AKU menghampiri Raisa—teman sekelasku—di antara kerumunan siswi yang berjubel. Sebuah papan dengan tulisan 'Random Notes' pada bagian atas menjadi daya tarik tersendiri, terlebih setelah semester ini telah dilalui.
Papan berhiaskan hasil seni origami kini dipenuhi ratusan sticky notes beraneka warna. Momen istimewa ini hanya terjadi setahun sekali. Bahkan, baru kali ini organisasi siswa sekolah kami membuat event menulis aspirasi layaknya di novel fiksi.Kuambil sebuah sticky note berwarna kuning lantas kuraih bolpoin yang tergeletak di meja. Kugerakkan bolpoin hingga tercipta goresan apik pembentuk himpuna aksara.
Aku tersenyum. Kutempelkan sticky note di ruang yang masih kosong. Kububuhkan double tape sebelum secarik kertas itu benar-benar menggantung bersama teman sejenisnya.
“Nggak kamu foto, Al?” Raisa bertanya usai memotret sticky note yang ia tempel beberapa saat lalu.
Aku sedikit ragu. Hingga suara Raisa kembali melewati rungu.
“Foto aja, Al. Nggak papa,” sambung Raisa.Aku tersenyum sebelum mengangguk setuju. Kulangkahkan kaki mendekati sticky note sebelum mengambil beberapa gambar. Setelah memastikan kualitas hasil jepretan, aku menyusuri lapangan tengah sekolah menuju kelas, begitu pula Raisa dan tujuh temanku.
Aku masih tak percaya. Lidah nan kelu tak lagi membisu. Batin nan rapuh berangsur sembuh. Pun langkah nan ragu, mulai bergerak maju.
Rasanya baru kemarin aku mengisi laman pendaftaran peserta didik baru. Kini, aku sudah berada di bangku akhir masa SMA yang penuh haru biru. Hari-hari dengan ribuan mimpi dan kasih akan selalu kurindu. Bersama sosok yang lukisan jemarinya takkan pernah menjadi abu.
Seseorang yang menghapus satu tanda tanya besar dalam sang kalbu.
Mojokerto, 02 Januari 2023
Dek Uti.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEGASI ( SELESAI )
Teen FictionPernahkah kau memikirkan alasan di balik setiap pertemuan? Pernahkah kau merasa tidak senang dengan takdir yang ditulis Tuhan? Atau mungkin, kau pernah memberikan penyangkalan atas segala kejadian dan bertanya-tanya alasan dari setiap persinggahan? ...