Irene berjalan menyusuri setiap lorong gedung lima belas tingkat ini. Ia ingin segera sampai ke tempat tujuan dan menemui si kecil. Bahkan ia membawa buah-buahan untuk diberikan padanya.
Tapi anehnya, saat ia sampai di ruangan yang ia tuju, ia tidak melihat seorang pun di sana. Tidak ada orang yang seharusnya menjaganya, tidak pula si kecil yang seharusnya masih berbaring di atas brankar ini.
"Loh? Kok kosong?" gumam Irene sembari meletakkan bingkisannya di nakas. Baru saja ia hendak keluar menanyakan keberadaan pasien di ruang rawat ini, sebuah suara menghentikannya.
"Tolong.. siapa pun tolong.. hiks hiks.. tolong.. ini sakit banget." Suara itu terdengar begitu lirih dan serak. Irene juga tidak tau dari mana suara itu berasal. Tapi ia yakin bahwa orang itu tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Dengan naluri alaminya, Irene memutuskan untuk tetap di ruangan itu, menunggu suara itu hadir kembali. Dan benar saja, selang beberapa saat ia kembali mendengar suara itu. Dan kali ini ia yakin dari mana suara itu berasal.
Kamar mandi!
Tanpa berlama-lama Irene segera bergegas menuju kamar mandi yang berada di kamar ini. Betapa terkejutnya dia saat baru membuka pintu, ia langsung menemui Renjun yang terduduk lemah di lantai kamar mandi.
"Renjun!" pekiknya. Renjun yang mendengarnya pun sontak menoleh.
"Tante! Tante.. tante tolongin Renjun tante.. kaki Renjun sakit banget hiks hiks," pinta Renjun dengan isak tangisnya.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Irene yang mulai jongkok untuk membantu Renjun bangkit dan memapahnya kembali ke brankar.
"Kok bisa kamu ada di kamar mandi sendirian? Dan kok bisa kayak gini?" tanya Irene setelah berhasil membaringkan Renjun yang kini masuh sesegukan karena isak tangisnya.
"T-tadi.. Renjun, Renjun mau ke kamar mandi.. ta-tapi ga ada siapa siapa, karena Renjun udah ga tahan hiks.. yaudah, Renjun pergi sendiri. Tapi pas d-di dalem.. Renjun kepleset terus kepala Renjun kebentur tembok hiks.. Renjun pingsan, pas bangun kaki Renjun sakit banget, Tante!" jelas Renjun diakhiri tangisannya yang semakin kencang.
"Renjun udah, dong. Jangan nangis.. nanti kalo nangis terus nafasnya sesek loh," ujar Irene mencoba menenangkan Renjun. Tapi bukannya tenang, tangis Renjun malah semakin menjadi.
"T-tante.. s-sakit tante.. kaki.. kaki Renjun hiks sakit ba-nget. Kalo, kalo Renjun g-ga bisa jalan.. gimana??" Bukan apa, masalahnya rasa sakit di kakinya ini jauh lebih sakit daripada sesak dada yang sering ia rasakan.
Irene yang melihat kondisi Renjun semakin kacau pun menarik tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. "Shhtt.. Renjun jangan bilang gitu, ya? Renjun bisa jalan kok. Renjun harus optimis dong! Masa cuma karena jatuh di kamar mandi Renjun jadi ga bisa jalan? Renjun kan anak kuatnya Tante."
Disela-sela pelukannya, Irene menjulurkan tangannya untuk menekan tombol yang berada di sisi brankar Renjun untuk memanggil suster agar memeriksa Renjun.
Setelah beberapa saat, seorang suster pun datang. "Loh, Pasien Renjun darimana saja?" tanyanya ketika sampai di ruang rawat Renjun.
"Memangnya kenapa, Sus?" tanya Irene yang sedikit merasa janggal dengan ucapan wanita itu.
"Tadi, saya dan keluarga pasien sempat ke sini dan tidak mendapati Pasien Renjun. Bahkan sekarang kakak dan ayah pasien masih mencari-cari pasien entah kemana," tutur suster itu. Irene pun hanya mengangguk paham. Mungkin setelah ini ia akan mengabari Winwin.
"Oh iya, Sus. Tadi Renjun jatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur dinding dan sempat pingsan. Terus pas dia bangun, dia bilang kakinya sakit banget. Tolong diperiksa ya, Sus?" terang Irene yang masih memeluk Renjun yang masih menangis, meski tak sehisteris tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plethora
FanfictionBercerita tentang seorang remaja yang ribuan kali disakiti, dikecewakan, diabaikan, dan dilupakan oleh dunia. Parasnya yang meneduhkan, tak pula menebar senyum tulusnya, lisannya yang terus berkata tak apa, tapi dengan daksanya yang lelah akan keras...