09 - Lema

5 3 0
                                    

MAJALAH sekolah yang tergeletak di meja membuat tanganku gatal untuk tidak menyentuhnya. Kuraih lima puluh dua tumpukan kertas yang tersusun dalam sampul berwarna dominan biru. Jemariku membuka satu per satu lembar dan terhenti di halaman dua puluh tiga.

Rasanya sekelebat memori hinggap tanpa permisi. Aku tak tahu bagaimana cara semesta bekerja. Ia selalu menyelipkan begitu banyak misteri dan negasi. Aku tak pernah membayangkan, setitik benci yang menghias hati membawaku sampai di titik ini. Aku tak pernah mengira, ribuan angan dalam untaian harapan berujung seperti ini. Bahkan, aku masih tak bisa mengerti sejak kapan setiap interogasi berubah menjadi kalimat pasti.

Kala mendung enggan menumpahkan beban dikandungnya
Seorang anak manusia meringkuk lesu dalam kesemuan waktu
Berkawan sunyi dan kelabu
Menunduk, terpejam, menikmati
rentetan bunga lampau
Memadu bersama lidah yang kelu

Bak pungguk merindukan bulan
Anak manusia itu tersesat dalam proses semesta
Ia membisu, mengadu
Bukan pada sesama insan
atau semesta yang enggan bertahan
Ia hanya mengadu pada Sang Penulis kisah semesta
Segalanya tak lagi sama

Siapa yang menyangka, sosok ringkih yang dulunya tertatih dan merintih kini menjadi seseorang yang merindukan setiap perih dari tempat-tempat penuh kisah kasih. Siapa yang mengira, seseorang yang dulunya menjadi alasan berbalik arah justru menjadi satu-satunya penguat tetap melangkah. Siapa yang mengira, setiap masa yang terekam jelas di bawah cakrawala menjadi sesuatu yang paling berharga. Tak ada yang menyangka, tak ada yang mengira, namun inilah nyatanya.
Perihal masa, dan rasa, tak ada yang percaya.

Aku menghela napas. Kututup kembali majalah berisi himpunan aksara edisi terakhir tahun ini sebelum aku masukkan ke lemari.
Sosok tokoh utama di setiap puisi, tak lagi di sini.

11111-11-10110

Aku meletakkan bolpoin di atas binder asfar yang terbuka usai melihat cahaya yang memancar dari layar gawai. Kugeser layar kunci ke atas hingga menampakkan sebuah notifikasi dari aplikasi perpesanan. Rupanya, pesan masuk berasal dari salah satu teman sekelasku.

Kukirimkan pesan balasan pada Elisha. Sejujurnya aku belum pernah menulis puisi selama tiga bulan terakhir. Selain belum mendapat ide, sebagian besar waktu kuhabiskan untuk berkutat dengan Matematika.

Elisha XIA5

Al
Punya puisi kah?

Puisi galau :(
Buat majalah?

Aku mengirim pesan balasan usai sebuah pesan dari Elisha kembali muncul di layar gawaiku.

Elisha XIA5

Iya betul

Aku sekarang nggak pernah buat puisi lagi, adanya puisi lama yang belum pernah diterbitkan di majalah, apa boleh?

Kukirimkan puisi-puisi lama usai mendapat balasan persetujuan dari Elisha. Kali ini aku hanya mengirim empat puisi, dua di antaranya merupakan puisi saat menginjak bangku sekolah menengah pertama—puisi pertamaku yang bermakna

Pelita Semesta
Oleh: Alfanisa Nayyara

Bak secarik kertas kosong, semestaku hampa
Tak ada goresan apa pun di sana
Bak nabastala petang, semestaku penuh gulita
Tak ada setitik cahaya pun  di sana
Bak untaian bunga tabebuya kala diterpa angin
Semestaku penuh tanda tanya, kemana arah hidupku kelak?

Hingga ia datang
Menorehkan sajak indah menyayat hati
Menghidupkan nyala api telah lama padam
Menunjukkan arah langkah kaki ini kan pergi

Dia guruku
Binar matanya senantiasa menunjukkan keletihan
Tak selaras dengan paras—senantiasa menunjukkan rona bahagia
Keringat yang mengucur, guyuran hujan,
terik sang surya tak pernah ia hiraukan
Meski kini usianya tak lagi muda

Dia guruku
Insan terhebat dalam kisah semestaku
Sang pelita sekaligus petunjuk arah hidupku
Tak peduli berapa pun terima kasih terucap
Takkan pernah menandingi pengorbanannya nan hebat

Aku membaca satu puisi dengan empat bait sarat makna. Sejujurnya inspirasi puisi ini adalah seorang guru yang kutemui ketika sekolah menengah pertama. Ia adalah satu-satunya guru yang mendidik dengan tegas namun membekas. Ia selalu memotivasi kami untuk bergerak maju, tak peduli seberapa besar halangan yang dihadapi. Aku sangat merindukan ajarannya. Sudah lama kaki ini tak kulangkahkan di halaman sekolah yang senantiasa melukiskan mimpi dan canda. Tempat berjuta kenangan dengan hujan sebagai saksinya.

Kini aku menyadari sesuatu. Pak Arka adalah Pak Nanta di masa SMA. Meski cara didik mereka berbeda, keduanya sama-sama mengajarkanku arti kehidupan. Pak Nanta dengan bahasa dan sastra, Pak Arka dengan angka dan cita. Aku merasa beruntung mengenal mereka. Jika saja Pak Arka membaca puisi ini, aku akan merasa sangat bahagia.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang