08: Buket

381 53 0
                                    

Utahime menatap buket mawar merah yang berada di atas meja kerjanya, barusan petugas keamanan mengantarkan bunga itu ke ruangan Utahime, saat ditanya dari siapa, petugas keamanan itu menjawab tidak tahu karena bunga itu dikirim oleh kurir.

Utahime meraih secarik amplop yang terselip diantara bunga. Ia ingin sekali membukanya, tapi takut kalau ini adalah paket buket nyasar milik orang.

Utahime menaruh amplop itu lagi, lalu duduk di kursi kerjanya, ia akan menelpon Satoru karena bisa saja ini ulah Satoru.

Tidak butuh waktu lama telepon Utahime langsung diangkat.

"Oh my sweetie cutie pie, tumben sekali."

"Hm, kau sedang sibuk atau tidak?"

"Tidak, aku baru saja selesai rapat. Ada apa?"

"Apa kau yang mengirim buket mawar merah ke kantorku?"

"Buket? Tidak, kau menerima buket itu? Dari siapa?"

"Tidak tahu, karena tidak ada nama pengirimnya. Tapi, ada amplopnya."

"Aku ke kantormu sekarang, jangan buka amplopnya sampai aku datang, paham?"

Utahime bingung karena nada bicara Satoru terdengar seperti orang panik, "Kau mendengarku Utahime?"

"Iya."

"Ok, 15 menit lagi aku sampai."

"Jangan ngebut, santai saja, aku tidak akan membukanya."

"Tunggu aku."

"Hm." Utahime mematikan sambungan, ia menggenggam ponselnya sambil terus menatap ke arah buket itu.

Utahime lalu beralih pada layar laptopnya, tidak mau terlalu ambil pusing karena merasa suaminya yang akan mengurus hal aneh ini.

Utahime tersenyum kecil, ternyata menyenangkan juga mempunyai Satoru di hidupnya.

Di sisi lain Satoru sedang dalam perjalanan menuju kantor Utahime, rasanya ia sangat cemas, karena takut isi amplop itu akan menyebabkan hal-hal buruk yang bisa membahayakan istri dan anaknya. Saat lampu merah Satoru mencengkeram erat kemudinya sampai urat-urat tangannya terlihat, rasanya ia ingin cepat sampai ke kantor Utahime.

20 menit berlalu, akhirnya Satoru sampai di kantor Utahime, ia langsung menuju ruangan Utahime, saat membuka ruangan Utahime ia langsung melihat ke arah buket yang berada di atas meja. Ia bahkan tidak menyapa Utahime yang kini sedang duduk di sofa sambil menatap Satoru bingung.

Satoru langsung membuka amplop yang masih tersegel.

Mata Satoru membulat sempurna ketika melihat isi surat itu.

"Now I found you..."

"Jadi, isinya apa?"

Satoru terkesiap sambil melihat ke arah Utahime, "sejak kapan kau di sana?" tanya Satoru sambil menghampiri Utahime.

"Kau aneh Satoru, aku dari tadi memang di sini. Jadi, apa isi amplop itu?"

Satoru menyerahkan selembar kertas yang ia pegang pada Utahime, Utahime membaca surat itu lalu menatap Satoru. "Kau kenapa?" tanya Utahime ketika melihat ekspresi tegang Satoru, tidak biasanya dia berekspresi seperti itu, bahkan sekarang menurutnya ekspresi Satoru lebih membuatnya tertarik ketimbang isi surat bertuliskan Now I found you itu.

"Hime, kau mau menuruti kata-kataku?"

"Apa?"

Satoru meraih kedua tangan Utahime, menggenggam tangan itu, kemudian menangkup tangan kecil Utahime dengan tangan besarnya. "Kali ini saja aku mohon,"

"Ya apa?"

"Kau jangan berangkat ke kantor dulu."

"Hah?"

"Iya mulai besok, kau kerja dari rumah saja."

"Kenapa?"

"Aku merasa surat ini seperti sebuah ancaman untukmu."

"Tapi-"

"Hime, ini demi kebaikanmu dan anak kita."

Utahime menatap bingung Satoru, dahi wanita itu sudah sangat berkerut sangking bingungnya dengan sikap Satoru sekarang. "Ya tapi kenapa kau berpikir begitu?"

"Ini firasatku saja."

Utahime menghela nafas, "baiklah, aku akan menurutimu, tapi hanya seminggu."

"Sampai anak kita lahir ya sayang. Please...." Satoru memohon pada Utahime dengan suara sangat lembut.

Apakah ini benar suamiku?

"Bagaimana kalau ada rapat?"

"Baiklah, kau boleh ke kantor kalau ada rapat."

"Ok."

Utahime menghela nafas kasar, sebenarnya ia bisa saja menolak, tapi bekerja dari rumah juga bukan hal yang buruk walaupun sudah pasti akan merepotkan, tapi untuk kali ini Utahime akan percaya dengan firasat Satoru karena pria itu tampak sangat serius. Dia juga benar-benar terlihat mengkhawatirkannya, Utahime tidak mau membuat Satoru terlalu khawatir karena pria itu memiliki banyak pekerjaan penting yang membutuhkan pikiran jernih untuk bekerja.

Utahime jadi penasaran dengan Satoru.

"Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?" tanya Utahime.

"Iya."

"Maksudmu ada?"

Satoru mengangguk, "tapi aku tidak bisa mengatakan padamu sekarang."

"Kenapa? Apa hal itu ada hubungannya denganku?"

"Hm."

"Atau mungkin ada hubungannya dengan masa lalumu? Seperti mantan kekasihmu?"

Kau satu-satunya mantanku, batin Satoru.

"Kau mulai tertarik dengan sebuah hubungan, huh?" Satoru mencoba mengalihkan topik.

"Jangan mengalihkan topik." Utahime melepas genggaman tangan Satoru. "Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanya Utahime lagi.

"Nanti aku akan memberitahumu saat waktunya tepat."

"Apa?"

Satoru menatap Utahime, "cium aku, maka akan aku katakan."

Tidak disangka, Utahime langsung mencium bibir Satoru, padahal maksud Satoru mengatakan itu supaya Utahime berhenti bertanya. "Cepat katakan."

Satoru kembali mencium bibir Utahime, "tidak bisa, karena aku sudah mengembalikan ciumanmu."

Utahime menatap kesal Satoru, "dasar licik."

Satoru menjulurkan lidahnya, "maaf sayang, tapi aku benar-benar tidak bisa mengatakannya sekarang."

"Apakah itu sesuatu yang sangat penting?"

"Sangat."

"Hm, aku jadi semakin penasaran."

Satoru menatap Utahime, ia benar-benar akan menjaga Utahime, ia tidak akan membiarkan Utahime berada di dalam situasi berbahaya lagi. Ia akan melindungi Utahime meski nyawanya menjadi taruhan, ia benar-benar tidak peduli asalkan Utahimenya yang jarang tersenyum ini tidak menangis sedih lagi.


To be continued...

Empty Space // gojohimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang