回家

97 8 6
                                    

Pulang, marilah pulang.
Tapi pulang kemana kalau diri ini sudah berada di tempat yang disebut rumah?
Pulang, marilah pulang.
Mungkin agar kita pulang, kita harus terlebih dahulu dijemput.

Setidaknya satu kali, mungkin kamu pernah merasakan hal ini, bukan?

☾︎

Berhenti secara asal di stasiun yang bahkan belum pernah ia kunjungi sebelumnya, pemuda tersebut tidak peduli.
Ia hanya butuh tempat yang senyap, dimana pikirannya bisa bebas tanpa harus dikurung dalam teriakan dan luka terhadap hal yang ia tidak lakukan.

Berbekal kamera dan dompet, pemuda itu turun dan mulai menyusuri jalan usai keluar stasiun.
Kepalanya bolak-balik melihat kanan-kiri, sampai berjumpa dengan tempat yang ia cari.

Padahal ia turun secara asal, tapi mengapa bisa menemukan tempat yang persis ia butuhkan? Ajaib.
Pemuda tersebut menatap ke arah dimana matahari perlahan dilahap ujung garis laut dan berlari ke arahnya.

Kamera diambil, bunyi shutter terdengar sampai beberapa kali.
Desiran ombak dan gemerisik pasir yang ada di bawah kakinya jadi tambahan nada, tanpa disadari.

Setelah lelah mengambil gambar dan kembali menjadi anak kecil, Mafu duduk di atas pasir dengan tangan masih sibuk mengotak-atik hasil gambar yang terekam dalam kamera.
Ketika beberapa foto diamati, Mafu nampak seorang pemuda - mungkin seumuran dirinya - dengan baju putih dan rambut hitam.
Bingung, Mafu kembali celingukan mencari anak ini. Soalnya sedari tadi hanya dirinya seorang yang ada disini.

"Ah!"

Mafu menemukan yang ia cari.
Pemuda tersebut tengah diam dan mengintip dirinya dari balik batu besar yang agak jauh dari posisinya kini.
Mafu coba berlari, berharap pemuda itu tidak takut dan lari darinya.

"Ah maaf, aku ngga punya maksud apapun buat nakutin kamu."

"Mm."

"Kenapa kamu ada disini?"

"Kenapa kamu mau kesini?"

Saling melempar pertanyaan tidak akan membereskan apapun, jadi...
Mereka menghabiskan waktu bersama.

"Namaku Mafumafu."

"Mafumafu? Kenapa namamu lucu begitu?"

"Uh, tolong kesampingkan itu."

"Namaku Soraru. Salam kenal."

"Soraru-san..."

Dalam waktu singkat, mereka membangun istana pasir asal yang sangat tidak estetik, namun setidaknya mereka senang ketika melihat hasilnya.
Usai menghancurkan istana pasir yang mereka buat, mereka kembali lanjut berlarian di tepian, tawa bisa terdengar dari mulut keduanya.

Ketika lelah, Mafu pergi ke kedai terdekat yang ada dan membeli dua botol minuman.
Soraru menerimanya namun tidak diminum, Mafu tidak menyadari hal itu.
Selagi rehat, Mafu berbagi cerita akan alasan mengapa ia bisa sampai disini kepada Soraru.
Soraru meresponi dengan anggukan kemudian sesekali menepuk punggung Mafu sampai tahu-tahu air mata sudah siap tumpah dari pelupuk mata si albino.

"...itu pasti sakit, lukamu."

"Yang ini udah mulai sembuh kok..."

"Mm..."

"M-maaf, aku malah ceritain hal-hal susah ke Soraru-san..."

"Ngga apa. Kamu sendiri, merasa lega, ngga?"

"...mungkin... sedikit lebih lega."

"Itu bagus. Ada lagi yang mau kamu ceritain?"

☾︎

Dan tanpa terasa sore perlahan jadi malam.
Jari sudah terlalu lelah untuk memencet tombol shutter, mulut sudah mulai kering dan angin malam yang dingin sudah datang.
Soraru memandangi langit yang mulai diisi dengan bintang dan bulan, tersenyum ke arah langit kemudian berdiri, pelan-pelan menjauh dari Mafu.

"Lho, mau kemana?"

"Oh, aku mesti pulang."

"Pulang? Ke laut?"

"Mm."

Mafu bingung, menaruh kameranya agak jauh dari area yang sekiranya basah dan mendekati Soraru kembali.
Telapak kakinya menyentuh air laut, sedikit bergidik ketika tahu suhunya begitu dingin.

"Kenapa pulang ke laut?"

"Rumahku ada disini."

Apa Soraru harus berenang dulu supaya sampai rumahnya? Mungkin.
Mafu memandangi air laut yang tenang, bergulung di sekitar kakinya, seolah merayu untuk ikut dengan mereka.

"Mafu mau ikut?"

"Eh? Aku? Mana bisa?"

"...kalau kamu mau lupain semua rasa susah kamu yang tadi kamu ceritain... kamu bisa ikut."

Terdiam sejenak, Mafu tidak menyangka jawaban tersebut.
Ikut dengan Soraru? Melepaskan semua beban yang selama ini ia rasakan?
Terdengar seperti tawaran yang menyenangkan.

Mafu yang sebelumnya menatap air, kini kembali berjumpa dengan manik safir milik Soraru.

"Aku ikut."

"Kamu yakin?"

"Mm, disini lebih baik, lebih tenang. Dan ada Soraru-san."

Yang dipanggil namanya pun tersenyum kemudian mengambil tangan Mafu, perlahan menggenggamnya erat.

"Ngga menyesal?"

Soraru menerima gelengan, kemudian ia balas dengan anggukan.

"Baiklah, kita pergi sekarang, ya."

Mafu awalnya hanya mengikuti Soraru dari belakang sembari masih berpegangan tangan, namun Soraru diam sejenak sampai akhirnya Mafu berdiri sejajar dengannya dan ikut diam di tempat.

"Kenapa berhenti, Soraru-san?"

"Begini lebih enak."

"Eh, kenapa?"

"...tanganku pegal."

Mafu tidak yakin itu jawaban sesungguhnya karena Soraru punya jeda yang cukup lama sebelum menjawab disertai pipi merah.

"Begitu?"

"Mm."

"Ehh, kurasa bukan karena itu aja..."

Deburan ombak yang awalnya hanya menyentuh telapak kaki mereka, kini membasahi seluruh tubuh mereka.
Obrolan dan candaan tetap berlangsung, seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu dan tidak ingin waktu berlanjut.

Maka salah satu dari mereka membuat pilihan agar cakap-cakap ini tidak pernah berakhir, agar luka hati yang selama ini dibiarkan dapat diobati.
Dan begitu saja, Mafu meminta supaya Soraru membawanya pulang.

☾︎

Pagi itu, hanya kamera, dompet, dan sepasang sepatu tanpa pemilik yang ditemukan di tepi laut.
Diletakkan dengan begitu rapi dan sudah basah akibat deburan ombak sepanjang malam, hanya tiga benda itulah yang jadi saksi bisu atas apa yang terjadi semalam.

Pagi itu, banyak orang di tepi laut, tidak seperti biasanya.
Ada yang mencari keberadaan Mafu, ada yang menangisi kepergian Mafu.
Tapi terlambat, mau dicari kemana kalau sudah hilang dan tak bisa digapai?
Toh, laut tengah bersukacita.

Mafu pergi, ikut dengan Soraru.
Mencari kebahagiaan dan ketenangan, setidaknya tidak sendirian.
















♪ YOASOBI - 海のまにまに

☾︎

jam jamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang