"Silahkan," Wanita muda dengan surai yang terikat rendah itu membuka lebar pintu rumahnya. "Mari masuk, kayak biasa aja gak usah pada sungkan begini."
Sejenak bisa kita tangkap adegan dorong-dorongan samar yang terjadi pada gerombolan tamu di depan pintu.
"Lho kok pada diem sih, ayo masuk."
"Sayang, kamu tinggal tutup pintunya kalau mereka gak mau masuk," ujar sang kepala keluarga dari ruang tengah.
Tobi yang agaknya terjembab ke depan melirik sekitar, menggaruk sejenak kepalanya, lantas membungkuk sungkan. "Selamat malam."
"Apaan sih Bi," Wanita muda itu mengetuk pelan kepala Tobi dengan spatula kayu di tangannya. "Buruan masuk kalian," ujarnya sembari berkacak pinggang.
Rombongan itu melangkah teratur, bagaimana tak berlagak sungkan jika mereka diundang dalam acara syukuran ulang tahun namun tak satupun diantara mereka yang membawa amplop ataupun bingkisan untuk si bocah penghuni rumah.
"Lo sih Ri, kenapa gak bawa elah," bisik Deidara setelah mendaratkan bokongnya pada ambal ruang tamu.
"Gue pikir juga ada yang bawa," Tanpa sungkan Sasori menuang es sirup dalam gelasnya. Hazelnya menangkap si pemilik rumah yang datang bersama anak laki-lakinya berusia empat tahun di atas pundaknya. "Itachi, punya amplop kosong?"
Pria bernama Itachi itu menurunkan anak laki-lakinya. "Untuk?"
"Kondangan setelah ini."
"Tumben gue gak dapet undangan juga," Melihat Sasori yang mengedikan bahunya asal, Itachi menepuk pelan tempat kosong disisinya, atensinya kini tertuju sepenuhnya pada sang anak. "Kakak disini sebentar sama om ya, bentar lagi mama juga dateng."
Anggukan kecil dari anaknya membuat Itachi segera beranjak mengambil amplop. Sementara para tamu bergegas merogoh dompetnya.
Pria bersurai hitam terlihat bimbang. "Pada ngasih berapaan?"
"Seikhlasnya Zu," Deidara meneliti Kakuzu yang agaknya masih menimbang pecahan lima puluh dan seratusan. "Tapi gue goceng sih," ujar Deidara.
Kakuzu menoleh. "Lima puluh?" tanyanya memastikan sekali lagi.
Sasori menggerakkan tangan kanannnya. "Buruan sini uangnya," ujarnya sembari melirik sejenak ke arah kelambu yang membatasi ruang tamu.
Sekembalinya Itachi, kini mereka menikmati suguhan masakan rumahan. Sasori menelisik teman-temannya yang terlihat bersemangat menyantap hidangan. Pria bersurai merah yang dipanggil Nagato agaknya tengah meracik soto kesukaannya. Ketua geng mereka yakni Yahiko terlihat telaten membantu istrinya yang tengah hamil besar memisahkan tulang ayam.
"Bang Hidan udah bang," Tobi mengambil alih sepiring kotor dari tangan seniornya. Pasalnya pria bersurai abu-abu itu terlihat mondar-mandir tanpa sungkan membawa piring kotor. "Makan dulu napa, yang lain juga masih makan."
Hidan mengangguk. "Bentar."
"Gak papa Hidan santai aja," Setelah berhasil menyuap putranya, Izumi menyenggol pelan lengan suaminya. "Kamu makan dulu, urusan cuci piring nanti belakangan."
"Bener, nanti kita-kita ikut bantuin kok," Pria dengan tubuh kekar yang terbalut kaos navy itu kembali memisahkan duri ikan gurame. "Lu gak usah rajin-rajin amat bisa gak sih?" cibir Kisame.
Sasori menggeleng samar melihat interaksi teman asramanya, ia mulai makan dengan tenang sembari diam-diam menelisik dimana gerangan foto keluarga kecil yang pernah dipajang si pemilik rumah.
Itachi menyenggol pelan lengan sohibnya. "Nyari apa lo di rumahku?"
"Ketahuan ya?" bisik Sasori.
Bola mata Itachi berputar malas. "Transparan sekali itu mata jelalatan," cibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trylogi [✓]
Teen FictionTuhan, kenapa dunianya hanya berputar-putar di sini saja, ia juga ingin keluar negeri. Haruskah ia mencoba kembali apa yang dia tawarkan? Disclaimer @Masashi Kishimoto