Bab 4

167 50 172
                                    

Akhirnya ketemu Rafael lagi guys!

Happy reading! [Strangers] vote, follow nya guys onlypn

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading! [Strangers] vote, follow nya guys onlypn

Cuaca terik menghunus kulitnya hingga ke pori pori terdalam. Mana ia harus pulang dengan sepeda lagi? Syukur Zeta mau memberinya tumpangan sampai ke supermarket dimana ia memakirkan sepeda saat tidak tahu arah sekolah tadi.

Rasa dahaga membuat Quenna memutuskan untuk masuk ke supermarket tersebut. Bahkan dengan bodohnya Quenna sudah mengambil beberapa snack yang hendak ia santap. Sampai pada kasir, ia hendak merogoh sakunya. Dan ya! Ia lupa bahwa ini hidup Briggita!

Yang artinya.... snacknya ini tak cukup untuk dibayar dengan uang saku Briggita yang bahkan kurang dari satu dollar. Hendak berbalik namun tangannya dicekat oleh lelaki di belakangnya.

"Kak, yang ini juga sekalian," ucap lelaki itu kepada kakak kasir.

Suaranya terdengar tidak asing, apalagi wangi parfum Jo Malone Mimosa & cardamom cologne. Sudah lama juga ia tak mencium bau kemewahan, lelaki ini benar benar tak asing!

"Gak perlu berterimakasih, pahala gue udah banyak," cetus lelaki itu seraya menyerahkan kantong supermarket kepadanya. Kemudian beranjak pergi dengan tidak sopan.

Pantang menyerah, Quenna dengan gigih mengejar laki laki itu. Saat dirasa sudah dekat, ia mencekal tangan lelaki itu. "Don't touch me, please!"

"Lo kurang apa lagi? Nih ambil uang gue!" Dengan sombongnya lelaki itu menghamburkan enam lembar uang berwarna merah muda ke tanah.

Bukannya merasa marah, ia justru merasa sedih. Dengan bodohnya Quenna memeluk lelaki itu. "Rafael, its me! Lo gak lupa sama gue 'kan?" Ya, lelaki itu adalah Rafael teman masa kecil Quenna yang menaruh hati padanya. Dan kini lelaki itu justru memperlakukannya seperti orang asing.

"Stop it Ms! Youre strangers!" pungkas Rafael seraya mendorongnya menjauh kemudian naik ke mobil ferari berwarna merah.

Seolah ada yang retak namun bukan kaca, ini juga bukan drama. Tapi mengapa hatinya seakan disayat belati hanya karena tidak dikenali?

Selang beberapa saat, orang orang mulai memandanginya dengan berbagai tatapan. Iba? Aneh? Benci? Tak memedulikan tatapan mereka, Quenna dengan sepenuh hati menurunkan harga diri hanya demi memunguti uang tak seberapa ini -bila dihidupnya dulu.

Ia harus bergegas pulang, atau akan menimbulkan masalah baru.

ooOoo

Rumah sederhana dengan isi keluarga gila, Quenna hampir melupakan bahwa besok adalah hari olimpiade dimana pasti hari ini ia akan dilatih keras oleh...Mamanya.

"Pulang pulang udah sakit hati! Pakai ditambahin sakit kepala pula!" batin Quenna menggerutu sembari memasukkan sepeda ke dalam rumah. Iya rumah bukan bagasi, hah! Sepertinya Quenna belum bisa membiasalan diri di kehidupan sederhana ini.

"Briggita sayang, kamu langsung belajar di kamar ya? Nanti Mama cek setiap satu jam sekali. Ingatkan berapa jam kamu harus belajar?" ucap Mama penuh kasih sayang..., atau lebih tepatnya penekanan?

"Iya Ma! Gita mau ganti baju dulu," jawabnya berusaha senatural mungkin. Gila! Yang benar saja! Berapa jam Briggita biasanya belajar?

Selesai berganti baju Quenna memutuskan untuk memakan snack yang dibayari Rafael tadi. Ingin sekali rasanya menelpon Rafael, tapi bagaimana bisa jika Briggita saja tidak punya ponsel? Hingga ia teringat pada uang merah yang ia pungut tadi.

Apa sebaiknya ia beli ponsel saja dengan uang ini? Tapi cukup kah? Bahkan harga jamnya saja lebih dari satu juta, jadi...tidak mungkin ada ponsel dibawah satu juta. Cukup lama berpikir hingga kini ia terpikirkan akan ponsel bekas..., semoga saja harganya mencukupi.

"Ini gak ada surat aneh itu lagi kah? Gue butuh petunjuk!" gumam Quenna seraya menggeledah kasur dan seisinya. Dan hasilnya nihil, sepertinya hanya surat kemarin saja atau mungkin nanti ia akan mendapatkannya lagi? Tapi kapan?

Terbentuk menjadi pribadi yang tidak mudah mengeluh kini Quenna memutuskan untuk membaca diarynya lagi. Semoga saja ia menemukan sandi morse lain yang bisa menjadi petunjuk lagi.

Sandi morse itu terbaca, Temui kakek

"Kakek? Oh! Udah lama juga kakek gak nemuin gue setelah kejadian kemarin di rumah sakit. Oke deh nanti gue minta tolong Papa aja." Quenna menutup buku diary itu kemudian menaruhnya ke tempat semula. Dan kini ia harus menerima siksaan belajar dari wanita yang lebih kejam dari bundanya dulu.

Tok tok tok!

"Iya Ma!" jawabnya seraya membuka knop pintu.

"Ini ringkasan materi yang harus kamu pelajari, Mama akan ngecek setiap satu jam sekali. Kalau ada yang bingung tanya aja ya?" Dengan pelipis penuh keringat, Quenna menelan salivanya kasar. Bagaimana ia akan menyelesaikan ini sedangkan ia bukan anak IPA.

Total sudah dua kali Mama mengeceknya, kini masih tersisa lima jam lagi hingga belajarnya usai. Ternyata belajar Briggita ebih ketat dibanding belajar Quenna dulu, ya baiklah ini tak semenyeramkan itu.

"Gila sisa dua jam lagi tapi tubuh gue gak kuat!" Quenna mulai merasakan kamarnya bergoncang sebelum akhirnya ia mimisan.

"A-akh sakit banget!" Mimisannya semakin deras mengalir dan kini dengungan kuat membuat Quenna pingsan tergeletak.

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, ah lagi lagi dengungan ini membuatnya terlelap ke alam bawah sadar. Tapi dimana ia sekarang? Rasanya sepi, dingin yang begitu menusuk dan aroma melati?

"H-hiks! Quen lo harusnya gak ngelakuin itu!"

"Kita bisa pindah Quen! Lo bisa mutusin hubungan sama bunda kalau lo gak mau dikekang! Lo janji bakal sama sama terus..."

"TAPI SEKARANG APA QUEN?" Ia menatap iba pada lelaki yang terus memaki batu nisan bertulis nama 'Quenna Roseanne'.

Ahh apa itu makamnya? Seolah ada yang remuk melihat nama sendiri terpampang di situ kini Quenna berjalan perlahan mendekati sosok lelaki itu.

Ia mendekap erat Rafael, dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Rafael menerima pelukannya tapi masih saja tak mengenalinya.

"Lo orang yang tadi meluk gue di depan supermarket 'kan?" tanya Rafael menatapnya sinis.

"El, jangan lihat raga gue. Tapi jiwa gue, tatap mata gue El dan lo bakal sadar siapa gue." Quenna berucap demikian dan lelaki itu langsung menurutinya, entah mendapat keajaiban apa tapi  ucapannya itu terjadi.

"Q-quen? Ini lo?" Rafael menggeleng tak percaya, ia bisa melihat jiwa Quenna yang terlihat samar di raga gadis asing ini.

"Gue emang mati, tapi itu raga gue. Bukan jiwa gue." Kali ini Rafael yang memeluknya erat seolah tak mau ia pergi kemanapun lagi.

"Dan kayaknya gue bakal mati dua kali El."

"M-maksud lo apa?! Kita baru ketemu Quen! Lo tega ninggalin gue lagi?"

"Nomer hp lo masih sama 'kan? Kalau lo inget pertemuan ini, gue bakal hubungi lo buat minta bantuan." Tangan kekar Rafael dengan sigap menggenggam erat tangan mungilnya. "Apapun bantuan yang lo perlu, gue siap bantu lo my Quen."

To be countinue....

Menurut kalian Quenna juga nyimpen rasa sama Rafael ga?

Spam next here!

TTSH: A Trap Letter || Jaerose ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang