Note : cerita ini bukan cerita gay atau bisexual, cerita ini straight/normal seperti yang bisa kalian lihat di sinopsis. TAPI memang ada beberapa chapter yang membahas SEDIKIT tentang gay/homo/bisexual.
Buat kalian yang mungkin kurang suka pembahasannya bisa di skip aja, jangan di report ya hehe. Terimakasih..
.
.Sudah beberapa kali nama Letta Arumi menjadi nama paling bawah di urutan daftar pengumuman peringkat jurusan. Tetapi kali ini nilai Letta sudah sangat parah dan harus segera ditindak sebelum benar-benar tidak bisa ditolong.
Bunyi detak jarum jam dan ketukan pulpen di atas meja, membuat suasana di ruang guru terasa semakin menegangkan. Letta masih bungkam setelah ditanyai oleh Bu Sari,wali kelasnya, tentang nilai-nilainya yang masih di bawah KKM.
"Gimana Letta? Kenapa tidak menjawab pertanyaan ibu?"
"Saya tidak tahu Bu. Lagi pula, saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin kok, kalau hasilnya jelek berarti memang belum rezekinya." Letta segera meringis pelan, salah satu kebiasaan jelek, tidak bisa me-rem omongan. Kadang kebiasaannya itu suka tiba-tiba keluar tanpa sadar, seperti saat ini.
Bu Sari hanya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. "Ibu tidak masalah kalau kamu mau belajar seperti apa, tapi poinnya disini adalah nilai-nilai kamu masih banyak yang kurang, hanya tiga mata pelajaran yang lulus itupun yang terbesar di seni."
"Dan lagi, kamu sudah tahu kan peringkat kamu di sekolah ini berapa?"
Letta menganggukkan kepala pelan. Tentu saja dia tahu. Namanya terletak pada urutan paling bawah seangkatan. Salahkan saja otaknya, hanya dapat mencerna pelajaran yang tidak banyak rumus dan hapalan.
"Jika diulangan berikutnya seperti ini lagi, terpaksa ibu akan panggil orang tua kamu."
Badan Letta menegak sempurna, kedua tangannya saling bertautan di depan dada, memohon ke pada Bu Sari agar tidak memanggil orang tuanya ke sekolah.
Bisa di bayangkan, kan. Akan semarah apa kedua orang tua Letta, mengetahui nilai putrinya ternyata benar-benar parah. Sudah susah-susah Letta tutupi, masa ujungnya terbongkar juga.
Bu Sari memijit kepala pelan sembari memikirkan solusinya. Sebenarnya ia sudah memiliki solusi tapi entah akan berhasil atau tidak.
"Begini saja, ibu ada ide. Karena masalah ini cukup serius, dan kamu pun tidak mau ikut les, seperti yang ibu sarankan. Bagaimana jika kamu meminta murid-murid dari siswa unggulan di sekolah ini untuk mau membantu kamu belajar?"
"Siswa unggulan?"
"Iya. Menurut ibu, sepertinya lebih baik belajar bersama teman sebaya, daripada ibu yang turun tangan mengajar kamu. Terasa lebih cepat nerap juga kan, jika dijelaskan oleh teman sebaya?"
Letta mengangguk setuju, tapi siapa siswa-siswanya?
Letta tidak mau jika yang mengajarinya termasuk kedalam kategori siswa ambis maksimal. Bukan semata-mata iri atau merasa paling baik. Letta pernah memiliki pengalaman kurang mengenakan. Ketika ia bertanya pada salah satu teman sekelasnya yang terkenal sangat-sangat ambis, temannya itu menjawab dengan ogah-ogahan setiap ditanya. Padahal Letta bertanya biasa saja. Hal itu membuat Letta akhirnya mengeluarkan sumpah serapah pada temannya dan berujung keributan. Letta tidak mau lagi ada kejadian seperti itu, akan sangat merepotkan.
"Tapi siapa saja bu orangnya?" tanya Letta.
"Sabrina Audrey, anak kelas 11. Dan, Arga Arshaka kelas IPA 1, seangkatan sama kamu, tahu kan? Kalau anak kelas dua belas yang lain bisa saja, tapi karena nilai kamu banyak yang kurang, menurut ibu lebih baik sama mereka saja biar cepat. Karena mereka sangat menguasai materi-materi di SMA," Jelas Bu Sari.
Letta terdiam sejenak, kepalanya mendadak pening. Ada satu masalah yang Bu Sari tidak ketahui. Dan itu membuatnya sangat terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling On Mistake
Teen FictionMendapat predikat sebagai siswi dengan nilai paling buruk seangkatan, membuat Letta mau tidak mau harus segera mencari orang yang bisa membantunya belajar agar dapat menuntaskan nilai-nilainya. Sayang, tidak ada satu pun teman sekelasnya yang dapat...