15 - Titik Stasioner

6 3 0
                                    

KUDARATKAN tubuh di lantai musala yang bersih tanpa noda. Ayah yang kini tengah berbincang dengan Pak Jordan di pos satpam turut membuatku merenung. Aku tak tahu mengapa begitu sukar melupakan sesuatu yang telah berlalu. Bahkan di pagi berselimut sinar mentari dan semilir angin menerpa, aku masih tak berhenti mengingat kejadian hari itu.

Aku menghela napas. Teman-temanku yang sibuk berbincang tentang rencana membeli seblak tak mampu mengalihkan pikiranku. Justru, aku masih hanyut dalam kenangan masa lalu. Terlebih usai kutemui puisi legenda karangan Almarhum Eyang Sapardi yang menguras kalbu.

Ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang.

Tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci

Ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

11001-101-10110

Aku memasuki laboratorium komputer dengan penuh kelesah dan gelisah. Memilih duduk di bangku nomor satu—seperti ketika simulasi—aku mengambil kartu ujian dari Bu Shandra. Sejujurnya aku ingin menemui Pak Arka sebelum perlombaan. Tapi sedari tadi aku tidak mendapati keberadaannya di area sekolah.

Kutekan tombol mulai setelah merapal doa. Dua puluh soal isian singkat harus menjadi temanku hari ini. Seratus lima puluh menit lebih dari cukup untuk menyelesaikan soal, jika saja aku mau mengambil risiko mengorbankan poin untuk menjawab sepuluh soal terakhir yang memiliki pengurangan nilai.

Tiga menit terakhir, tidak seorang pun peserta seleksi yang tersisa. Ruangan ini hanya dihuni aku, Bu Shandra, dan pengawas ujian. Nyaliku ciut, aku benar-benar tidak mengerjakan sepuluh soal terakhir. Aku hanya bisa memaksimalkan sepuluh soal pertama.

Kutekan tombol selesai dan mengakhiri ujian. Kumasukkan alat tulis dan kertas bergaris ke sebuah tempat semula. Kusempatkan berterima kasih kepada Bu Shandra dan Pak Pengawas yang telah kurepotkan sebelum meninggalkan ruang seleksi.

Pak Arka benar-benar tidak hadir hari ini.

10101-110-10110

Mobil polisi tiba di halaman depan musala. Aku—fokus mengunduh film dari YouTube melalui sebuah website—memusatkan perhatian ke satu per satu polisi berbadan tegap menuruni mobil. Bahkan, Indira, Dea, dan Raisa yang sibuk menunggu bel pulang sekaligus warung seblak dekat sekolah buka, turut memerhatikan para polisi laki-laki berusia muda berbaris di sebelah mobil terparkir.

“Kalau gini ceritanya, aku juga mau ikut sosialisasi.” Indira bersuara. Ia tampak begitu antusias.

“Aku juga mau.” Raisa menimpali.
Sejujurnya aku tidak begitu excited dengan kedatangan polisi-polisi. Pasalnya sebelum ini aku sudah pernah mengikuti sosialisasi dari polres dengan polisi yang sama. Bisa dibilang, bukan kali pertama aku bertemu mereka.

Polisi-polisi itu berjalan serempak menuju ruang sosialisasi. Mereka tak lagi tampak dari sini.

“Al, El, Rin, Nad, mau ikut nggak?”
Kulihat Indira, Dea, Melisa, dan Raisa berdiri sambil menggendong tote bag di pundak.

“Ke mana?” Aku bersuara.

“Depan kelas.” Dea menjawab.

“Tadi katanya di sini aja.” Nada—menyusul kami—bersuara.

Indira tersenyum lebar. “Nggak deh. Setelah aku pikir-pikir, aku tertarik ikut sosialisasi.”

“Mau ikut nggak?” Raisa kembali bersuara.

“Duluan aja, nanti nyusul.” Arinda menanggapi.

Raisa mengangguk. Setelahnya ia, Melisa, Dea, dan Indira beranjak meninggalkan bandarsah. Mau tak mau aku, Ariella, Nada, dan Arinda mengekori.

Dengan cepat Raisa, Dea, Indira, dan Melisa berada di depan ruang kelasku. Padahal, aku masih berada di koridor depan lobi.

“Mau ke mana, Na?”

Adena yang berjalan tergopoh-gopoh dari arah berlawanan pun berhenti. “Pulang, biar nggak disuruh ikut sosialisasi.” Ia kembali berjalan cepat setelah memberi jawaban.

Dari balik kaca jendela, kulihat Pak Savero menginstruksi beberapa siswi kelas XI IPA 3 untuk mengikuti sosialisasi. Ekspresi tegas Pak Savero yang tak terganti selalu menyisipkan secercah takut dalam hati. Tak heran jika siswi XI IPA 3 dengan mudah sekaligus terpaksa meninggalkan singgasana nyaman di kelas dan bergegas menuju ruang sosialisasi.

“Kita mau ke mana sekarang El—”
Belum sempat aku menuntaskan kalimat, Ariella sudah berlari menemui temannya yang hendak pulang.

“Jadi kita ke mana?” Aku menatap Arinda dan Nada bergantian.

“Jajan aja kuy? Aku lapar.” Arinda memberi saran.

Aku dan Nada mengangguk setuju. Saat kami hendak melewati koridor depan ruang tata usaha, seorang guru perempuan menghalangi langkah kami. Ia berdiri tepat di tengah-tengah pintu.

“Mau ke mana?”

Guru itu bertanya memacu detak jantungku. Aku sedikit bingung bercampur gelisah usai mendengar pertanyaannya.

“Pulang, Bu.”

“Mau pulang.”

“Pulang.”

Aku, Arinda, dan Nada menjawab hampir berbarengan. Kulihat guru itu tersenyum.

“Bantu saya mindahin rapor ke ruang guru sebentar ya.” Ia berucap dengan ramah. Mau tak mau kami mengangguk setuju.

“Bagus. Nanti kalian masuk bergantian ke ruang TU. Saya ambilkan rapornya dahulu.” Guru itu pergi usai mengatakan dua kalimat sederhana.

Kuletakkan tas di bangku pada tepi koridor. Setelahnya kami bergantian memasuki ruang tata usaha dengan urutan Nada, aku, disusul Arinda.

“Tolong bawakan ke meja yang ada printer-nya di ruang guru.”
Guru perempuan itu memberi penjelasan setelah ia meletakkan tumpukan rapor di tanganku.

Aku mengangguk lantas menemui Nada yang sudah menunggu di depan ruang guru. “Ayo masuk, katanya ditaruh di meja yang ada printer-nya.”

Nada mengangguk. Saat kami memasuki ruang guru, seorang guru laki-laki menghampiri.

“Lha udah selesai aja,” ujarnya.
Aku dapat memastikan ia mengira rapor yang kami bawa milik anak didiknya. Aku merasa bingung karenanya.

“Kelas berapa?” Guru laki-laki itu kembali bertanya.

Aku, Nada, dan Arinda bingung harus menjawab apa. Pasalnya aku pun tak tahu ini rapor milik kelas berapa. Bahkan guru perempuan yang kami temui tadi, tak aku ketahui namanya.

Sebelum guru laki-laki itu kembali bersuara, guru perempuan tadi datang. “Taruh di situ aja, Mbak. Terima kasih ya.” Ia berucap dengan ramah.

“Sama-sama, Bu.”

Kami meninggalkan ruang guru dan bergegas melanjutkan langkah ke luar sekolah. Syukurlah, setidaknya kami tidak perlu mengikuti sosialisasi yang pastinya akan begitu membosankan.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang