02 - Melankolis

17 4 0
                                    

SORAK-sorai pendukung tim futsal XI MIPA 3 dan XI MIPA 7 menggema dari segala penjuru. Di hari yang begitu cerah ini, organisasi supporters sekolah kami turut menyemarakkan laga final futsal dalam rangka classmeet akhir tahun. Meskipun bukan kelasku yang berlaga hari ini, tidak menjadi masalah. Setidaknya event ini dapat mengalihkan pikiranku selama beberapa saat.

Di sinilah aku sekarang, bersama beberapa teman sekelas aku memperhatikan pergerakan bola yang ditendang ke sana kemari. Atmosfer hari ini membuatku teringat kejadian beberapa tahun silam—saat aku masih berada di bangku sekolah menengah pertama.

Aku merindukan setiap memori yang kujalani bersama alunan merdu anthem dari klub sepak bola terkemuka di nusantara, sebelum segalanya berubah menjadi sirna.

Tiupan panjang peluit wasit menggema. Pertandingan berakhir dengan skor tipis empat tiga untuk XI MIPA 7. Satu per satu supporters XI MIPA 7 berhamburan menuruni tribune, menghampiri para pahlawan yang berjuang meraih kemenangan.

Aku kembali ke kelas setelah tribune penonton sedikit sepi. Sesaat setelah aku melewati pintu keluar, kudapati kakak kelasku sejak sekolah menengah pertama. Ia adalah anak emas guru paling disiplin di SMP Semesta. Kehadirannya sebagai salah satu anggota organisasi supporters sekolah membuat bayangan masa lalu melintas di hadapanku.

“Masa depanmu tanganmu, bukan temanmu.”

“Hidup itu seperti orang mendaki gunung. Siapa yang bangkit setelah terjatuh, akan sukses.”

“Sabar, semua indah pada waktunya.”

“Nilai pengetahuan kalian lho sembilan puluh lima, masa nilai keterampilan saya kasih tujuh puluh. Ayo, kalian bisa. Cari ide lain.”

“Di mana pun kamu berada, jaga nama baik sekolah.”

“Dalam panggung sandiwara, akhir dari cerita adalah akhir dari pertunjukan. Dalam panggung kehidupan, akhir dari cerita adalah awal dari cerita lainnya.”

“Mimpimu masih di sana. Di awan  biru tempat kau bersenda gurau. Di bawah pohon rindang saat kalian tertawa bersama. Saat kau berada di titik terendahmu, kamu tidak sendirian.”

Kalimat sederhana itu berhasil membuatku termenung. Setiap orang tentu memiliki pertanyaan dalam hidupnya. Pertanyaan terbesar di benakku yang mengganggu adalah alasan aku dikirim ke SMA Arunika dan menjadikannya sebagai pilihan pertama saat pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru. Dahulu aku berpikir jika berjuang di KSN adalah alasan utamanya. Tapi setelah apa yang terjadi, aku tak lagi yakin jika itu adalah alasanku berdiri di tempat ini.

1111-11-10110

Hari ini adalah hari pertama bimbingan persiapan KSN-K. Dua hari setelah seleksi—Minggu, saat aku menonton adik sparing sepak bola—pengumuman peserta yang lolos dikirim. Aku sangat bersyukur, Allah memberiku kesempatan setelah tahun lalu gagal lolos seleksi. Kulangkahkan kaki memasuki ruang kelas bertuliskan ‘X-IA³’ yang terdapat dua peserta bimbingan.

Sejujurnya, baru pertama kali aku mengenal mereka, tak seperti Adena dan Nada yang sudah kukenal sejak kelas sepuluh.

Aku memilih duduk di kolom nomor satu dari depan dan baris nomor dua dari kiri, sementara Nada berada di belakangku. Kudapati dua lembar kertas tak kosong di atas meja. Kubaca sekilas tulisan tertera dengan senyum tak bisa kusembunyikan. Kubuka binder, lantas kukerjakan satu per satu soal usai merapal doa. Hingga kedatangan Pak Arka membuatku meletakkan bolpoin yang sedari tadi menari dengan eloknya.

“Assalamualaikum. Sebelumnya saya ucapkan selamat, kalian telah terpilih menjadi wakil sekolah kita di Kompetisi Sains Nasional tingkat kota sekaligus mengikuti bimbingan untuk persiapan KSN-K. Sebenarnya saya lebih suka disebut sebagai sharing ketimbang bimbingan karena saya belum cocok disebut sebagai pembimbing.”

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang