21. Kabar baik?
"Kakak disini baik, dek. Gimana sama ujian kamu? Jangan lupa jaga kesehatan loh ya, kakak nggak mau kalau kamu belajar terlalu keras dan ujung-ujungnya kamu nggak bisa jaga kesehatan kamu."
"Iya kak, makasih ya udah kerja keras buat adek. Janji nanti kalau adek udah bisa kerja kayak kakak, pasti adek membalas semua kerja keras kakak selama ini."
"Itu urusan gampang. Yang penting adek baik-baik disana jagain Mama, ya? Insyaallah, nanti kalau ada waktu kakak pasti pulang. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin kakak ya?"
"Iya kakak. Yaudah sana kerja lagi, jangan terlalu khawatir sama adek ataupun Mama. Kita bakal selalu sehat demi kakak. Sayang kakak banyak banyak."
Bibir Anza terus mengulas sebuah senyuman indah walaupun matanya kembali meloloskan sebuah butiran air mata. Ia mengusap matanya dan beberapa kali menarik nafas dalam-dalam berharap ia tidak lagi menangis karena merindukan mereka.
Waktu terus saja berjalan hingga tidak sadar kini sudah terhitung tiga bulan lamanya ia bekerja sebagai babysitter dikediaman keluarga Exlan. Dan selama itu pula ia belum sempat pulang kampung dan menemui keluarganya karena belum ada waktu luang yang membuat ia mau tidak mau hanya bisa menghubungi adik dan mamanya lewat telepon.
Itupun terkadang tidak bisa tersambung karena sinyal dikampung pastinya tidak terus menerus baik. Namun, ia terus menguatkan dirinya sendiri. Apabila ia menyerah terhadap keadaan bukankah artinya ia menelantarkan keluarganya dan membiarkan mereka hidup sengsara?
Ia mendudukkan diri diatas ranjang kamarnya sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ternyata tidak mudah untuk menjadi seorang perantau seperti ini. Yang jauh dari keluarga dan harus menghadapi kerasnya dunia seorang diri.
Beruntung ia bisa bertemu dengan keluarga Gio yang sangat vaik yang kepada dirinya. Bahkan mereka tidak pernah marah sekalipun walaupun ia melakukan kesalahan.
Ia mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata menggunakan lengan baju panjangnya. Tangannya bergerak untuk mengambil sebuah bingkai foto yang berada di meja putih yang terletak di samping ranjangnya.
Perlahan jari-jarinya mengusap bingkai foto tersebut. Disana terdapat sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu, kakak dan adik. Keempatnya sama sama mengeluarkan senyuman lebar yang menunjukkan kebahagiaan.
Anza ikut tersenyum meskipun air matanya terus mengalir. Ingin rasanya ia kembali ke masa-masa indah itu. Ketika ia bisa tertawa lepas bersama sang papa, saat mamanya belum jatuh sakit dan saat adiknya masih kecil dan membuat keluarga kecil itu selalu terasa bahagia.
"Papa, kakak sekarang udah besar. Udah berani pergi ke kota sendirian untuk menyongkong biaya hidup adek dan mama."
"Dulu Papa selalu bilang sama kakak kalau semua kerja keras yang kita lakukan pasti membuahkan hasil. Itu kalimat yang menjadi penenang buat kakak hingga saat ini, semoga semua yang udah kakak lewati nggak sia-sia."
"Kakak selalu berdoa semoga keluarga kita nanti bisa dikumpulkan lagi disurganya Allah. Kakak sayang sama Papa."
Tangisnya kembali pecah. Mengingat memori kebersamaan dengan almarhum papa, membuat hatinya kembali terasa sakit. Yang namanya perpisahan akan tetap selamanya menjadi sebuah luka yang mendalam.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar oleh seseorang. Ia kembali menaruh bingkai foto tersebut dan mengusap kedua pipinya yang basah. Menatap dari patulan kaca dan mata sembabnya terlihat begitu jelas.
Saat ia membuka pintu, ternyata sang majikan berdiri disana. Ia mencoba sebisa mungkin menetralkan suaranya agar tidak terdengar serak.
"Gue kesini cuma mau ingetin, jangan lupa besok pagi lo udah harus siap jam tujuh. Jangan kelamaan atau gue bakal potong gaji lo." katanya dengan nada mengancam seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGION [ End ]
Fiksi Remaja"Tante mau nggak jadi bunda aku?" Argion Arnawama Exlan, pria yang selalu bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan dengan mudahnya. Namun dibalik itu, ia sangat jauh dari Allah. Dan ditengah-tengah kehidupannya ia bertemu dengan perempuan yang bisa...