24 ; Kana

953 91 5
                                        

°°°
Khao tidak menemukan ibu dan ayah tirinya di dalam rumah. Mungkin, mereka sedang menghabiskan waktu berdua di luar, menikmati hari libur. Sangat tidak mungkin bagi mereka untuk bekerja di hari seperti ini.

Dengan langkah pelan, Khao melangkah menuju kamarnya untuk menyimpan barang-barang bawaannya. Setelah itu, tanpa rasa lelah yang berarti, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk. Ia tidak merasa kelelahan, hanya saja tubuhnya membutuhkan istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaga.

Matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Senyum tipis tiba-tiba terukir di bibirnya ketika bayangan wajah First melintas di benaknya. Ada kehangatan yang mengalir dari dalam hatinya, membuat senyum itu semakin mengembang.

Namun, kebahagiaan itu sirna seketika saat pintu kamarnya terbuka dan Prom masuk dengan langkah ringan.

“Bang Khao, ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Prom penasaran.

Khao segera bangkit dan menoleh ke arah Prom, mencoba menyembunyikan senyum itu, “Gue? Engga ah.”

Prom mendekat dan duduk di samping Khao. “Gimana kemahnya, seru?”

Khao kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dengan ekspresi datar. “Lumayan.”

Prom menatap kakaknya dengan penuh perhatian. “Oh iya, Abang pasti capek, makan dulu,” katanya dengan khawatir.

Khao menggeleng pelan. “Abang udah makan.”

Prom memiringkan kepalanya dan ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Khao. “Kapan? Kan baru pulang.”

“Di rumah First tadi,” jawab Khao singkat.

Prom terkejut, matanya membelalak sedikit. Tumben sekali kakaknya makan di rumah orang lain.

Ia lalu menatap Khao dengan penuh rasa ingin tahu. “Kok bisa?”

“Bisa,” jawab Khao singkat dan datar.

Prom tersenyum jahil, seolah menemukan celah untuk menggoda kakaknya. “Siapa ya yang dulu bilang gini, ‘Prom Abang gak suka liat cowo itu!’ terus marah-marah ke Prom gara-gara nyuruh bang First ke sini.”

Khao mengakui dengan nada pelan bahwa memang dulu ia pernah meminta Prom untuk menjauhkan First darinya. Mungkin ini yang disebut karma.

“Gue,” jawab Khao tanpa ragu.

Prom tertawa kecil. “Mau Prom bantuin buat deket sama bang First gak?” godanya sambil terkekeh, meski kakaknya tetap menunjukkan sikap dingin.

Khao menggeleng tegas. “Gak.”

“Bang First itu suka sama Abang kayaknya, jadi Abang gampang buat deketinnya,” kata Prom dengan nada yakin.

Khao mengangguk pelan. “Tau.”

Jawaban kakaknya singkat dan reaksinya tetap datar. Oh Prom, kau memang memiliki kakak yang cukup misterius, lebih tepatnya, aneh.

Prom akhirnya bangkit dan beranjak dari tempat tidur. “Kayaknya Prom gak dibutuhin di sini.”

Namun, sebelum Prom pergi, Khao menarik tangan adiknya dengan lembut. Prom pun kembali berbaring di sampingnya, kali ini tubuhnya dipeluk erat oleh sang kakak.

Khao merasa gemas luar biasa pada adiknya yang menggemaskan itu. Rasanya ia ingin mencubit pipi Prom dengan kuat, tapi ia menahan diri.

Adik yang menggemaskan, kakak yang menyebalkan—itulah mereka, dua jiwa yang saling melengkapi dalam kehangatan keluarga kecil mereka.

•••
Setelah selesai membersihkan tubuhnya dengan teliti, First melangkah pelan menuju kamarnya. Ruangan yang sebelumnya sedikit berantakan kini tampak jauh lebih rapi dan tertata rapi, seolah mendapat sentuhan magis dari tangannya. Ia menarik napas panjang, lalu duduk di depan meja belajarnya. Dengan penuh konsentrasi, First membuka novel yang belum sempat ia selesaikan karena gangguan Khao saat mereka di perkemahan.

INTERACTION | KHAOFIRSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang