Delapan

37 11 3
                                    

Note : disarankan sebelum baca part ini baca ulang versi oneshoot yang di akunku yang satunya ya di akun Lin_iin. Tengkiyu, tapi gk baca ulang jg gpp kok. Tapi yang belum pernah baca aku saranin mending baca deh, jgn lupa tinggalin jejak😗

*

*

*

*

Panji seketika langsung bergidik ngeri saat melihat Julia masuk ke dalam ruangan dengan wajah cerahnya. Padahal sejak dua hari yang lalu wajahnya ditekuk mulu karena ia tidak bersedia membantu gadis itu mengurus izin cuti. Bahkan semalampun gadis mood gadis itu masih tidak begitu bagus, apalagi mengingat semalam ia tidak mengantar gadis itu pulang. Bukankah seharusnya Julia mengamuk misuh-misuh kepadanya, bukannya tersenyum cerah seperti sekarang ini.

"Jul, lo masih sehatkan?" tanya Panji khawatir.

Sumpah demi Tuhan sekarang Panji merasa bersalah. Tidak seharusnya semalam meninggalkan Julia begitu saja, apalagi mengingat gadis itu yang baru saja patah hati.

"Gue minta maaf banget soal semalam deh, nggak seharusnya--"

"Apaan sih, Mas, kok pake minta maaf segala?"

"Lo yang apaan? Lo kenapa, anjir? Semalem pulangnya gimana? Kenapa lo abis kebentur apa gimana? Serem banget lo sumpah."

Panji makin dibuat ngeri karena Julia malah tersenyum malu-malu seperti orang nggak jelas.

"Gue baik-baik aja, Mas, gue pulang dengan selamat sentosa kok. Buktinya sekarang bisa ngantor dengan suasana hati cerah. Secerah hari ini."

Panji melongo tidak percaya. Spontan ia menoleh ke luar gedung. Jelas-jelas awan sedang mendung dan dalam hitungan jam mungkin akan turun hujan. Tapi kenapa gadis itu bilang kalau hari ini cerah? Apa kali ini juniornya sedang mengalami patah hati terburuknya sampai membuat gadis itu begini? Tapi seingatnya kemarin masih baik-baik saja meski tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik-baik saja juga.

"Udah nggak waras lo?"

"Kewarasan gue sudah sepenuhnya kembali kok, Mas."

"Kembali apanya, yang ada lo keliatan kayak orang gila, anjir, serem banget sumpah. Semalem pasti terjadi sesuatu kan?" selidik Panji penuh curiga. Tangan kanannya menunjuk wajah Julia secara terang-terangan, "gue yakin itu."

Sambil tersenyum malu-malu, Julia mengangguk dan mengiyakan.

"Anjir, jadi bener?"

"Duh, Mas, ntar gue ceritain deh. Sekarang mending kita ikut rapat dulu, yuk, udah ditungguin Mas Aiman." Julia langsung mengeluarkan I-padnya lalu mendekapnya erat. Ia kemudian menyuruh Panji segera membawa laptopnya karena mereka sudah ditunggu bos mereka.

"Lo utang cerita sama gue pokoknya, Jul."

"Iya, iya, ntar gue ceritain semuanya. Nggak bakal ada yang kelewat kok. Santai aja kali, Mas, gue kalau nggak sama lo mau cerita sama siapa lagi sih? Ciwi-ciwi kantor, dih, males banget, mulut mereka ember semua."

"Hush, sembarangan aja lo!" Panji langsung memukul kepala sang junior, "nggak boleh ngomong gitu. Nggak baik."

"Ya tapi emang bener, Mas," keluh Julia tidak terima, sebelah tangannya yang menganggur ia gunakan untuk mengelus kepalanya yang terkena pukulan Panji, "mereka itu ember banget. Udah dibilang jangan bilang-bilang, eh, tapi dibilangin ke seluruh kantor. Kan ember itu namanya, Mas, ember bocor. Gue kalau inget sama kelakuan mereka suka kesel sendiri deh, Mas."

Mendengar gerutuan Julia, bukannya iba Panji malah menertawakannya. "Haha, iya, iya, gue paham. Cuma jadi orang nggak usah dendaman bisa?"

"Gue nggak dendam. Cuma gue nggak akan pernah lupa sama kelakuan mereka, Mas."

After Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang