9

1.3K 253 157
                                    

Sakura kembali menggaruk lengannya yang memerah. Sore tadi sepulang mandi, bintik merah mirip biduran yang kemarin hanya ada satu di pahanya kini menginisiasi lengan dan lehernya. Iris hijaunya menelisik bayangan lehernya yang memerah pada cermin segi empat yang ia bawa. Mungkinkah dirinya alergi air sungai, atau kebanyakan makan telur, mie, dan sejenisnya.

"Gak mungkin sih, makan telur dan minya kan baru tadi siang," Sakura mengoles minyak gosok yang ia bawa lantas membalurkan pada titik biduran. "Masa iya gara-gara ikan kemarin sih?"

"Tapi aku kan makan segalanya," gumamnya pada diri sendiri.

"Ya ampun nong," Ino tergopoh dengan suara histerisnya membuat Sakura buru-buru membalut tubuhnya dengan sarung. "Kenapa—"

"Tutup pintunya Ino, aku belum selesai pake baju," ujarnya penuh peringatan.

Selepas menutup pintu, Ino segera merangsek disisi sahabatnya. "Kenapa lehermu, lenganmu," Tangan Ino menunjuk namun tak sampai menyentuhnya. "Digigit Sasuke?"

"Sembarangan," sembur Sakura dengan delikan tajamnya.

"Terus?"

"Gak ngerti," Sakura menyibak sarung yang mnutupi paha kanannya. "Kemarin cuma satu di sini, tapi sekarang nambah lagi," ujarnya sembari menunjuk titik bidurannya.

"Kok gak ngomong sih Ra?"

"Aku pikir gatel biasa aja No besoknya bakalan ilang."

"Aku bilangin yang lain ya biar dibawa ke puskesmas takutnya malah nambah banyak."

"Jangan bikin yang lain khawatir," Sakura mencekal ringan lengan sohibnya. "Biarin aja nanti juga ilang, mungkin ini cuma bentuk adaptasi kulitku sama air atau udara disini."

"Kalau gitu Sasuke aja gimana?" usul Ino.

"Kenapa malah ngasih tau Sasuke sih?" cebik Sakura, gadis itu mulai mengenakan kaos lengan pendek dan celana training semasa SMA. "Mending sana masak, ngapain kesini emang sudah selesai?"

"Nah itu," Cengiran Ino seketika melebar. "Bantuin buat martabak mi dong."

Kelopak mata Sakura menyipit tak percaya. "Mi lagi?"

"Ehehehe habisnya gak ada yang jual sayur, bingung kan. Pokoknya besok kalau ke pasar beli persediaan yang bisa tahan dua atau tiga hari," Ino mulai beranjak. "Cepet sisiran dan buruan ke dapur, ditunggu ya cantik."

"Bilang cantik kalau ada maunya saja dasar," cibir Sakura.

Gadis bersurai merah muda itu segara menyisir rambutnya lantas mengikat rendah. Spons cokelat tua berlapis bedak tabur terlihat menyapu permukaan wajahnya dengan cepat. Sakura beranjak dengan handuk ditangannya, menyampirkan di kamar kosong khusus jemuran yang tak kering dan barang-barang lainnya kemudian bergabung dengan anggota piket hari ini.

"Beneran mau masak mi lagi?" Sakura duduk pada kursi rendah disisi Tenten. "Siang tadi kita sudah makan mi lho."

"Sebenarnya gak bagus sih apalagi diposko ini ada calon dokter dan calon perawat pasti yang piket masak kena protes," Mengabaikan tatapan tak terima dari Sakura, Sai tetap melanjutkan kalimatnya. "Tapi mau diapa, gak ada bahan makanan sehat yang bisa dimasak, syukur-syukur bisa makan."

Kini Sakura memuar bola matanya malas, Ino meggelepak pelan kepala Sai. Sementara Tenten mengamati interaksi mereka dengan senyum kecilnya, ternyata semakin kesini sikap orang-orang itu tak seburuk seperti yang ada dalama pikirannya.

"Permisi."

Suara lembut itu mengalihkan atensi mereka, Sai membuka pembatas kain jarik dapur membuat pandangan mereka tertuju pada pintu posko. Disana sosok gadis remaja berdiri sembari membawa plastik hitam dalam dekapannya. Kaos oblong merah lengan pendek dipadu rok cokelat selutut membalut tubuh kecilnya, surai cokelatnya tergerai sebahu menambah kesan manis pada gadis itu.

Trylogi [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang