"Waduh, udah rame aja nih. Gimana dong?"
Bel istirahat kedua baru berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi keempat anak adam ini sudah berada di kantin dengan niat segera mengisi perut keempatnya yang kelaparan.
Tapi bukannya bisa segera makan, mereka justru disuguhi dengan pemandangan kantin yang begitu penuh.
"Ya gimana? Trobos aja kali!" ujar Jaemin membalas ucapan Haechan. Dari keempatnya, Jaemin terlihat yang paling semangat. Sebab, ketiga temannya yang lain sudah kehabisan energi karena perut yang lapar.
"Lu ngantri sana deh, Na. Pusing gue ngeliat antrian rame begini," ujar Renjun kesal melihat Jaemin yang seolah tak kehabisan baterai. Tapi Renjun tak bohong ketika ia mengatakan ia merasa pusing, karena sekarang memang kepalanya seolah berputar-putar, belum lagi tubuhnya yang begitu lemas.
"Beneran pusing, Njun?" Jeno mulai khawatir melihat Renjun yang sedari tadi mengerjapkan matanya mencoba menghalau pusing yang mendera.
"Iya, Jen. Pusing banget, mana laper lagi perut gue," ujar Renjun.
"Yaudah kalo gitu gue sama Haechan bagian pesen makanan, Renjun nunggu aja. Jeno, lo nemenin Renjun ya, kasian kalo sendiri," ujar Jaemin yang langsung diangguki ketiganya.
PRANG!
Belum sempat Jaemin dan Haechan pergi, kekacauan lebih dulu terjadi.
"Eh? Sorry, gue ga sengaja," ucap Chenle yang tidak sengaja menabrak Renjun serta menjatuhkan gelas yang ia bawa hingga percahan kacanya berserakan di lantai. Sedangkan Renjun sudah berjongkok dengan kedua tangan menutupi telinganya akibat terkejut.
"Lo tu kalo jalan pake mata, dong! Masa ga liat ada orang?" kesal Haechan yang mulai terpancing emosi melihat Chenle yang meminta maaf tapi terkesan tidak tulus.
Dan akibat seruan Haechan suasana kantin yang ramai menjadi semakin ramai mengerumuni ke lima orang tersebut.
Sementara Jaemin lebih memilih untuk menghampiri Renjun yang masih setia pada posisinya; berjongkok dengan wajah yang ia sembunyikan di antara lipatan kaki. Jaemin turut berjongkok di sebelah Renjun.
"Ren, lo gapapa?" Tangannya terulur untuk menepuk pundak Renjun yang ternyata bergetar hebat.
"Renjun! Hei, lo kenapa?" Jaemin yang mulai panik pun semakin mendekatkan diri pada Renjun. Kedua tangannya menggapai tangan Renjun yang masih menutupi telinganya.
"Na.. takut," lirih Renjun yang nyaris tak terdengar oleh Jaemin.
"It's okay, ada gue di sini. Jangan takut," ujar Jaemin lembut. Dipeluknya tubuh Renjun yang masih bergetar takut.
Karena kondisi kantin yang semakin tak terkendali, Jaemin pun memutuskan untuk membawa Renjun pergi dari sini. Tapi sebelum itu, ia berkata.
"Jen, Chan, kalian beli makanan, Renjun pasti laperㅡ
dan lo, urusan lo sama gue, Zhong Chenle." Setelahnya, tubuh Jaemin yang memapah Renjun hilang dari kerumunan kantin.
"Na, gue takut." Renjun semakin mengeratkan pelukannya pada Jaemin.Kini keduanya sudah berada di Unit Kesehatan Sekolah mereka. Awalnya Jaemin sudah menyuruh Renjun untuk berbaring di atas brankar, tetapi Renjun justru enggan melepaskan genggaman tangannya pada lengan jaemin.
Alhasil, Jaemin pun memutuskan untuk ikut duduk di brankar UKS dengan Renjun yang masih setia menitihkan air mata serta menyebunyikan wajahnya dalam pelukan Jaemin.
"Gapapa, ada gue. Jangan takut.." lirih Jaemin dengan tangannya yang tak berhenti mengelus belakang kepala Renjun.
"Gelas, gelasnya.. kaca.. pecah.. takut." Renjun masih dengan segala racauannya membuat Jaemin semakin bingung harus bagaimana. Biasanya Renjun akan tenang setelah dipeluk dan diberi kata-kata penenang, kenapa kali ini justru semakin parah?
Jaemin tak punya pilihan lain selain menghubungi Ayah Renjun, tapi sialnya Ayah Renjun tidak dapat dihubungi. Ya, seharusnya Jaemin tau Ayah Renjun pasti sibuk di kantor. Akhirnya Jaemin memutuskan untuk menghubungi Winwin dan langsung tersambung di panggilan pertama.
"Halo, Jaemin. Ada apa?" Terdengar suara Winwin di seberang sana.
"Kak Winwin lagi sibuk ga?" Jaemin bertanya dengan hati-hati.
"Enggak tuh, kenapa?"
"Ini, Kak. PTSD Renjun kayaknya kambuh, dari tadi ga bisa tenang. Kakak bisa tolong ke sini ga?" terang Jaemin.
"Apa?! Kok bisa? Sebentar, Kakak ke sana sekarang." Winwin langsung mengakhiri panggilan dan segera bergegas menuju tempat Sang Adik bersekolah.
"Bentar ya, Ren. Kak Winwin bentar lagi ke sini," ujar Jaemin lembut pada Renjun.
"Renjun gimana, Na?" tanya Haechan yang baru saja memasuki UKS dengan tergesa-gesa. Terdengar dari nafasnya kentara betul Haechan habis berlari.
"Belum bisa tenang, dari tadi masih ngeracau bilang takut," jelas Jaemin seadanya.
"Terus gimana dong?" tanya Jeno yang kini sudah mendudukkan diri di kursi sebelah brankar.
"Gue udah telfon kak Winwin kok, bentar lagi dia ke sini." Jaemin semakin mengeratkan pelukannya ketika ia merasakan nafas Renjun mulai tergesa.
"Hei, Renjun? Tenang, ada gue di sini," tuturnya lembut.
"Na, gue mau nanya deh, tapi lu jangan marah," ujar Haechan ragu ragu.
"Apaan?" tanya Jaemin mengintimidasi. Jaemin tau betul, jika Haechan seperti itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ia akan menanyakan sesuatu yang tidak jelas dan kemungkinan kedua ia akan menanyakan sesuatu yang membuat Jaemin marah.
"Tuh kan.. gamau ah, lo pasti marah." Haechan jadi takut sendiri mendengar nada bicara Jaemin yang kelewat datar.
"Lo malah lebih bikin gue marah kalo kayak gitu, Chan," ujar Jaemin penuh penekanan.
"Itu loh.. tadi gue sama Jeno cuma beli makanan seporsi soalnya buru-buru. Terus itu kan Renjun belum bisa makan ya.. boleh ga gue makan aja?"
To be continued..
Hi.
Setelah lebih dari 6 bulan akhirnya aku nyentuh cerita ini lagi. Sebenernya part ini sudah selesai diketik sejak 7 Juli tahun lalu, tapi aku belum sempat publish part ini. Aku engga tau masih ada yang baca cerita ini atau engga, tapi kalau ada I hope you enjoy this story.
ㅡ140124
KAMU SEDANG MEMBACA
Plethora
FanfictionBercerita tentang seorang remaja yang ribuan kali disakiti, dikecewakan, diabaikan, dan dilupakan oleh dunia. Parasnya yang meneduhkan, tak pula menebar senyum tulusnya, lisannya yang terus berkata tak apa, tapi dengan daksanya yang lelah akan keras...