Gedung berlantai tujuh menjadi pusat gravitasi di pagi menjelang siang kali ini. Para lelaki maupun perempuan terlihat tak sabar menunggu giliran iris mata mereka untuk melihat deretan huruf yang sudah dikelompokkan sedemikian rupa.
"Mau lihat sekarang?"
Helai pirangnya berkibar tertiup angin, kedua matanya menatap jengah sosok di depannya yang menodai asal kertas tak berdosa dengan tinta merah. Pandangannya kini menembus kaca transparan yang tertuju pada kerumunan di lantai dasar gedung sebelah, agaknya kali ini berhasil menarik sejenak atensi lawan bicaranya.
"Nanti saja deh," Surai yang diikat ekor kuda itu mengedik asal pada sumber pasar tumpah. "Masih rame, males antree apalagi desak-desakan."
"Aku pun heran, zaman serba modern begini masih juga nempelin pengumuman di mading," Gadis bersurai pirang itu menyandarkan punggungnya. "Kan bisa lewat website atau apapun itu yang lebih praktis."
"Biasa tradisi," Gadis itu kembali memusatkan atensi pada kertas putih penuh coretan tinta merah. Rumit, serumit otaknya yang habis diterjang ujian Neurologi, jalur saraf dasarnya bahkan lebih ruwet daripada kebel PLN. "Kalau gak gitu mana mau mereka ke rektorat."
Sosok di seberang berhasil meloloskan dengusan pelan. "Iya sih, tapi zaman kan sudah berubah. Seharusnya mereka juga ngelakuin perubahan demi kenyamanan bersama."
"Ada beberapa hal yang seharusnya emang gak berubah Ino," balasnya sembari menutup buku. "Mereka dituntut konstans ditengah keadaan yang selalu dinamis."
Gadis yang dipanggil Ino itu memandang sahabatnya, ia benar-benar tak dapat mengartikan sorot hijau didepannya.
"Apa?!"
Ino mengedik pelan menanggapi nada sedikit ketus dari sahabatnya. "Ra Seandainya-"
"Tidak ada seandainya," Sakura, gadis itu memotongnya cepat sembari memasukkan bukunya ke dalam totebagnya. "Aku mau turun, ikut atau tinggal?"
"Ikutlah, ya kali aku tahan kejepit tumpukan buku," Ino beranjak berdiri sembari mengibas pelan tangan kanannya. "Pengap."
Kedua sejoli itu melangkah bersisian, sesekali Ino sang primadona kampus membalas sapaan penggemarnya membuat Sakura merotasikan bola matanya malas. Tujuan mereka kali ini adalah pusat gravitasi seluruh mahasiswa semester enam.
"Ramenya," Giok Sakura menelisik mahasiswa semester enam yang berkumpul pada satu titik. Seketika ia merasa pengap dan sesak. "Aku gak yakin bisa nerobos masuk."
"Gak masalah, kita tunggu saja dulu."
Tatapan tak percaya Sakura layangkan. "Tapi mereka gak hanya seratus dua ratus Ino, kamu yakin mau nunggu sampe sore?"
"Terus gimana, lu mau nekat?" Ino mengibas pelan surai pirangnya. "Gue sih ogah."
Gelengan kepala Sakura membuat Ino menyeret sohibnya itu menuju pohon pinus pekarangan rektorat, mereka duduk lesehan di bawahnya sembari menunggu berkurangnya kerumunan para manusia.
Si gadis pirang bergegas merogoh tas selempangnya kala bunyi notifikasi ponselnya saling bersahutan. Tangannya dengan lincah membuka WhatsApp, kedua alisnya saling menukik menemukan grup baru dalam ponselnya.
"KKN 46?" beo Ino.
"Ada apa?"
"Aku kelompok 46, temen kelompokku gercep buat grup," Gadis itu dengan semangat membuka grup barunya dan seketika iris matanya mendelik horor melihat sai pelaku pembuat dan pengundang grup. "Anjir!"
"Apa lagi?" kesal Sakura.
"Aku sekolompok sama Naruto."
Bola mata Sakura berbinar antusias. "Baguslah setidaknya ada yang-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Trylogi [✓]
Teen FictionTuhan, kenapa dunianya hanya berputar-putar di sini saja, ia juga ingin keluar negeri. Haruskah ia mencoba kembali apa yang dia tawarkan? Disclaimer @Masashi Kishimoto