Bab 14

70 25 124
                                    

Happy reading! [ B-bunda? ]

Percayalah Quenna tidak pernah sepanik ini, tepat ketika bunda Raveyta memeluknya bau khas darah menyeruak, didukung dengan sesuatu yang kental merembas kebajunya.

"B-bunda? I-ni..apa?" Bukan jawaban yang ia dengar, justru bunda Raveyta hanya mengulum senyum yang ia tak tahu itu artinya apa.

Seolah otaknya berhenti bekerja, Quenna hanya ternganga melihat bunda tiba tiba saja ambruk terkulai lemas dilantai kamar mandi. "BUNDAAA!"

Ia tak tahu harus berbuat apa, ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan darah yang terus mengalir. Namun ia juga tak sebodoh itu, entah salah atau benar Quenna melepaskan syal hitamnya untuk dililitkan pada tangan bunda.

Dengan tangan yang bergetar Quenna membantu menyandarkan bunda pada dinding kamar mandi, kemudian menggenggam erat tangan bunda. "Bunda tolong bertahan demi Quen!" monolognya seraya beranjak pergi.

Napasnya memburu, pikirannya kacau. Perasaannya? Terlampau kacau, antara bahagia bisa bertemu dengan bunda, sedih melihat bunda tak mengenalinya, panik karena darah itu, dan takut akan kehilangan...

Ia berlari sekencang kencangnya, namun sedikit memelankan langkahnya dengan jejak air mata yang sudah dihapus saat mendekat ke arah Mama Clara. Dengan suara bergetar Quenna membisikkan sesuatu. "M-ma..tolongin tante yang ada dikamar mandi!"

Seolah tahu apa yang dimaksud, Mama Clara berpamitan pada orang di sana kemudian menggenggam tangannya untuk berlari bersama. Tak lupa menelepon Papa Briggita. Dan benar saja saat Mama Clara melihat siapa yang ia maksud, beliau langsung tersentak begitu terkejut.

"RAVEYTA?!" pekik Mama Clara. Mama Clara mencoba mendekatkan posisinya dengan bunda Raveyta, memeriksa ala yang terjadi, dengan Quenna yang bergetar hebat dibelakangnya.

"Ya Tuhan! Cukup Ayah, sama Tubuh gue aja yang berpulang! Jangan ajak bunda Tuhan!" batin Quenna berdoaa setulus hati.

"Briggita! Cepat telepon Papa kamu! Bisa gawat kalau Raveyta kehabisan darah!" hardik Mama Clara yang membuatnya tersentak.

Ia yang tidak punya ponsel, atau bahkan tidak melihat ponsel disekitar hendak berlari keluar meminjam ponsel siapa saja. Dan tepat saat ia keluar jidatnya terbentur dengan dada bidang seorang pria.

"Clara kamu minggir! Biar aku yang bawa!" Dengan gesit bak pahlawan kesiangan, Papa Sen mengangkat bunda Raveyta dengan posisi yang nyaman dan aman untuk berlari.

Disusul ia dan Mama Clara yang tururt berlari mengekori Papa dari belakang.

Hingga sampai 'lah mereka pada rumah sakit.

Jika di dalam Dokter dan suster tengah menangani bunda Raveyta, maka di luar Papa Sen tengah menangani kemarahan Mama Clara terhadap Briggita.

"Kamu bisa gak sih sekali aja jadi penurut? Mama izinin kamu ke kamar mandi bukan buat ikut campur urusan orang Briggita!" hardik Mama Clara.

"Tapi ini menyangkut nyawa orang Ma! Kalau bukan aku nanti bisa ada dua orang sekaligus yang dimakamkan!" sanggahnya dengan mata berkaca-kaca.

Ia tak menyangka Mama Clara akan setega ini, bayangkan saja jika ia terlambat menemui bunda Raveyta? Mungkin itu akan menjadi penyesalan terbesarnya.

Sedangkan Papa Sen bingung harus melakukan apa, meski pada akhirnya Papa Sen mencoba menenangkan keduanya. "Kamu gak salah Gita, jangan marah sama Mama ya? Mama kamu mungkin cuma panik karena temannya hampir kehabisan darah."

Napasnya semakin memburu, ia menggeram kencang dalam hatinya. Quenna tak setuju bila Papa menganggap Mama mengkhawatirkan kondisi bunda Raveyta. Bukan 'kah sudah terlihat jelas bahwa Mama justru lebih terlihat enggan menyelamatkan bunda? Tapi mengapa?!

"Terserah Mama mau nyalahin aku atau gimana! Aku izin pergi sebentar!" Ia beranjak kemudian berlari tergesa-gesa.

Tujuannya sekarang adalah parkiran, entah kalian tahu atau tidak siapa yang sekarang Quenna harapkan kedatangannya. Melamun menatap hamparan jalan yang penuh akan kendaraan dengan bau khas debu yang menyeruak, ia sama sekali tak berniat pergi dari situ.

Hingga Quenna merasakan tubuhnya dipeluk oleh seseorang, kini bukan bau debu jalanan yang tercium lagi, melainkan bau wangi parfum mahal dari seseorang yang ia rindukan.

Siapa lagi kalau bukan Rafael Jaeffrey? Ia sangat membutuhkan lelaki itu sekarang.

"Balik badan lo, peluk gue sekencang mungkin. Luapin semua emosi lo, terserah mau nonjok mau nangis bebas. Karena hari ini lo harus nangis."

"Entah sebagai Briggita yang kehilangan pak kepsek ayah kandungnya, atau Quenna yang panik karena takut kehilangan bunda Raveyta," ujar Rafael seraya mengusap surai hitam Briggita.

Ia terdiam membisu, tak tahu harus menjawab apa hanya bisa menuruti apa kata Rafael, terisak dalam pelukan hangat orang yang selalu menemaninya. Quenna bersyukur memiliki Rafael.

"H-hiks..thanks El," lirihnya. Lelaki itu mengulum senyum penuh arti, dengan sorot mata yang memancarkan aura rindu.

"Gue tahu lo penasaran kenapa gue bisa di sini, itu karena gue punya insting kalau lo lagi nangis dan butuh gue di sisi lo," ucap Rafael sengaja menggombal.

Mendengar kalimat penuh percaya diri Rafael membuatnya mendengus kesal. "Itu gak make sense! Jawab yang bener El!"

"Lah lo aja tanya gak bener, tanya aja belum minta dijawab," cibir Rafael yang membuatnya semakin kesal.

Lelaki itu terkekeh kecil kemudian mengacak surai hitamnya yang rapi, "becanda sayang, lo inget 'kan gue punya mata mata buat Mama Clara? Nah karena itu gue di sini sekarang."

Mendengar penjelasan Rafael mampu mengurangi sedikit rasa kesalnya. "Mending sekarang kita ke ruangan bunda Raveyta, tenang aja Mama Clara udah pergi kok sama suaminya. Yuk jengukin bunda lo?" ajak Rafael.

Hingga kini mereka berdua berada dikamar rawat VVIP bunda Raveyta, yang tentunya dibayar oleh Rafael.

Kecanggungan menyelimuti mereka karena ternyata bunda Raveyta sudah sadarkan diri dan kini tengah memakan buah untuk mengisi perut. "Jadi sejak kapan kamu kenal Briggita El?" tanya bunda Raveyta.

"Sejak gak sengaja ketemu disupermarket sih bun, tapi waktu itu El belum tahu Briggita anak temen Mommy," ucap Rafael berdasarkan kenyataan yang ada.

"Briggita? Kamu tahu siapa tante?" Ia mengangguk. "Tante itu bundanya Quenna 'kan? Dulu aku pernah kenalan sama Quenna," jelasnya yang jelas saja berbohong.

Mendengar penjelasan Briggita membuat bunda Ravehta sedikit tertarik untuk masuk ke dalam topik pembicaraan. "Oh iya? Kok tante gak tahu?"

Ia tertawa canggung, tentu tidak mungkin bunda tahu pertemuan mereka yang memang hanya rekayasa cerita buatan Quenna sendiri. Ia memang sengaja memancing topik tentang dirinya sendiri.

Keren bukan? Membicarakan diri sendiri melalui raga orang lain?

"Bun-eh maksudnya tante.."

"Panggil bunda aja gak masalah," ucap bunda Raveyta.

"Jadi waktu itu Quenna pernah sharing cerita sama aku tentang ya cara belajar, waktu, dan sebagainya. Dia ngeluh katanya capek harus bisa dalam segala hal dan perfect, tapi yang buat aku kagum dia tulus ngelakuin itu semua demi bunda."

"Quenna cerita kalau dia ngelakuin itu demi bisa buat bunda lihat ke arah dia, ke proses gimana ia berjuang bukan hasilnya doang. Tapi sayangnya Quenna merasa gagal buat itu.."

Ia tersenyum miris, mengungkapkan isi hati melalui raga berbeda ternyata lebih mudah dibanding mengungkapkan pnya kala dahulu.

"Makasih ya udah cerita ke bunda." Ia mengangguk dengan senyuman mergahnya.

"Ah bunda juga mau ngasih tahu sesuatu sama kamu," ucap bunda yang membuat dirinya dan Rafael tertarik penasaran.

"Jadi kamu masih belum tahu siapa yang ngirim surat itu 'kan?"

"Itu bunda..."

To be countinue.....

Bentar lagi tamat guys! 3 chapter lagi!

Gimana sama plot twist ternyata bunda Quenna sendiri pelaku dibalik surat? Kira kira apa ya tujuannya?

Next yuk

TTSH: A Trap Letter || Jaerose ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang