua nya saja yang membawa. Yang penting ia sudah membawa barang.
Lea mengedarkan pandangan nya ke seluruh ruangan yang berada di rumah ini.

Rumah nya yang sekarang lebih besar daripada yang di California, tapi tetap saja ia lebih nyaman berada di sana bersama kedua sahabat nya. Lea sudah mewanti-wanti Ayahnya agar tidak pindah lagi karena ia sangat nyaman dengan suasana California. Tapi, Ayahnya bukanlah petinggi perusahaan dan tidak bisa membantah.

Lea menarik koper, menyusuri seisi rumah, memilih kamar mana yang akan ia tempati. Matanya sesekali berbinar menatap objek yang menurut Lea menarik.

Setelah menjelajah ke seluruh ruangan, ia memutuskan untuk menjadikan ruangan besar bercat putih--mungkin Lea akan menyuruh Ayahnya agar mengganti cat kamarnya menjadi biru, warna kesukaan Lea-- dan juga kamar ini terdapat kamar mandi di dalam nya.
Tapi, yang menarik minat Lea adalah kamar ini memiliki balkon yang sangat luas sehingga Lea dapat melihat sekeliling komplek nya.
Lea benar-benar sangat menyukai berdiam diri di balkon, di California, yang biasa ia lakukan ketika sedang bosan hanyalah berdiam diri di balkon sambil menghilangkan penatnya.

Lea menaruh koper biru miliknya dekat pintu dan berjalan menuju balkon. Angin sore selalu bisa membuat pikiran Lea tenang. Lea menutup mata nya, menikmati angin yang menerpa wajah Lea, ia tersenyum tipis.

"Hey." Lea membuka mata ketika mendengar suara merdu khas remaja laki-laki di sebrang sana. Lalu mendapati laki-laki yang--mungkin seumuran dengan Lea, sedang tersenyum di balkon rumah kepemilikannya yang kebetulan bersebrangan dengan balkon Lea.

Lea hanya tersenyum tipis sambil menautkan alis, bukannya ingin bersikap sombong. Lea bukan orang yang ramah kepada siapapun apalagi orang yang tidak ia kenal, Lea orang yang sulit berkomunikasi dengan orang baru. Karena itu ia sebal setengah mati saat Daddynya memutuskan akan pindah rumah.

"Kau tidak berniat membalas sapaan ku?"

Lea gelagapan. "Oh, Hey!"

Laki-laki di depan nya terkekeh. "Aku Daniel. Salam kenal, tetangga baru."

"Lea dan salam kenal." Lea berucap dengan kikuk dan canggung.

Daniel tersenyum. "Mungkin kita bisa berteman."

Lea mengangguk. "Mungkin." ia tersenyum kecil, "aku harus membereskan kamar ku, sampai jumpa, um ... Daniel."

Daniel melambaikan tangan sambil tersenyum. "Bye..."

---
TBC

{Edited}

My NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang